Bengkulu (Antara) - Kebijakan pemerintah mengubah mekanisme penerimaan peserta didik baru dari sistem persaingan nilai ke zonasi, sesungguhnya merupakan niat mulia untuk mewujudkan keadilan pendidikan.

Namun, sosialisasi dan persiapan yang minim membuat kebijakan baru ini menimbulkan berbagai persoalan yang berpotensi menghilangkan hak anak bangsa atas pendidikan.

"Sebenarnya tujuannya sangat mulia untuk pemerataan dan keadilan pendidikan, tapi masih kurang persiapan dan sosialisasi," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Bengkulu Herdi Puryanto di Bengkulu, Minggu.

Ia mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17/2017 yang menyatakan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi dan memprioritaskan anak tempatan diterbitkan pada Mei 2017.

Poin krusial dari peraturan ini adalah sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili di radius terdekat dari sekolah mencapai 90 persen dari total jumlah peserta yang diterima.

Untuk mengukur radius domisili calon peserta didik tersebut, digunakanlah alamat pada Kartu Keluarga calon siswa yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

Sisanya yang 10 persen calon siswa baru dibagi menjadi lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen untuk peserta didik yang pindah sekolah atau dikarenakan bencana sosial/alam.

"Penerbitan aturan ini sangat berdekatan dengan proses PPDB sehingga penyelenggara pendidikan kurang siap dalam penerapannya," kata Herdi.

Begitu pula dengan masyarakat atau calon peserta didik, belum memahami aturan tersebut sehingga muncul berbagai pertanyaan, terutama mengukur radius terdekat dari sekolah.

Ombudsman pun mencatat empat persoalan yang muncul dalam PPDB tahun ajaran ini, yakni pertama, mengukur jarak terdekat sebab hal ini tidak diatur secara detail dalam peraturan itu.

Ketiadaan petunjuk teknis pelaksanaan PPDB ini membuat tiap sekolah menerjemahkan dan menerapkan kebijakan yang berbeda-beda dalam menentukan kriteria soal "radius terdekat".

"Ada sekolah yang membuat ring satu dan seterusnya untuk mengukur radius terdekat," ujar Asisten Ombudsman Bengkulu Redho Berlian.

Aturan ini pun dinilai diskriminatif sebab ada siswa yang jarak rumahnya cukup jauh dari sekolah yang masuk zonasi, sedangkan untuk masuk sekolah yang jaraknya lebih dekat, sekolah tersebut tidak masuk zonasinya.

Persoalan kedua, mengenai kuota 20 persen untuk siswa kurang mampu dari total keseluruhan calon siswa baru yang diamanatkan dalam Permendikbud PPDB ini. Bunyi pasal ini justru kontradiksi dengan bunyi pasal yang menyebutkan kuota untuk zonasi 90 persen.

"Tentu saja ini membingungkan bagi sekolah apalagi petunjuk teknis dan aturan turunan hanya `copy paste` bunyi Permendikbud PPDB sehingga tidak memberikan solusi," ujarnya.

Persoalan ketiga adalah waktu atau tenggat penerimaan calon siswa baru di mana sebagian besar sekolah sudah menutup waktu penerimaan dikarenakan kuota sudah mencukupi.

Akibatnya, banyak siswa yang tersingkir di satu sekolah kemudian ingin memilih sekolah lain dalam satu zonasi tidak mendapatkan sekolah.

Persoalan keempat, beberapa sekolah menambah syarat surat keterangan domisili dalam bentuk surat keterangan dari ketua RT dan lurah.

Menurut Redho, kebijakan ini mungkin baik untuk menilai siswa yang mendaftar benar-benar warga yang domisilinya dalam radius terdekat dari sekolah.

Namun, persyaratan tersebut memiliki dua persoalan, yaitu dapat menambah beban persyaratan bagi siswa serta dikhawatirkan dapat menjadi ajang transaksi maladministrasi dalam penerbitannya.



Hapus Kastanisasi

Meski menimbulkan beberapa persoalan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat kunjungan kerja ke Bengkulu pada Jumat (14/7) mengatakan penerapan kebijakan baru ini untuk menghapus kastanisasi sekolah serta dalam jangka panjang adalah pemerataan kualitas pendidikan di Tanah Air.

"Tidak ada lagi sekolah favorit dan pinggiran, kita punya tanggung jawab menjadikan semua sekolah menjadi favorit," katanya.

Selama ini, para siswa dan orang tua siswa memburu sekolah favorit sehingga anak-anak berprestasi dan kaya akan berkumpul dalam satu sekolah, sedangkan siswa yang dianggap kurang pintar dan miskin akan berkumpul di sekolah pinggiran atau non-favorit.

"Teman saya punya pengalaman anaknya harus bersekolah sejauh 20 kilometer dari rumah karena tidak lulus di sekolah dekat rumahnya," ujarnya.

Kasus ini menjadi salah satu cermin untuk menerapkan sistem zonasi, yakni calon siswa yang berada di sekitar sekolah akan diprioritaskan masuk ke sekolah itu.

Ke depan, ujarnya, seluruh sekolah akan dijadikan sekolah favorit dan mencetak generasi muda yang berkualitas.

"Memang tahun pertama ini masih banyak kendala karena banyak pemburu sekolah favorit yang melakukan semua cara dan di sini ada celah kecurangan," katanya.

Menteri Muhadjir pun berjanji PPDB pada 2018 akan lebih baik dari pada pelaksanaan tahun ini dengan melakukan berbagai evaluasi.

Ia mengatakan dari hasil penerapan kebijakan tahun pertama ini sudah bisa dipetakan kebutuhan ruang atau sekolah baru untuk setiap zonasi sehingga kesinambungan terjaga dari setiap tingkatan mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA atau sederajat.

Guna mewujudkan pemerataan tersebut, Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah meminta dukungan pemerintah pusat untuk membantu dana pembangunan sekolah menengah atas yang belum tersedia di beberapa kecamatan.

"Masih ada 25 kecamatan di Bengkulu yang belum memiliki sekolah menengah atas, ini kami targetkan terbangun hingga akhir 2021," katanya.

Rohidin mengatakan pemerintah daerah mendukung kebijakan Kemendikbud tersebut sebab esensinya adalah pemerataan kesempatan bagi anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan. ***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017