Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Lembaga non-pemerintah Kantong Informasi Pemberdayaan Kesehatan Adiksi (Kipas) Bengkulu menilai perlu strategi baru untuk menanggulangi peredaran narkotika di Indonesia dengan mengurangi tindakan represif yang kerap berujung pelanggaran hak asasi manusia pengguna narkotika.
"Pendekatan represif yang dipraktikkan selama ini tidak membawa perubahan yang signifikan, justru memperburuk kondisi," kata Direktur Kipas Bengkulu Merly Yuanda, di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan memperingati Hari Anti-Narkotika Internasional (HANI) pada 26 Juni 2018 para aktivis dari puluhan lembaga yang bergabung dalam Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan penanggulangan narkotika.
Tindakan represif dalam penanggulangan bahaya narkoba, kata Merly, terbukti tidak membawa perubahan justru semakin memburuk dan stigma terhadap pengguna semakin melekat.
Data Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, jumlah pengguna narkotika di lembaga pemasyarakatan (lapas) pada 2015 sebanyak 290.703 orang, meningkat menjadi 331.829 orang pada 2016, dan bertambah menjadi 420.204 orang pada 2017.
Sedangkan jumlah pengedar di lapas tercatat sebanyak 481.483 orang pada 2015, menjadi 591.405 orang pada 2016, dan meningkat lagi menjadi 734.428 orang pada 2017.
"Perang terhadap narkoba justru berdampak besar terhadap pengguna, bukan bandar narkotika," ujarnya lagi.
Penanganan yang demikian, menurut dia, justru menyuburkan dampak buruk lanjutan seperti praktik pungutan liar, penyiksaan serta pelanggaran HAM pengguna masih terjadi pada penanganan kasus narkoba. "Paralegal PKNI pada 2018 merilis riset di 10 kota termasuk Bengkulu bahwa pungli, penyiksaan serta pelanggaran HAM masih terjadi 80 persen dalam penanganan kasus narkoba," ujar dia.
Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut, menurut Merly, adalah menghentikan perang terhadap narkoba karena justru salah sasaran dan tidak mampu memutus mata rantai dari peredaran gelap narkotika.
Khusus di Kota Bengkulu, lanjut Merly, jumlah pengguna napza mencapai 20.963 orang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018
"Pendekatan represif yang dipraktikkan selama ini tidak membawa perubahan yang signifikan, justru memperburuk kondisi," kata Direktur Kipas Bengkulu Merly Yuanda, di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan memperingati Hari Anti-Narkotika Internasional (HANI) pada 26 Juni 2018 para aktivis dari puluhan lembaga yang bergabung dalam Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan penanggulangan narkotika.
Tindakan represif dalam penanggulangan bahaya narkoba, kata Merly, terbukti tidak membawa perubahan justru semakin memburuk dan stigma terhadap pengguna semakin melekat.
Data Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, jumlah pengguna narkotika di lembaga pemasyarakatan (lapas) pada 2015 sebanyak 290.703 orang, meningkat menjadi 331.829 orang pada 2016, dan bertambah menjadi 420.204 orang pada 2017.
Sedangkan jumlah pengedar di lapas tercatat sebanyak 481.483 orang pada 2015, menjadi 591.405 orang pada 2016, dan meningkat lagi menjadi 734.428 orang pada 2017.
"Perang terhadap narkoba justru berdampak besar terhadap pengguna, bukan bandar narkotika," ujarnya lagi.
Penanganan yang demikian, menurut dia, justru menyuburkan dampak buruk lanjutan seperti praktik pungutan liar, penyiksaan serta pelanggaran HAM pengguna masih terjadi pada penanganan kasus narkoba. "Paralegal PKNI pada 2018 merilis riset di 10 kota termasuk Bengkulu bahwa pungli, penyiksaan serta pelanggaran HAM masih terjadi 80 persen dalam penanganan kasus narkoba," ujar dia.
Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut, menurut Merly, adalah menghentikan perang terhadap narkoba karena justru salah sasaran dan tidak mampu memutus mata rantai dari peredaran gelap narkotika.
Khusus di Kota Bengkulu, lanjut Merly, jumlah pengguna napza mencapai 20.963 orang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018