Bengkulu (Antara) - Kalau orang bijak berujar "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", para aktivis lingkungan justru mengajak berkaca pada Tiongkok tentang praktik buruk pemenuhan energi.

Pada Desember 2015 dan Maret 2016, kondisi darurat polusi udara di Kota Beijing, Tiongkok cukup ramai menghiasi laman beberapa media massa nasional dan internasional.

Pemberitaan itu menyebutkan kabut asap dengan tingkat polusi PM2.5 melebihi 500 mikrogram per meter kubik. Sedangkan batas aman polusi PM2.5 menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah 25 mikrogram per meter kubik.

Disebutkan pula bahwa penyebab utama kabut asap tersebut adalah industri dan sistem penghangat berbahan bakar batu bara, yang meningkat penggunaannya dalam kondisi cuaca selama musim dingin.

Konsumsi energi Tiongkok masih mengandalkan batu bara sampai sekitar 60 persen, sekalipun sudah mulai banyak investasi untuk energi terbarukan.

Saat kita punya pilihan untuk tidak mengalami hal yang sama dengan Tiongkok kenapa menjerumuskan masyarakat ke dalam polusi,¿ kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu, Beni Ardiansyah di Bengkulu, Jumat.

Ia membeberkan hal itu saat mengikuti rapat pembahasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tentang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang direncanakan PT Tenaga Listrik Bengkulu atas dukungan investor asal Tiongkok.

Pembangkit berkapasitas 2 x 100 Megawatt (MW) tersebut direncanakan akan dibangun di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, berjarak tiga kilometer dari Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

Beni mengatakan dampak buruk pembangunan pembangkit itu sudah nyata di depan mata, karena itu pemerintah sebaiknya berpikir ulang terhadap investasi energi kotor yang akan meracuni udara.

Banyak alternatif sumber energi yang lebih ramah bagi kita yang bisa dikembangkan tanpa memakai batu bara, kata dia.

Mengutip hasil penelitian Universitas Harvard kata Beni, asap bakaran batu bara kata Beni merupakan pembunuh senyap yang menyebabkan kematian dini terhadap 6.500 jiwa warga Indonesia per tahun.

Jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 15.700 jiwa per tahun seiring dengan rencana PLTU batu bara baru.

Asap bakaran batu bara mengandung berbagai polutan beracun termasuk merkuri, arsenik dan timbal yang akan menyusup ke dalam paru-paru penghirupnya.

Racun yang terakumulasi dalam tubuh mengakibatkan stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif, dan penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya.

Ia pun mencurigai pembangunan pembangkit berbahan batu bara tersebut untuk memuluskan pengerukan batu bara di kawasan Bukit Barisan Sumatera yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan.

Sementara hasil koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan ada 56 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang bermasalah. Salah satu persoalan tersebut adalah penambangan dalam kawasana hutan lindung dan konservasi.

    

Surga energi terbarukan

Selain mempertahankan kualitas lingkungan yang baik, menghindari penggunaan batu bara berarti mengurangi emisi karbon.

Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon global.

"Pembakaran batu bara adalah sumber terbesar emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim," kata Direktur Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar.

Penggunaan bahan bakar batu bara sebesar 60 persen untuk memenuhi target energi listrik nasional sebesar 35.000 MW pada 2019 justru menimbulkan pertanyaan akan komitmen Indonesia mengurangi emisi karbon.

Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim di Paris, Prancis pada 2015 berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29 persen pada 2030 dan meningkat menjadi 40 persen dengan dukungan internasional.

"Padahal Indonesia adalah surga energi terbarukan dengan cadangan panas bumi mencapai 40 persen dari cadangan dunia," kata dia.

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2016-2025 menyebutkan potensi energi baru dan terbarukan Indonesia cukup melimpah.

Dalam dokumen itu disebutkan potensi panas bumi mencapai 29.164 MWe, potensi tenaga air mencapai 75.000 MWe, biomassa mencapai 49.810 MWe, tenaga surya mencapai 4,80 kWh per meter persegi per hari, tenaga angin 3-6 meter per detik serta kelautan 49 Gwe.

Khusus untuk Bengkulu, dalam RUPTL tersebut dipaparkan tentang rencana pembangunan 14 pembangkit listrik di mana 13 pembangkit bersumber dari energi terbarukan dan satu pembangkit uap bertenaga batu bara.

Potensi pembangkit energi terbarukan Bengkulu itu antara lain tenaga panas bumi, pembangkit tenaga mikro hidro, biomassa, tenaga surya yang akan menghasilkan daya 490 MW.

"Tanpa PLTU juga kebutuhan energi Bengkulu sudah terpenuhi karena saat ini saja potensi energi cukup bila interkoneksi PLTA Ulu Musi daya 210 MW terpasang ke Bengkulu," kata dia.

Rasio listrik Bengkulu saat ini dengan jaringan terpasang sekitar 85 persen memiliki beban puncak berkisar 259 MW. Kebutuhan daya tersebut dipasok dari PLTA Ulu Musi 210 MW, PLTA Tes 18 MW serta beberapa PLTD dan melalui jaringan interkoneksi dari Sumatera Selatan.

Selain itu, dua pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dibangun anak perusahaan PT Pertamina di Kabupaten Rejanglebong dan Lebong dengan daya 150 MW.

"Artinya akan ada kelebihan daya yang cukup besar sehingga muncul pertanyaan, untuk apa membangun PLTU yang jelas-jelas meracuni udara yang akan kita hirup setiap hari," kata dia. ***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016