Bengkulu (Antaranews Bengkulu) – Pembangkit listrik bertenaga batu bara lebih murah dibanding pembangkit listrik dari energi terbarukan seperti tenaga angin dan matahari. Demikian anggapan keliru yang selama bertahun-tahun telah menjadi dasar argumen pemerintah dalam mengembangkan energi fosil batu bara di Indonesia.

Dalam sebuah laporan dengan topik “Dukungan Finansial untuk Batubara dan Energi Terbarukan di Indonesia” mengungkap biaya pembangkit listrik batu bara ternyata jauh lebih mahal dibandingkan energi terbarukan.

Salah seorang penyusun laporan tersebut, Lucky Lontoh dari International Institute for Sustainable Development (IISD) menyebutkan bahwa biaya sebenarnya atau “true cost” dari batu bara, termasuk di dalamnya biaya subsidi dan biaya eksternal, ternyata jauh lebih tinggi dari energi terbarukan.

“Biaya eksternal seperti pemulihan kesehatan dan lingkungan membuat pembangkit batu bara jauh lebih mahal dari energi terbarukan,” ucapnya dalam sebuah pertemuan membahas potensi energi terbarukan di Indonesia belum lama ini.

Biaya eksternal tersebut kata Lucky muncul sebagai dampak dari polusi batu bara yang menurunkan kadar kualitas lingkungan sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat . 

Karena itu, biaya eksternal yang harus ditanggung masyarakat dari polusi udara dan emisi karbon perlu ditambahkan ke dalam biaya pengadaan listrik dari batu bara.

Perkiraan biaya eksternal yang didasarkan pada kajian literatur internasional mencapai 6 sen dolar AS per KWh. Sehingga biaya eksternal tersebut sangat mempengaruhi perhitungan ekonomi dari pembangunan pembangkit batu bara.

Selain memasukkan biaya eksternal, untuk mengetahui biaya sebenarnya dari batubara adalah dengan merinci daftar subsidi yang diterima industri tersebut di Indonesia. 

Terminologi “subsidi” yang dimaksud adalah dukungan, baik dalam bentuk kebijakan yang diterima suatu industri atau akses terhadap bantuan keuangan seperti defenisi subsidi yang dipakai secara internasional.

Mengacu pada definisi subsidi tersebut, muncul 15 daftar kebijakan yang dinilai memberikan “subsidi” pada industri batu bara di Indonesia. 

Bentuk subsidi tersebut antara lain, dukungan pemerintah untuk jaminan pinjaman, dana jaminan pembangunan infrastruktur untuk proyek yang berkaitan dengan batu bara, pembebasan pajak ekspor, mengeluarkan tarif impor untuk peralatan canggih tertentu dan juga mengenakan tarif pajak pertambangan nilai (PPN) untuk barang dna jasa yang dibeli perusahaan pertambangan batu bara dan lainnya.

Dari 15 daftar kebijakan tersebut, hanya tujuh yang dapat dikuantifikasi sehingga menemukan subsidi untuk sektor batu bara pada 2014 sejumlah 946,1 juta dolar AS atau Rp12,4 triliun, lalu pada 2015 sebesar 644,8 juta dolar AS atau Rp8,5 triliun.

Posisi pada 2015 kata Lucky, dengan produksi listrik sebanyak 130.508 GWh, pembangkit batu bara disubsidi sebesar 664 juta dolar AS dengan subsidi per unit yaitu 0,0049 dolar AS per KWh.

Sementara produksi listrik dari energi terbarukan sebanyak 25.197 GWh mendapat subsidi hanya 133 juta dolar AS dengan total subsidi senilai 0,0055 per KWh.

Data ini menurut dia memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara subsidi energi terbarukan dengan subsidi batu bara. Padahal energi batu bara memunculkan biaya eksternal dari lingkungan dan kesehatan yang jauh tinggi dibandingkan energi terbarukan.

Subsidi yang diberikan dalam mengembangkan energi terbarukan memang membutuhkan biaya yang besar dalam waktu dekat tapi produksi listriknya secara efektif mengurangi pencemaran udara dan emisi CO2 sehingga dengan demikian mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam jangka panjang.

Selain menimbulkan biaya eksternal akibat polusi dan masalah kesehatan yang ditimbulkan, rencana listrik Indonesia yang didominasi pembangkit listrik kotor berbais batu bara juga menciptakan risiko finansial yang signigikan bagi pemerintah sekaligus konsumen listrik di Indonesia.

Peneliti Auriga Nusantara, Hendrik Siregar mengatakan risiko finansial itu muncul dari kombinasi program jaminan risiko dan peningkatan kredit untuk listrik bertenaga batu bara.

Laporan terbaru berjudul “Private Gain, Publik Risk : Guarantees and Credit Enhancement for Coal-Fired Power Plants in Indonesia” yang dirilis oleh Oil Change International bekerjaama dengan Auriga Nusantara mengungkap jaminan pinjaman bagi proyek pembangkit listrik berbasis batu bara sepanjang 2017 bernilai antara 2,1-4 miliar Dolar, dan dapat meningkat karena jaminan berjalan melampaui 2017.

Selain itu, miliaran dolar dalam bentuk risiko tambahan diciptakan melalui jaminan kelangsungan usaha dan valuta asing dalam proyek tersebut.

Analisis yang muncul kata Hendrik menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia mengambil taruhan berbahaya pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Klaim beberapa pihak bahwa dengan beralih ke penggunaan lebih banyak batu bara dalam negeri akan meningkatkan kedaulatan energi Indonesia merupakan kebohongan besar, kata Hendrik.

“Dengan mendukung industri batu bara dalam berbagai cara, Indonesia justru tunduk pada tekanan dari negara lain yang mengirimkan teknologi batu bara mereka yagn sudah ketinggalan zaman sembari memindahkan risikonya bagi masyarakat Indonesia,” ucapnya.


Dukungan Regulasi

Menurut Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, dibutuhkan dukungan regulasi yang kuat untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Regulasi yang selama ini ada menurutnya, justru hanya memprioritaskan pembangkit listrik batu bara seperti kebijakan pengadaan tanah untuk proyek pembangkit. 

Ia berkaca pada kasus PLTU batu bara Batang di Provinsi Jawa Tengah di mana negara menggunakan Undang- Undang nomor 2 tahun 2013 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum untuk pengadaan tapak proyek.

“Regulasi itu dipakai untuk memaksa masyarakat menjual tanah kepada perusahaan pemilik proyek, padahal mereka menolak menjual tanah berupa sawah karena itu satu-satunya tumpuan hidup,” ucapnya.

Fakta yang sangat kontras terjadi pada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Samas atau kebun angin berkapasitas 50 MW yang dimulai pada November 2011 tapi terpaksa dibatalkan karena tidak memperoleh izin pemanfaatan lahan dari pemerintah Provinsi Yogyakarta.

Akibatnya, PT PLN membatalkan proyek tersebut karena tidak berhasil memenuhi tenggat tanggal pendaaan atau “financial close” pada Mei 2017. Ironisnya, peletakan batu pertama proyek ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei 2015 dan masuk dalam program pengadaan listrik nasional 35.000 MW.

Dua kasus ini menurut Pius menjadi gambaran terang terkait keberpihakan negara yang masih dominan pada pengembangan batu bara dibanding energi terbarukan.

Pengkampanye Energi Greenpeace, Hindun Mulaika juga membenarkan adanya perlakuan diskriminatif yang harus diakhiri dari pembuat regulasi terhadap investasi sektor energi batu bara dan energi terbarukan.

Ia mencontohkan investasi batu bara di mana negara menghapus seluruh resiko bisnis ini mulai dari penyediaan kontrak pembelian dalam jangka panjang mencapai 30 tahun hingga jaminan pembelian batu bara.

Regulasi yang serupa tidak diterapkan pada investasi sektor energi terbarukan di mana tidak ada jaminan kontrak pembelian sehingga membuat investor memandang risiko investasi terlalu tinggi.

Kondisi ini membuat dukungan pendanaan dari perbankan untuk sektor energi terbarukan sangat rendah. Investasi yang minim artinya akan membuat persaingan harga antara energi terbarukan dengan batu bara sulit tercapai.

“Jadi memang perlu dihitung ulang biaya yang sebenarnya dikeluarkan untuk membangun energi batu bara dengan membangun energi terbarukan,” ucapnya.

Bila hal itu tidak dilakukan, Hindun menilai upaya pemerintah merealisasikan target bauran energi terbarukan sekaligus target penurunan emisi akan sulit tercapai.

Tiga tahun lalu, pada COP-21 di Paris, Prancis, Indonesia komitmen menandatangani Kesepakatan Paris guna menurunkan emisi karbon dan bersama-sama menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Indonesia dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) mencantumkan komitmen menurunkan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Dalam dokumen NDC Indonesia memperjelas bahwa angka 29 persen penurunan emisi akan berasal dari beberapa sektor dengan proporsi dari pengunaan lahan sebesar 17 persen, energi 11 persen, limbah, industri dan pertanian lebih kecil dari 1 persen. Sektor lahan dan energi memberi kontribusi lebih dari 80 persen total emisi nasional Indonesia.

Sementara  pada 2017 presentasi energi terbarukan masih berkisar 8 persen dari total bauran energi. Padahal potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia sangat melimpah seperti yang tercatat dalam rencana usaha pemenuhan tenaga listrik (RUPTL) 2016-2025 bahwa potensi panas bumi mencapai 29.164 MWe, potensi tenaga air mencapai 75.000 MWe, biomassa mencapai 49.810 MWe, tenaga surya mencapai 4,80 kWh per meter persegi per hari, tenaga angin 3-6 meter per detik serta kelautan 49 Gwe.

Karena itu kata Hindun, iklim investasi yang memberikan ruang lebih besar bagi energi terbarukan seperti penentuan tarif biaya investasi hingga mekanisme distribusi sangat mendesak sehingga para investor tidak ragu menanamkan modal.

Lucky Lontoh mengutip laporan berjudul “Melesetnya target 23 persen : hambatan pembangunan energi terbarukan di Indonesia” yang dirilis Global Subsidies Initiative (GSI) dan IISD menyebutkan halangan terbesar bagi energi terbarukan di Indonesia antara lain harga pembelian untuk energi terbarukan dibatasi di angka yang terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang pembangkit baru.

Penyebab lain adalah perubahan kebijakan dan peraturan yang cukup sering dilakukan berujung pada ketidakpastian dan penundaan, serta meningkatkan resiko bagi para investor. Kemudian, subsidi dan dukungan finansial untuk bahan bakar fosil khususnya batu bara bertentangan dengan keinginan untuk melakukan transisi ke energi terbarukan.

Selain itu, PT PLN sebagai pemilik utama aset pembangkit berbahan bakar fosil saat ini masih memiliki pengalaman yang sedikit di bidang energi terbarukan dan kemauan yang terbatas untuk melakukan transisi ke pembangkitan berbasis energi terbarukan.

Untuk menjawab kendala tersebut, beberapa saran untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan di Indonesia adalah meningkatkan keterlibatan dan kompromi antara para pemangku kepentingan untuk memastikan harga listrik rendah, menghindari subsidi, dan mencapai target energi terbarukan pada waktu yang sama. 

Kemudian menjaga stabilitas kebijakan, menghapus hambatan peraturan, dan melancarkan proses perizinan. Mengevaluasi ulang apakah persyaratan usaha memberikan manfaat atau justru menambah biaya yang tidak perlu serta mendukung secara proaktif pengembangan lokasi yang bagus yang memungkinkan untuk dibangun proyek energi terbarukan skala besar yang menghasilkan harga di bawah BPP Nasional dan membangun proyek tersebut melalui lelang energi.

“Tidak kalah penting menyetarakan lajur energi terbarukan dengan menghapuskan subsidi terhadap bahan bakar fosil dan meningkatkan kesadaran akan dampak lain dari bahan bakar fosil,” kata Lucky.

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018