Bengkulu (Antaranews Bengkulu)  Sebanyak 13 organisasi lingkungan, seni dan mahasiswa di Kota Bengkulu berpartisipasi dalam aksi iklim global atau "Rise for Climate" dengan menggelar nonton bareng dan diskusi mengulas ancaman proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Teluk Sepang, Bengkulu yang diperkirakan beroperasi pada 2020.

Aksi iklim ini berlangsung serentak di seluruh dunia di mana Bengkulu turut berpartisipasi bersama 76 organisasi di 19 kota di Indonesia,? kata Koordinator aksi Rise for Climate Bengkulu, Suarli Sarim di Bengkulu, Sabtu (8/9), malam. 

Menurut dia, pembangunan proyek-proyek pembangkit listrik berbahan energi kotor seperti batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi sehingga memicu pemanasan global.

Karena itu, para aktivis lingkungan dan mahasiswa bersuara dan mendesak pemerintah untuk menghentikan pembangkit berhaban energi kotor yang akan membahayakan masa depan bumi.

Mengapa memilih energi kotor padahal Indonesia dilimpahi potensi energi terbarukan yang ramah lingkungan, ucap Manajer Pendidikan Rakyat Yayasan Kanopi Bengkulu ini.

Setelah menyaksikan film dokumenter tentang dampak PLTU batu bara di sejumlah kota di Pulau Jawa, kegiatan tersebut juga diisi diskusi dengan perwakilan warga Teluk Sepang yang selama in menolak proyek PLTU berkapasitas 2 x 100 MW itu.

Dengan tema kegiatan Bumi Rafflesia Memanggil Bengkulu untuk Energi Bersih Suarli mengatakan pihaknya menyerukan para pemimpin dunia, terutama Indonesia untuk segera meninggalkan energi fosil yang kotor dan beralih ke energi terbarukan yang bersih. 

Perwakilan warga Teluk Sepang, Hamidin menceritakan keresahan masyarakat di masa mendatang bila PLTU Teluk Sepang yang hanya berjarak 1,5 kilometer dari permukiman mereka beroperasi.

Sejak awal kami sudah menolak proyek itu, ada 700 kepala keluarga yang menandatangani penolakan tapi pemerintah tak menghiraukan, katanya.

Keresahan masyarakat, kata Hamidin, adalah limbah PLTU membuat mata pencarian warga hilang. Ia mencontohkan limbah yang dibuang ke laut akan mengganggu ekosistem laut sedangkan mayoritas warga setempat adalah nelayan.

Dampak lain yang diresahkan adalah gangguan kesehatan yang diakibatkan asap pembakaran batu bara yang akan menurunkan kualitas kesehatan.

Bahkan sebuah penelitian menyebutkan asap pembakaran batu bara menjadi penyebab kematian dini 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.

Sementara Adi Saputra dari Yayasan Kelopak mengatakan teknologi PLTU batu bara yang dikembangkan di Indonesia merupakan teknologi impor dari China yang sudah usang bahkan tidak dipakai lagi di negara itu. 

Ini cukup ironis karena China tidak lagi menggunakan teknologi ini justru dipindahkan ke Indonesia dan masyarakat yang akan menanggung dampaknya, katanya. 

Pewarta: Helti Marini S

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018