Jakarta (Antaranews Bengkulu) - KPK memeriksa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai saksi dalam penyidikan kasus suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
"Saya ke KPK untuk memberikan kesaksian terkait kasus Bupati Bekasi dan saya sebagai Mendagri menyangkut kepala daerah saya siap hadir memberikan kesaksian yang saya ketahui," kata Tjahjo saat tiba di gedung KPK Jakarta pada Kamis.
Tjahjo menjadi saksi untuk tersangka Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin yang menjadi tersangka dalam perkara ini.
Nama Tjahjo sebelumnya juga sempat disebut Neneng dalam persidangan untuk terdakwa Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dalam kasus yang sama.
"(Pernyataan Neneng) itu benar, tapi di rapat terbuka, sudah ya," tambah Tjahjo singkat dan langsung masuk ke gedung KPK.
Dalam sidang 14 Januari 2019 di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah mengaku bahwa Tjahjo Kumolo meminta tolong kepada dirinya untuk membantu pengurusan perizinan Meikarta.
"Tjahjo Kumolo bilang kepada saya, 'Tolong perizinan Meikarta dibantu'," ujar Neneng.
Menurut Neneng, dirinya diminta datang ke Jakarta untuk bertemu Dirjen Otonomi Daerah Soemarsono. Hal itu berkaitan dengan hasil rapat pleno bersama mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.
Dalam rapat pembahasan izin pemanfaatan penggunaan tanah (IPPT), Deddy meminta agar perizinan pembangunan seluas 84,6 hektare ditunda terlebih dahulu. Luasan proyek tersebut membutuhkan rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat.
"Saat itu (dipanggil ke Jakarta), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menelepon Pak Soemarsono, berbicara sebentar, kemudian telepon Pak Soemarsono diberikan kepada saya, dan Tjahjo Kumolo bilang kepada saya, 'tolong perizinan Meikarta dibantu," kata Neneng.
Neneng pun mengiyakan permintaan Tjahjo Kumolo. Namun, kata Neneng, hal itu harus sesuai dengan aturan yang berlaku
"Saya jawab, 'baik Pak yang penting sesuai dengan aturan yang berlaku'," katanya.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu, yaitu lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018.
Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
"Saya ke KPK untuk memberikan kesaksian terkait kasus Bupati Bekasi dan saya sebagai Mendagri menyangkut kepala daerah saya siap hadir memberikan kesaksian yang saya ketahui," kata Tjahjo saat tiba di gedung KPK Jakarta pada Kamis.
Tjahjo menjadi saksi untuk tersangka Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin yang menjadi tersangka dalam perkara ini.
Nama Tjahjo sebelumnya juga sempat disebut Neneng dalam persidangan untuk terdakwa Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dalam kasus yang sama.
"(Pernyataan Neneng) itu benar, tapi di rapat terbuka, sudah ya," tambah Tjahjo singkat dan langsung masuk ke gedung KPK.
Dalam sidang 14 Januari 2019 di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah mengaku bahwa Tjahjo Kumolo meminta tolong kepada dirinya untuk membantu pengurusan perizinan Meikarta.
"Tjahjo Kumolo bilang kepada saya, 'Tolong perizinan Meikarta dibantu'," ujar Neneng.
Menurut Neneng, dirinya diminta datang ke Jakarta untuk bertemu Dirjen Otonomi Daerah Soemarsono. Hal itu berkaitan dengan hasil rapat pleno bersama mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.
Dalam rapat pembahasan izin pemanfaatan penggunaan tanah (IPPT), Deddy meminta agar perizinan pembangunan seluas 84,6 hektare ditunda terlebih dahulu. Luasan proyek tersebut membutuhkan rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat.
"Saat itu (dipanggil ke Jakarta), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menelepon Pak Soemarsono, berbicara sebentar, kemudian telepon Pak Soemarsono diberikan kepada saya, dan Tjahjo Kumolo bilang kepada saya, 'tolong perizinan Meikarta dibantu," kata Neneng.
Neneng pun mengiyakan permintaan Tjahjo Kumolo. Namun, kata Neneng, hal itu harus sesuai dengan aturan yang berlaku
"Saya jawab, 'baik Pak yang penting sesuai dengan aturan yang berlaku'," katanya.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu, yaitu lain Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018.
Adapun keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampah, hingga lahan makam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019