Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Organisasi Cahaya Perempuan Women Crisis Center menyebutkan bahwa setelah pasangan suami istri berpisah atau bercerai bukan tidak mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Malah yang seperti itu yang rentan, karena persoalan rumah tangga tidak selesai begitu saja saat bercerai, sebaliknya rentan konflik," kata Direktur WCC Provinsi Bengkulu, Artety Sumeri di Bengkulu, Selasa.
Konflik atau pertengkaran bisa semakin membesar sementara pasangan ini tidak lagi dalam ikatan rumah tangga, sehingga cukup sulit untuk mencari solusi atau mendinginkan suasana.
Dari sejumlah kasus yang ditangani WCC, mantan istri ternyata menjadi orang paling berisiko menjadi korban kekerasan.
Dugaan yang sama menurut Artety juga terjadi pada kasus pembunuhan satu keluarga di Kabupaten Rejang Lebong baru-baru ini.
Tersangka berinisial JM tega membunuh mantan istrinya Hasnatul Laili alias Lili (35) hanya karena ketersinggungan, tidak hanya itu pelaku juga menghabisi nyawa dua putri Lili, Melan Miranda (16) dan Cika Ramadani (10).
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya bagi pasangan menikah atau yang sudah bercerai, menurut Artety lebih disebabkan oleh masyarakat masih menempatkan budaya patriarki dalam kehidupan berkeluarga.
Sifat dominan dan menempatkan kekuasaan sepenuhnya pada laki-laki membuat kamu lelaki memiliki rasa ego mendominasi yang berlebihan.
"Misalnya, ternyata lelaki tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik, sementara sebaliknya istrinya memiliki kesempatan itu," kata dia.
Dengan kondisi seperti contoh tersebut, menurut dia seharusnya lelaki bisa saling berbagi tugas dengan istrinya, ketika perempuan mengambil sebagian tugas sang suami, sebaliknya suami mau membantu sebagian tugas dari sang istri.
"Tapi karena budaya patriarki masih dikedepankan, akhirnya sifat egois yang muncul, hal ini menimbulkan konflik dan bisa berujung kekerasan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019