Bengkulu (Antara) - Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid berpendapat bahwa konflik agraria telah memicu krisis ekologis di Nusantara sehingga agenda reforma agraria atau pembaruan agraria menjadi bagian penting untuk mengatasi krisis lingkungan.

"Persoalan agraria tidak lepas dari persoalan pengelolaan sumber daya alam, karena itu mewujudkan reforma agrarian bagian penting mengatasi krisis ekologis," ujar Khalisah di Bengkulu, Senin.

Saat dialog reforma agraria dengan tema "Mewujudkan pengeloalan Sumber Daya Alam yang berkeadilan dan berkelanjutan di Provinsi Bengkulu" yang digelar Komite Pembaruan Agraria Bengkulu, Khalisah mengatakan krisis ekologis dipicu monopoli penguasaan kawasan hutan untuk empat sektor yang mencapai 57 juta hektare.

Empat sektor tersebut yakni hak penguasahaan hutan (HPH) seluas 25 juta hektare untuk 303 perusahaan, hutan tanaman industri (HTI) seluas 10,1 juta hektare untuk 262 perusahaan.

Selanjutnya untuk perkebunan sawit seluas 12,3 juta hektare yang dikuasai 1.605 perusahaan dan sektor pertambangan mencapai 3,2 juta hektare yang dikuasai 1.755 perusahaan.

"Bahkan di Kalimantan Timur bila dijumlahkan seluruh perizinan empat sektor itu maka luasannya melebihi luas wilayah Kalimantan Timur itu sendiri," ucapnya.

Monopoli penguasaan sumber daya alam dan agraria tersebut tambah Khalisa, telah memicu konflik agraria di tingkat tapak yang mengakibatkan 256 orang warga ditahan, 110 orang dianiaya, 17 orang ditembak dan 19 orang tewas pada 2014.

Pada 2014 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 472 konflik agraria di atas lahan seluas 2,8 juta hektare yang melibatkan 105.887 kepala keluarga (KK). Jumlah konflik tersebut meningkat sebanyak 103 konflik atau 27,9 persen jika dibandingkan dengan jumlah konflik pada 2013.

Ia menegaskan bahwa reforma agraria masuk dalam Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, untuk penyelesaian konflik agraria guna mencapai "land reform", memperjelas kepemilikan dan kemanfaatan tanah, menentang kriminalisasi terhadap penuntutan kembali hak atas tanah serta membentuk lembaga adhoc penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam (SDA).

Sementara akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Emilia Contesa menegaskan bahwa roh reforma agraria adalah tanah untuk petani.

"Tapi dalam penerapannya banyak kepentingan politik sehingga saat ini reforma agraria baru sebatas `lips service`," tuturnya.

Menurut dia, salah satu cara mewujudkan reforma agraria adalah moratorium penerbitan izin hak guna usaha (HGU) dan membagikan lahan bekas HGU yang terlantar dan habis masa berlaku ke petani.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016