Bengkulu  (ANTARA Bengkulu) - "Limbahnya saja sudah menghasilkan miliaran rupiah, apalagi perusahaan yang menambang di hulu sungai pasti lebih besar pendapatannya, tapi apa yang dirasakan masyarakat?"

Pertanyaan ini dilontarkan Sukri, salah seorang pengumpul limbah batu bara di muara Sungai Air Bengkulu, Rabu.

Tiga tahun terakhir, Sukri dan ratusan warga yang dulunya berprofesi sebagai petani dan nelayan beralih menjadi pengumpul limbah batu bara.

Apa sebab? Limbah batu bara hasil pencucian dari areal penambangan di kawasan hulu Sungai Air Bengkulu tepatnya di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah terbawa arus sungai hingga ke hilir, Kota Bengkulu.

Sepanjang aliran sungai tersebut, warga mengumpulkan limbah batu bara untuk dijual seharga Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per karung.

Warga menilai penghasilan ini jauh lebih pasti dibanding mengarungi samudra Hindia hingga bermil-mil tapi hasil tidak jelas.

"Setiap hari kami bisa mengumpulkan delapan karung paling sedikit, uangnya juga bisa langsung diterima," katanya.

Sistem berkelompok, sebuah perahu dan alat sedot untuk memisah batu bara dengan pasir dan tanah menjadi perlengkapan utama untuk mengumpulkan limbah.

Sesekali mereka menyedot limbah di wilayah yang dangkal karena selain limbah batu bara, sungai tersebut juga mengalami sedimentasi akibat erosi yang parah di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS).

Rofi mengatakan, pada tahun-tahun pertama, sangat mudah mengumpulkan limbah batu bara hingga puluhan karung per hari. Seiring bertambahnya jumlah pengumpul limbah dan penertiban yang dilakukan perusahaan penambang batu bara, jumlah tersebut terus menyusut.

"Tapi masih tetap lebih menjanjikan jika dibanding menjadi buruh tani atau buruh bangunan atau melaut," katanya.

Sukri, pembeli batu bara yang dikumpulkan warga di muara sungai lebih paham dengan jumlah rupiah yang tercipta dari proses pengumpulan limbah batu bara tersebut.

Setiap hari Sukri membeli 10 hingga 18 ton batu bara yang dijualnya ke pengumpul lain untuk dikirim ke luar kota dengan harga jual Rp350 ribu hingga Rp400 ribu per ton.

Khusus di wilayah muara sungai, setiap hari ada sekitar 25 pedagang pengumpul yang membeli dan mengirim langsung batu bara tersebut ke luar kota.

"Biasanya limbah yang terkumpul di muara ini dikirim langsung ke Jakarta atau provinsi tetangga untuk berbagai keperluan, seperti usaha tekstil dan peternakan," katanya.

Serapan tenaga kerja yang besar kata dia terjadi di muara itu mulai dari pengumpul limbah dari sungai, memasukkan batu bara ke karung hingga bongkar muat ke truk untuk dikirim ke luar daerah.

Pengumpul limbah menjual Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per karung, tergantung ukuran batu bara, upah tenaga yang memasukkan batu bara ke karung Rp2.500 per karung dan bongkar muat ke truk Rp2.000 per karung.

"Tanah tempat karung-karung ditumpuk sebelum diangkut dengan truk juga disewa seharga Rp2,5 juta per tahun, jadi banyak pihak yang mendapat pemasukan dari aktivitas mengumpul limbah ini," katanya menjelaskan.

                                Merusak lingkungan

Aktivitas pengambilan limbah batu bara tersebut mulai mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Bengkulu seiring terjadinya abrasi di muara sungai.

Pemerintah Kota menganggap pengumpulan limbah khususnya dengan menggunakan mesin pemompa telah merusak ekosistem muara sungai dan memperparah abrasi pantai.

"Karena pemompa air untuk mengambil limbah batu bara sampai ke pinggir sungai memperparah erosi dan abrasi," kata Wali Kota Bengkulu Ahmad Kanedi saat meninjau muara sungai beberapa waktu lalu.

Untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, Pemerintah Kota Bengkulu mengeluarkan larangan pengambilan limbah dengan alat pemompa tersebut.

Bang Ken, sapaan akrabnya, mengatakan pengambilan limbah batu bara secara manual masih diperbolehkan sebab pengumpulan limbah oleh ratusan warga tersebut termasuk upaya mengatasi pendangkalan sungai Air Bengkulu akibat endapan limbah batu bara.

Pengambilan batu bara dengan mesin pemompa tersebut diyakini memperparah kekeruhan sungai sehingga biaya pengolahan air baku PDAM Tirta Darma Kota Bengkulu semakin meningkat.

Kanedy mengatakan sekitar 35 persen kebutuhan air baku PDAM Kota Bengkulu masih mengandalkan air Sungai Air Bengkulu untuk diolah dan disalurkan kepada 6.000 pelanggan di kota itu.

Menanggapi hal ini, Lukman, pengumpul limbah batu bara yang ditemui di muara Sungai Air Bengkulu mengatakan penggunaan mesin tersebut untuk memudahkan pemisahan limbah batu bara yang mengendap di dasar sungai.

"Kalau dengan cara manual sangat susah karena timbunan batu bara semakin dalam, jadi kami menggunakan mesin pompa air sehingga batu bara bisa naik ke permukaan," katanya.

Ia mengatakan larangan penggunaan mesin tersebut khususnya untuk pengumpulan limbah yang ada di pinggir sungai karena mengakibatkan terjadinya erosi sehingga sungai semakin dangkal.

Larangan tersebut kata dia sudah dipatuhi para pengumpul limbah dengan menggunakan mesin pompa hanya di dalam sungai.

Lukman mengatakan pengumpulan limbah batu bara dengan mesin pompa sangat membantu menambah penghasilan sebab dapat mengumpulkan 15 karung per hari.

"Sedangkan kalau dengan cara manual hanya bisa mengumpulkan maksimal lima karung per hari, makanya kami masih menggunakan mesin," katanya.  

                           Evaluasi perusahaan tambang

Timbunan limbah batu bara dan rusaknya DAS  Sungai Air Bengkulu membuat Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu berencana mengevaluasi aktivitas pertambangan batu bara yang terdapat di hulu sungai tersebut.

"Perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di hulu sungai merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas timbunan limbah batu bara di dalam sungai," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu Iskandar ZO.

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pertambangan yang sebagian diterbitkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat pihaknya berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi Amdal perusahaan pertambangan di hulu sungai itu.

Amdal yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM antara lain Amdal milik perusahaan tambang PT Bukit Sunur pada 1994 dan PT Kusuma Raya Utama pada 1997.

Sedangkan dokumen Amdal milik perusahaan tambang PT Inti Bara Perdana diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara pada 2005.

"Sistem administrasi dalam pemerintahan kita menyebutkan pencabutan izin operasi perusahaan dilakukan oleh pemberi izin itu," katanya.

Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu meminta perusahaan pertambangan batu bara di Kabupaten Bengkulu Tengah agar memperbaiki sistim pengelolaan lingkungan.

"Kami sudah menyurati empat perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di hulu Sungai Air Bengkulu agar memperbaiki sistim pengelolaan lingkungan," kata Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu Surya Gani.

Empat perusahaan tambang yang disurati yakni PT Danau Mas Hitam, PT Bukit Sunur, PT Inti Bara Perdana dan PT Kusuma Raya.

Untuk memperbaiki sistim pengelolaan lingkungan, keempat perusahaan tersebut telah diminta membuat konsep rencana kerja tata lingkungan dan akan dilaporkan kepada pemerintah daerah.

Selain dari limbah batu bara, sumber pencemaran Sungai Air Bengkulu juga berasal dari aktivitas lain seperti pembuangan limbah pabrik karet dan pengolah minyak sawit.

Sementara itu Direktur Yayasan Ulayat Bengkulu Oka Adriansyah mendesak pemerintah menghentikan aktivitas tambang batu bara di hulu sungai Air Bengkulu dan memperbaiki kerusakan daerah aliran sungai itu.

"Jika pertambangan batu bara di hulu sungai tidak segera ditertibkan maka kerusakan daerah aliran sungai akan semakin parah karena eksploitasi sumber daya alam di hulu sungai sudah menghancurkan ekosistim Sungai Air Bengkulu," kata Oka.

Akibatnya kata dia, sungai tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terutama sebagai penyedia air bersih untuk masyarakat Kota Bengkulu.

Eksploitasi sumber daya alam tersebut membuat limbah batu bara yang dibuang ke Sungai Air Bengkulu dan tingkat pencemarannya sudah melebihi ambang batas.

"Padahal air sungai itu masih digunakan sebagai sumber air baku PDAM Kota Bengkulu, sehingga masyarakat mengkonsumsi air limbah padahal tingkat pencemarannya sangat tinggi," tambahnya.

Ia menyebutkan ada delapan perusahaan batu bara yang harus bertanggungjawab atas pencemaran sungai tersebut.

Delapan perusahaan itu antara lain PT Bukit Sunur, PT Danau Mas Hitam, PT Bara Sirat Unggul Permai, PT Bara Mas Utama, PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Alam Raya dan PT Inti Bara Perdana.

"Tidak pernah ada keterbukaan pengawasan dari pemerintah daerah tentang pembuangan limbah perusahaan ini. Malah di lapangan, Wali Kota Bengkulu menyalahkan para pengumpul limbah di sepanjang sungai Bengkulu," katanya.

Padahal, limbah bekas pencucian batu bara dibuang ke Sungai Bengkulu yang mengakibatkan sumber air minum bagi warga Kota Bengkulu tercemar.

Data PDAM menyebutkan ada 6.000 pelanggan yang masih menggunakan air baku dari Air Sungai Bengkulu, dengan tingkat pencemaran yang sangat tinggi masih dijadikan sumber air baku.

Menurutnya, solusi terbaik adalah mencabut izin tambang yang ada di hulu sungai tersebut yang menjadi sumber pencemaran.

Ia mengatakan, pembuangan limbah batu bara dari aktivitas pertambangan di hulu sungai itu juga diperparah dengan limbah pabrik karet yang juga dibuang ke sungai itu.

Hasil penelitian Ulayat pada 2010, tingkat kekeruhan air sudah berada di ambang batas, yakni sebesar 5.000 NTU lebih besar dari 5 NTU yang ditetapkan dalam Permenkes 907 tahun 2002 tentang Pengawasan Kualiatas Air.

Selain tingkat kekeruhan, ia mengatakan, perubahan warna yang ditolerir sebesar 15 PTCO sudah berada pada angka 267 PTCO. Kandungan besi berada pada angka 0,76 mg per liter dari angka yang di tolerir 0,30 mg per liter.

Selain merekomendasikan pencabutan izin perusahaan tambang, Ulayat mendesak PDAM agar menghentikan pengambilan air dari Sungai Bengkulu dan mengalihkan seluruh sumber air minum dari Sungai Air Nelas. (KR-RNI/Z002)

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2011