"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Sepenggal lirik lagu salah satu grup band lawas Koes Ploes mungkin tepat untuk menggambarkan kesuburan dan keelokan alam di kaki gunung Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Gunung Masurai terletak di Kecamatan Jangkat atau berjarak 150 kilometer dari ibu kota Bangko, Merangin dan berjarak sekitar 400 kilometer dari Kota Jambi.

Gunung masurai merupakan gunung tidak aktif dan menyimpan berbagai keindahan. Hanya saja, gunung ini belum begitu banyak di kenali baik oleh para pendaki maupun oleh masyarakat luas.

Kawasan gunung Masurai juga merupakan salah satu cagar alam yang memiliki fungsi penting dalam menjaga ekosistim, yang mana gunung ini terletak di dalam kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan ketinggian 2.982 diantas laut. Diatas puncaknya terdapat dua danau besar yaitu danau Mabuk dan danau Kumbang.

Oleh sebagian besar masyarakat Jambi, kawasan gunung Masurai khususnya Kecamatan Jangkat dikenal sebagai salah satu daerah terisolir di Kabupaten Merangin yang berbatasan langsung antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Bengkulu serta Provinsi Sumatra Selatan.

"Dulu ada banyak orang bilang, angin saja susah masuk ke Jangkat, apalagi orang," ujar Aceng (35) salah seorang warga Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat.

Menurut dia daerah kaki Masurai merupakan daerah yang terlupakan dibanding daerah lain baik di Kabupaten Merangin maupun daerah lain di Provinsi Jambi. Hampir puluhan tahun daerah di kaki Masurai hampir terlupakan dari upaya pembangunan, baik jalan maupun infrastruktur listrik dan lainnya.

"Beruntung sejumlah desa ada program bantuan pembangkit listrik melalui WWF dan lembaga pemerhati lingkungan. Sejak mulai 1998 program tersebut mulai dibangun," katanya.

Untuk menuju kawasan gunung Masurai, dari Kota Jambi dengan jarak kurang lebih 400 kilometer hanya bisa ditempuh menggunakan jalan darat sekitar 15 jam perjalanan. Kondisi jalan aspal yang rusak, batu terjal dengan kontur berkelok kelok menyebabkan kawasan Masurai menjadi sulit dijangkau.

Meski demikian, bagi warga setempat dan bahkan para pendatang yang sebagian besar berasal dari provinsi tetangga menganggap Masurai merupakan "emas" yang terpendam.

Kawasan gunung Masurai di Kecamatan Jangkat dikenal sangat subur dan cocok untuk berbagai macam tanaman mulai dari kentang, sayur mayur, kayu manis, kapulaga, minyak nilam, karet dan kopi.

Kepala Desa Sungai Alai, Jamalludin (49) menceritakan, kawasan gunung Masurai, khususnya di Kecamatan Jangkat merupakan salah satu penghasil terbesar kentang yang ada di Provinsi Jambi. Pasaran kentang asli Jangkat itu telah merambah berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa dan Batam.

"Dalam satu kali panen, rata rata produksi kentang kami dalam satu hektar mampu menghasilkan 15 ton. Belum lagi hasil dari panen kayu manis, kopi maupun minyak nilam," ujarnya lagi.

                                  
                                                Pendatang
Suburnya kawasan Masurai juga memancing beberapa pendatang baru yang sebagian besar berasal dari Provinsi Sumatra Selatan maupun Bengkulu. Oleh masyarakat sekitar para pendatang yang rata rata membuka lahan perkebunan kopi disebut sebagai "orang selatan".

Akibat maraknya para pendatang itu, sempat membuat resah masyarakat desa di sekitar kawasan Masurai. Bahkan, beberapa desa di Kecamatan Jangkat terpaksa mengeluarkan peraturan desa (perdes) yang isinya melarang aktifitas pembukaan lahan baru di kawasan tersebut.

Masyarakat Masurai dikenal sangat menjaga adat istiadatnya. Khusunya dalam menjaga kawasan hutan, dimana kawasan hutan yang sebagian besar masuk kawasan penyangga TNKS merupakan sumber pasokan air bagi pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Pembangkit listrik yang menghidupi sekitar 11 desa di Kecamatan Jangkat maupun beberapa desa di kecamatan tetangga.

Kepala Desa Jangkat, Kecamatan Sungai Tenang, Jarjani (31) mengatakan, sebelum adanya pemekaran kecamatan, Desa Jangkat statusnya masuk dalam wilayah Kecamatan Jangkat. Sebagai desa terluar di Kabupaten Merangin, Jarjani mengaku desanya sangat kurang akan perhatian oleh pemerintah setempat.

"Sekolah di desa kami hanya ada satu SD. Program pemerintah banyak yang kami tidak ketahui, karena jarang sekali ada petugas dari pemerintah datang ke desa kami," katanya.

Desa Jangkat, kata dia, merupakan salah satu desa yang cukup tertinggal dibanding desa lain di kawasan Masurai. Akses jalan yang sulit menyebabkan warga desa Jangkat bahkan ada yang belum pernah sekalipun berkunjung ke ibu kota kabupaten.

"Tidak hanya itu, kami bercocok tanam juga lebih berinisiatif sendiri tanpa bantuan dari pemerintah. Sehingga tak jarang, ketika ada hama menyerang kami tidak tahu harus mengadu kemana. Petugas penyuluh pertanian maupun perkebunan sangat jarang berkunjung ke desa kami," jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan berbagai macam tanaman sudah dicoba oleh 258 kepala keluarga di desa itu. Mulai dari minyak nilam, kayu manis dan coklat. Meski tumbuh subur, namun pada kenyataannya buah maupun tanamannya diserang hama sehingga hanya tumbuh namun tidak bisa dipanen.

"Sehingga kami tidak jarang masuk hutan untuk mencari getah jernang atau hasil hutan lain bukan kayu yang bisa dijual untuk menghidupi keluarga kami," katanya.

    
                                        Kearifan Lokal
Menurut Fasilitator Komunitas dan Pengembangan Ekonomi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, Dezrijal kawasan Masurai merupakan kawasan terluar Kabupaten Merangin yang masih terisolir karena sulitnya jalan di daerah itu.

Kawasan Masurai yang berbatasan langsung dengan TNKS menyebabkan masyarakat setempat sangat erat kaitannya dengan kawasan hutan di daerah itu.

"Dengan adanya kearifan lokal kami sebagai lembaga pemerhati lingkungan mencoba mengupayakan adanya interaksi masyarakat dengan hutan tanpa merusak ekosistem alam yang ada," ujarnya.

Ia menceritakan akibat sulitnya infrastruktur di daerah itu, mulai 1998 dengan diprakarsai oleh WWF bersama lembaga lingkungan di Jambi membangun sejumlah pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang bersumber dari sumber air yang ada di kawasan Masurai.

"Dengan bantuan ini sedikitnya ada 11 desa di Kecamatan Jangkat dan sejumlah desa di Kecamatan Sungai Tenang mulai awal 2000 sudah bisa menikmati meski baru setengah hari mulai jam empat sore hingga delapan pagi," katanya.

Agar tidak terjadi upaya penyalahgunaan kawasan hutan, KKI Warsi Jambi juga tengah mendampingi masyarakat di dua desa di kaki Masurai dalam upaya mengusulkan kawasan hutan adat dan hutan desa di daerah itu.

"Kawasan hutan adat ada di Desa Renah Alai seluas 2.200 hektare. Sementara hutan desa berlokasi di Desa Jangkat seluas 4.600 hektar," jelasnya.

Menurut dia, dengan adanya skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diharapkan interaksi antara masyarakat dengan hutan bisa terjaga. Masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan non-kayu tanpa merusak ekosistem yang ada. Proses penjagaan keanekaragaman hayati juga bisa tetap terjaga dengan melibatkan masyarakat langsung di sekitar kawasan hutan.

Sementara itu, Ali Sofiawan dari Tropical Forest Conservation Acton for Sumatra (TFCA-Sumatra) mengatakan, tingginya komitmen sejumlah warga desa di kawasan Masurai mendorong TFCA-Sumatra untuk turut membantu terciptanya pengelolaan penjagaan hutan di daerah itu.

Menurut dia, TFCA-Sumatra merupakan lembaga inisiatif yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat untuk mewujudkan pengelolaan hutan letari di Indonesia dengan sumber pendanaan dari pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap).

Melalui skema pengalihan utang untuk lingkungan, utang Pemerintah Indonesia sebesar 19,2 juta dolar AS dikonversi untuk membiayai program konservasi hutan Indonesia dimana menjadi salah satu prioritas yang perlu diselamatkan adalah hutan Sumatra yang tersebar di 13 bentang alam prioritas.

"Untuk itulah TFCA-Sumatra mencoba melihat kondisi hutan di Jambi serta bagaimana potensi dan komitmen masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan menggandeng salah satu lembaga pemerhati lingkungan yang ada di Jambi," jelas Ali Sofiawan. (ANT)

Pewarta: Bangun Santoso

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012