Matahari baru saja tenggelam saat Gutomo menurunkan sakelar listrik tenaga disel dan menaikkan sakelar listrik tenaga surya yang terpasang bersisian di samping pintu rumahnya.

Hari itu memasuki pekan ketiga uji coba pembangkit listrik bertenaga panas matahari di Desa Gajah Makmur, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.

"Masih uji coba. Dihidupkan pada malam hari sampai pagi lalu mati secara otomatis karena sudah disetting dengan pengatur waktu," ,kata Gutomo di Desa Gajah Makmur, akhir pekan lalu.

Penerangan baru itu berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpusat yang dibangun Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di Desa Gajah Makmur, Kecamatan Malin Deman.

Pembangunan pembangkit dengan daya 50 Kilowatt tersebut menggunakan dana pemerintah pusat tahun anggaran 2016 sebesar Rp6 miliar.

Pembangkit berupa 250 panel surya dipasang berjejer lima baris yang ditempatkan di belakang Kantor Desa Gajah Makmur. Di bagian belakang terdapat lima kotak berisi "accu" atau batere penyimpan tenaga listrik.

Lalu, di belakang barisan kotak "accu" tersebut dibangun satu ruangan kendali yang masih dioperasikan pihak ketiga yang membangun pembangkit tersebut.

"Uji coba dan pengawasan dari perusahaan yang membangun listrik ini akan berlangsung satu tahun sejak operasi," ucap Gutomo, yang merupakan Kepala Desa Gajah Makmur.

Desa Gajah Makmur yang berada di tepi Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Rami merupakan desa transmigrasi yang dibentuk pada 1995.

Akses jalan yang buruk dan ketiadaan penerangan menjadikan desa yang dihuni 350 kepala keluarga ini menjadi desa tertinggal di daerah itu.

Sebelum menikmati listrik bertenaga matahari, sejumlah kecil warga mampu membeli mesin genset dan harus mengeluarkan Rp200 ribu hingga Rp600 ribu per bulan untuk membeli bahan bakar.

"Sebelum ada listrik tenaga surya, kami bisa mengeluarkan Rp600 ribu untuk bahan bakar karena rumah saya juga merangkap kantor desa," kata Gutomo.

Hal serupa juga diungkapkan Lesmana, yang mengaku mampu menghemat Rp300 ribu per bulan untuk membeli bahan bakar menghidupkan genset sebagai sumber utama penerangan.

Sejak listrik tenaga surya dialirkan ke 250 rumah warga dengan kapasitas 300 watt setiap rumah, pengeluaran tersebut dapat ditekan sebab kepala keluarga hanya dikenakan Rp30 ribu per bulan.

"Sekarang biaya beli minyak mesin genset bisa dikantongi untuk keperluan lain karena iuran listrik hanya Rp30 ribu per bulan," ucapnya.

Dana tersebut dipakai untuk biaya operasional berupa perawatan pembangkit hingga honorarium petugas yang dikelola sebuah koperasi yang dibentuk perangkat desa.

Saat ini, kata Gutomo, empat orang warga desa juga sedang magang atau mendapat pelatihan tentang operasional dan perawatan PLTS dari karyawan perusahaan yang membangun PLTS tersebut.

Harapannya, setelah pihak ketiga menyelesaikan proses pembangunan dan pengawasan serta perawatan selama satu tahun, warga desa dapat mengelola secara mandiri sumber energi berkelanjutan itu.

"Bila dirawat dengan baik, fasilitas ini bisa bertahan selama 20 tahun sebelum ada penggantian material," ucapnya.



Listrik Desa

Pembangunan pembangkit listrik di Desa Gajah Makmur merupakan program percepatan elektrifikasi untuk 50 desa yang belum terang di Provinsi Bengkulu dan 2.500 desa di seluruh Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya meningkatkan elektrifikasi nasional, salah satunya dengan program melistriki desa-desa yang berada di perbatasan dan desa-desa terpencil.

Direktur Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan menjadi salah satu prioritas untuk menyediakan listrik bagi masyarakat, khususnya desa-desa yang belum terlistriki.

Energi baru dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang dapat diperbarui atau bisa dikelola dengan baik maka sumber dayanya tidak akan habis.

"Pembangunan PLTS terpusat di Desa Gajah Makmur bagian dari pembangunan 98 unit PLTS terpusat untuk melistriki desa-desa terpencil pada 2016," kata Rida.

Dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,6 triliun dari APBN 2016 untuk pengembangan energi baru terbarukan, pemerintah telah melistriki rumah 17.218 kepala keluarga dan sejumlah fasilitas umum.

Pembangunan PLTS terpusat, kata Rida, dilaksanakan di 98 desa di 16 provinsi dengan kapasitas bervariasi, yakni terkecil 15 kilowatt hingga terbesar 100 kilowatt.

Wilayah sasaran pembangunan tersebut yakni Provinsi Lampung enam desa, Bengkulu dua desa, Riau tiga desa, Sumatera Barat delapan desa, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah masing-masing satu desa.

Berikutnya, Nusa Tenggara Timur 12 desa, Kalimantan Tengah tujuh desa, Kalimantan Utara tiga desa, Sulawesi Tenggara 15 desa, Sulawesi Selatan enam desa, Maluku Utara dua desa, Maluku enam desa, Papua 17 desa dan Papua Barat sebanyak tujuh desa.

Rida menambahkan, pembangunan pembangkit listrik skala kecil untuk melistriki desa yang bersumber dari energi baru terbarukan akan dilanjutkan pada 2017 dengan alokasi anggaran sekira Rp1 triliun.

Salah satu program pengembangan PLTS tahun ini dengan membagikan 100.000 unit panel surya atau "solar home system" kepada 400 ribu rumah tangga di daerah yang belum teraliri listrik.

Panel surya itu akan dialiri listrik ke empat unit lampu LED dengan kapasitas masing-masing 3 watt kemudian disediakan colokan USB sehingga bisa digunakan mengisi baterai telepon seluler.

"Tahun ini akan dimulai, mudah-mudahan bisa dilanjutkan tahun depan karena masih ada 2.500 desa yang belum terlistriki," ujarnya.



Mitigasi Iklim

Selain mewujudkan keadilan energi, yakni melistriki ribuan desa yang belum "terang", pengembangan energi baru terbarukan sekaligus bagian komitmen dan strategi pemerintah Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim akibat pemanasan global.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim di Paris pada 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dari level "business as asual" pada 2030 dan meningkat menjadi 41 persen dengan bantuan internasional.

Karena itu, pembangunan energi bersih berkelanjutan menjadi bagian dari upaya pemerintah menurunkan tingkat emisi karbon atau CO2 dengan bauran dari saat ini sebesar 5 persen menjadi 17 persen pada 2020, dan meningkat hingga 23 persen pada 2025.

Saat ini bauran energi nasional masih didominasi minyak bumi sebesar 47 persen, disusul batu bara dan gas bumi masing-masing sebesar 24 persen.

"Pengembangan energi baru dan terbarukan terus digenjot dengan menambah kapasitas pembangkit untuk produksi energi," ucap Rida.

Pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan pada 2016 mencapai 16.729 kilowatt, rinciannya tenaga surya 104 unit dengan kapasitas 6.615 kilowatt, 17 unit pembangkit mikro hidro kapasitas 1.114 kilowatt, tenaga bioenergi lima unit dengan kapasitas 9.000 kw.

Pemerintah juga menambah listrik dari pembangkit bertenaga panas bumi (PLTP) mencapai kapasitas 205 Megawatt (MW) yang merupakan angka tertinggi sejak Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (BTKE) berdiri.

Lalu prosentase pencampuran biodiesel mencapai 20 persen yang merupakan tertinggi di dunia dan pemanfaatan biodiesel mencapai 2,74 kiloliter.

Rida menambahkan, pemerintah juga mendorong investasi pihak ketiga di sektor energi bersih dengan menerbitkan sejumlah regulasi pendukung mulai dari penetapan harga jual, pemberian insentif dan menjanjikan penataan lahan dan mempermudah perizinan.

Sementara Direktur Yayasan Kanopi Bengkulu Ali Akbar menilai pemerintah perlu merevisi target 35.000 MW listrik pada 2019 di mana sebesar 60 persen masih bersumber dari fosil atau energi yang tidak terbarukan.

"Ada semacam kontradiksi pemenuhan energi yang masih menitikberatkan ke energi kotor fosil batu bara, sedangkan pemerintah menargetkan mengurangi emisi karbon," ucapnya.

Mengutip data Badan Energi Internasional (IEA), kata Ali, bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon global.

Karena itu, menurut dia, pembangkit tenaga uap dari batu bara sudah saatnya dihentikan mengingat bahaya yang mengancam kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pencemaran energi kotor itu.

Indonesia, kata dia, merupakan surga energi terbarukan dengan potensi yang tercatat dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2016-2025 bahwa panas bumi mencapai 29.164 MWe, potensi tenaga air mencapai 75.000 MWe, biomassa mencapai 49.810 MWe, tenaga surya mencapai 4,80 kWh per meter persegi per hari, tenaga angin 3-6 meter per detik serta kelautan 49 Gwe.

"Kemauan politik sangat penting untuk melepas ketergantungan dari minyak bumi dan batu bara dan mulai berdaulat dengan energi terbarukan," kata mantan Deputi Walhi Nasional ini.***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017