Rejang Lebong (Antara) - Industri batu bata lokal produksi warga Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, terancam bangkrut karena kalah bersaing dengan produk dari luar daerah yang masuk ke wilayah itu.
Pantauan di lapangan, Sabtu, di salah satu sentra penghasil batu bata di Rejang Lebong adalah di Desa Dataran Tapus, Kecamatan Bermani Ulu Raya. Batu bata asal daerah ini dikenal sebagai bata "tabarenah", dan selama ini menguasai pasaran material bangunan di Rejang Lebong.
Belakangan industri itu terancam tutup setelah batu bata asal Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumsel masuk dan menguasai pasaran material di wilayah itu.
Batu bata asal asal Musi Rawas atau yang dikenal bata "merasi" itu selain harganya lebih murah juga kualitas bahan baku lebih bagus serta diproduksi menggunakan mesin pres.
"Saat ini batu bata asal Merasi mulai menguasai pasaran di Rejang Lebong, kualitas mereka lebih bagus dan sudah menggunakan mesin pres, sedangkan batu bata disini masih di produksi secara manual," kata Sugeng (54) salah seorang perajin batu bata di Desa Dataran Tapus.
Sugeng yang mengaku sudah 17 tahun menekuni usaha tersebut merasa prihatin dengan perkembangan usaha yang dilakoni puluhan warga desa setempat. Usaha mereka ini nyaris ambruk dan tutup karena kalah bersaing dengan bata dari luar daerah yang harga jualnya berkisar antara Rp450-Rp550 per buah, atau tidak jauh beda dengan produksi lokal.
Tingginya harga jual batu bata lokal ini tambah dia, karena produksinya dilakukan secara manual, tidak heran jika satu buah batu bata harga produksinya sudah mencapai Rp350. Adapun rincian produksinya seperti upah aduk bahan Rp60 per bata, upah cetak Rp30 per bata, biaya susun setelah dan sesudah pembakaran Rp60 serta biaya lainnya.
Batu bata ini baru bisa dijual setelah proses pembuatannya sampai pembakaran memakan waktu hingga 15 hari untuk 10.000 bata. Kemudian batu bata ini mereka jual antara Rp500-Rp600 per buah.
Sementara itu Sekretaris Desa Dataran Tapus, Tedy Riski mengatakan, di wilayah itu terdapat 11 lokasi pembuatan batu bata dengan melibatkan puluhan sampai ratusan tenaga kerja. Usaha ini sudah dilakoni warga setempat sejak puluhan tahun lalu.
"Disini ada 11 bangsal bata yang memproduksi bata merah, sebagian besar warga sini yang tidak mempunyai kebun atau pekerjaan lainnya bekerja di bangsal bata ini mulai dari tukang aduk bahan, tukang cetak maupun tenaga pembakar bata," katanya.
Untuk membantu usaha ini agar tetap berkembang pihak Desa Dataran Tapus tambah dia, telah memasukan usaha batu bata ini dalam program BUMDes dengan pembiayaan dana desa. Kalangan pelaku usaha ini nantinya akan diberikan pinjaman modal, pelatihan manajemen dan lainnya sehingga produksi batu bata setempat memiliki standar jual sehingga tidak kalah dengan bata dari luar daerah.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017
Pantauan di lapangan, Sabtu, di salah satu sentra penghasil batu bata di Rejang Lebong adalah di Desa Dataran Tapus, Kecamatan Bermani Ulu Raya. Batu bata asal daerah ini dikenal sebagai bata "tabarenah", dan selama ini menguasai pasaran material bangunan di Rejang Lebong.
Belakangan industri itu terancam tutup setelah batu bata asal Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumsel masuk dan menguasai pasaran material di wilayah itu.
Batu bata asal asal Musi Rawas atau yang dikenal bata "merasi" itu selain harganya lebih murah juga kualitas bahan baku lebih bagus serta diproduksi menggunakan mesin pres.
"Saat ini batu bata asal Merasi mulai menguasai pasaran di Rejang Lebong, kualitas mereka lebih bagus dan sudah menggunakan mesin pres, sedangkan batu bata disini masih di produksi secara manual," kata Sugeng (54) salah seorang perajin batu bata di Desa Dataran Tapus.
Sugeng yang mengaku sudah 17 tahun menekuni usaha tersebut merasa prihatin dengan perkembangan usaha yang dilakoni puluhan warga desa setempat. Usaha mereka ini nyaris ambruk dan tutup karena kalah bersaing dengan bata dari luar daerah yang harga jualnya berkisar antara Rp450-Rp550 per buah, atau tidak jauh beda dengan produksi lokal.
Tingginya harga jual batu bata lokal ini tambah dia, karena produksinya dilakukan secara manual, tidak heran jika satu buah batu bata harga produksinya sudah mencapai Rp350. Adapun rincian produksinya seperti upah aduk bahan Rp60 per bata, upah cetak Rp30 per bata, biaya susun setelah dan sesudah pembakaran Rp60 serta biaya lainnya.
Batu bata ini baru bisa dijual setelah proses pembuatannya sampai pembakaran memakan waktu hingga 15 hari untuk 10.000 bata. Kemudian batu bata ini mereka jual antara Rp500-Rp600 per buah.
Sementara itu Sekretaris Desa Dataran Tapus, Tedy Riski mengatakan, di wilayah itu terdapat 11 lokasi pembuatan batu bata dengan melibatkan puluhan sampai ratusan tenaga kerja. Usaha ini sudah dilakoni warga setempat sejak puluhan tahun lalu.
"Disini ada 11 bangsal bata yang memproduksi bata merah, sebagian besar warga sini yang tidak mempunyai kebun atau pekerjaan lainnya bekerja di bangsal bata ini mulai dari tukang aduk bahan, tukang cetak maupun tenaga pembakar bata," katanya.
Untuk membantu usaha ini agar tetap berkembang pihak Desa Dataran Tapus tambah dia, telah memasukan usaha batu bata ini dalam program BUMDes dengan pembiayaan dana desa. Kalangan pelaku usaha ini nantinya akan diberikan pinjaman modal, pelatihan manajemen dan lainnya sehingga produksi batu bata setempat memiliki standar jual sehingga tidak kalah dengan bata dari luar daerah.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017