Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Budayawan Mohammad Sobary mengatakan, banyak peraturan perundang-undangan nasional memuat kepentingan asing sehingga urusan bangsa menjadi terlantar.

"Peraturan perundangan-undangan kita sudah 'kerasukan' kepentingan asing sehingga bangsa kita telantar. Itu terlihat dari pengelolaan badan usaha dan aset-aset bangsa yang tidak dikelola oleh pemerintah, melainkan oleh pihak swasta yang di belakangnya asing," kata Mohammad Sobary dalam diskusi "Negeri yang Ruwet" di Jakarta, Sabtu.

Tidak heran, kata Sobary, pemerintah tidak mengutamakan kepentingan nasional dalam mengelola sumber daya alam (SDA) nasional sebab kini telah diintervensi oleh asing.

Ia mengatakan, meskipun banyak pihak, terutama pemerintah yang menyatakan pro nasional, tapi pada kenyataannya banyak kepentingan asing yang bersembunyi di balik keberpihakannya terhadap Bangsa Indonesia.

"Jarang sekali orang yang membela kepentingan nasional. Basa-basi politiknya banyak, 'ngomong' kepentingan nasional, tetapi di belakangnya ada kepentingan orang asing, seperti soal perizinan tambang yang lebih banyak dikuasai oleh asing," kata dia.

Menurut dia, banyak undang-undang, khususnya pada bidang sumber daya alam, perkebunan dan jasa keuangan milik asing yang dinilainya sudah tidak berdaulat.

Ia mengatakan, meskipun perekonomian Indonesia tumbuh dengan pesat tapi tidak memberikan dampak yang riil bagi kesejahteraan rakyat.

"Tentang pendapatan yang naik, itu siapa yang naik. 'Income' yang naik itu dalam bahasa statistik. Bisa nggak mereka para buruh  ditunjuk orang per orang?. Kenaikan itu bukan orang per orang. Jadi angka statistik pertumbuhan itu tidak bisa mencerminkan realitas rakyat sebenarnya.," ujarnya.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan menilai meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6 persen tapi kesenjangan antara pendapatan yang tinggi dan rendah semakin lebar.

"Gini Rasio Indonesia dalam 7 tahun terakhir mengalami pemburukan, sehingga pada 2011 angkanya menyentuh 0,41 persen," kata dia.

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya memperlihatkan kesenjangan yang lebar antara pendapatan yang tinggi dan mereka berpendapatan rendah.

Sebelumnya, dalam putusan MK No 36/PUU-X/2012 yang dibacakan Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD di Jakarta, Selasa (13/11), lembaga itu menyatakan pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.

Selanjutnya, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah cq Kementerian terkait, sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut.

MK berpendapat "untuk menghindari hubungan yang demikian (hubungan antara BP Migas dengan negara) negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja. (ANT)

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012