Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Sekelompok pemuda yang tergabung dalam "Elephant Care Community" Seblat, Bengkulu Utara, menggelar berbagai kegiatan untuk mengenalkan konservasi kepada pelajar SD hingga SMA di daerah itu.
Ketua ECC Seblat Bengkulu Utara, Anang Widyatmoko, Sabtu, mengatakan berbagai kegiatan yang digelar anggota ECC atau "Komunitas Peduli Gajah" Seblat itu, untuk mengenalkan konservasi sejak usia dini, termasuk konservasi gajah Sumatra.
"Sebab, para pelajar ini hidup di desa yang berdampingan dengan sebuah kawasan yang merupakan habitat Gajah Sumatra, sehingga mereka perlu mengenal konservasi lebih baik," katanya di Bengkulu, Sabtu. Kegiatan yang digelar pada 23 hingga 24 Oktober di lapangan SD Negeri 05 Sebelat antara lain berkemah, lomba mewarnai gambar gajah, menggambar poster dan pelatihan konservasi bagi para guru.
Sebanyak 22 sekolah di Kecamatan Putri Hijau terlibat dalam kegiatan yang mendapat sambutan antusias dari para pelajar itu. Pelatihan konservasi bagi para pendidik atau guru dari 22 sekolah tersebut diberikan oleh Koordinator Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat, Erni Suyanti Musabine.
Dalam pemaparannya, Suyanti mengatakan gangguan terhadap habitat gajah di Taman Wisata Alam Seblat Bengkulu Utara membuat konflik antara manusia dengan satwa langka itu terus terjadi. "Setidaknya 19 desa yang berbatasan dengan TWA Seblat mengalami konflik dengan gajah liar karena habitatnya terganggu," tambahnya.
Gangguan terhadap habitat gajah itu antara lain perambahan hutan produksi terbatas Lebong Kandis yang membuat jalur jelajah gajah menuju Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) tertutup. Kondisi ini membuat gajah liar di TWA Seblat yang diperkirakan mencapai 80 ekor menjadi terisolasi di dalam kawasan itu.
"Akhirnya kebun masyarakat di sekitar TWA Seblat yang sering dimasuki gajah liar dan membuat kerusakan," tambahnya. Masyarakat sekitar kawasan TWA Seblat menurutnya sudah mengerti tentang pentingnya penyelamatan satwa terancam punah tersebut, namun justru kebijakan dari pemerintah yang sering menambah masalah.
Ia mencontohkan PT API yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Alam (IUPHHKA) dengan luas wilayah operasinya mencapai 33.070 Hektare di dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT). Selain itu terdapat juga izin prinsip usaha pertambangan bagi PT Inmas Abadi yang berada di sekitar TWA Seblat.
"Keberadaan kedua perusahaan ini membuat habitat gajah semakin terancam dan korbannya adalah masyarakat sekitar kawasan," katanya. Ia mengatakan pengenalan konservasi sejak dini yakni mulai dari pelajar tingkat SD diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pentingnya penyelamatan satwa liar.
Terutama bagi para pendidik atau guru yang akan memberikan pemahaman tersebut kepada anak didiknya di sekolah. Kepala SD Negeri 05 Seblat Indarto Sanoto mengatakan pendidikan konservasi sangat penting ditanamkan kepada pelajar hanya saja terbatas pada tenaga pendidik.
"Kami siap menindaklanjuti kegiatan ini dengan anggota ECC yang kami harapkan dapat secara rutin memberikan pendidikan konservasi bagi pelajar karena untuk memasukkan dalam muatan lokal masih sulit," katanya.(RNI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
Ketua ECC Seblat Bengkulu Utara, Anang Widyatmoko, Sabtu, mengatakan berbagai kegiatan yang digelar anggota ECC atau "Komunitas Peduli Gajah" Seblat itu, untuk mengenalkan konservasi sejak usia dini, termasuk konservasi gajah Sumatra.
"Sebab, para pelajar ini hidup di desa yang berdampingan dengan sebuah kawasan yang merupakan habitat Gajah Sumatra, sehingga mereka perlu mengenal konservasi lebih baik," katanya di Bengkulu, Sabtu. Kegiatan yang digelar pada 23 hingga 24 Oktober di lapangan SD Negeri 05 Sebelat antara lain berkemah, lomba mewarnai gambar gajah, menggambar poster dan pelatihan konservasi bagi para guru.
Sebanyak 22 sekolah di Kecamatan Putri Hijau terlibat dalam kegiatan yang mendapat sambutan antusias dari para pelajar itu. Pelatihan konservasi bagi para pendidik atau guru dari 22 sekolah tersebut diberikan oleh Koordinator Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat, Erni Suyanti Musabine.
Dalam pemaparannya, Suyanti mengatakan gangguan terhadap habitat gajah di Taman Wisata Alam Seblat Bengkulu Utara membuat konflik antara manusia dengan satwa langka itu terus terjadi. "Setidaknya 19 desa yang berbatasan dengan TWA Seblat mengalami konflik dengan gajah liar karena habitatnya terganggu," tambahnya.
Gangguan terhadap habitat gajah itu antara lain perambahan hutan produksi terbatas Lebong Kandis yang membuat jalur jelajah gajah menuju Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) tertutup. Kondisi ini membuat gajah liar di TWA Seblat yang diperkirakan mencapai 80 ekor menjadi terisolasi di dalam kawasan itu.
"Akhirnya kebun masyarakat di sekitar TWA Seblat yang sering dimasuki gajah liar dan membuat kerusakan," tambahnya. Masyarakat sekitar kawasan TWA Seblat menurutnya sudah mengerti tentang pentingnya penyelamatan satwa terancam punah tersebut, namun justru kebijakan dari pemerintah yang sering menambah masalah.
Ia mencontohkan PT API yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Alam (IUPHHKA) dengan luas wilayah operasinya mencapai 33.070 Hektare di dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT). Selain itu terdapat juga izin prinsip usaha pertambangan bagi PT Inmas Abadi yang berada di sekitar TWA Seblat.
"Keberadaan kedua perusahaan ini membuat habitat gajah semakin terancam dan korbannya adalah masyarakat sekitar kawasan," katanya. Ia mengatakan pengenalan konservasi sejak dini yakni mulai dari pelajar tingkat SD diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pentingnya penyelamatan satwa liar.
Terutama bagi para pendidik atau guru yang akan memberikan pemahaman tersebut kepada anak didiknya di sekolah. Kepala SD Negeri 05 Seblat Indarto Sanoto mengatakan pendidikan konservasi sangat penting ditanamkan kepada pelajar hanya saja terbatas pada tenaga pendidik.
"Kami siap menindaklanjuti kegiatan ini dengan anggota ECC yang kami harapkan dapat secara rutin memberikan pendidikan konservasi bagi pelajar karena untuk memasukkan dalam muatan lokal masih sulit," katanya.(RNI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012