Batam (ANTARA Bengkulu) - Kotoran limbah minyak (slug oil) dan sampah domestik mengotori perairan pantai Pulau Nongsa yang merupakan pulau terluar Indonesia di wilayah Kota Batamn Provinsi Kepulauan Riau, yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia.

Dari pantauan ANTARA, Sabtu, limbah bahan berbahaya dan beracun itu tidak hanya mengotori pantai pasir putih  Pulau Nongsa atau masyarakat tempatan menyebutnya Pulau Puteri, melainkan juga menutupi batu-batu karang serta tanaman mangrove yang terdapat di kawasan pulau.

Bahkan, limbah B3 yang mengotori pantai pulau berpanorama indah itu tidak hanya berupa minyak mentah yang terlihat tergenang di pantai pasir putih tetapi juga lengket di sampah-sampah domestik yang berserak dikawasan pantai serta ada juga yang telah mengering.

"Sampah dan limbah minyak ini memang acap ada, payah menghilangkannya. Maklum dikawasan ini banyak kapal kapal tanker yang lalu lalang," ujar Rinto   salah seorang pemilik sampan sewaan di daerah itu.

Sementara itu, pakar lingkungan kelautan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau DR Eddiwan, MSc ketika  diminta tanggapannya  perihal keberadaan limbah minyah dan sampah domestik di pulau terluar itu mengatakan, satu-satunya cara mengatasi limbah minyak adalah dengan melakukan konservasi di pulau-pulau terluar.

"Pulau-pulau terluar di Batam yang berhadapan dengan Singapura umumnya menerima limpahan limbah minyak dari kapal-kapal tanker yang melintasi Selat Philip," katanya.

Menurut dia, tiap hari ribuan kapal tanker memasuki wilayah Selat Philip bahkan ribuan pula yang antri di perairan Batam untuk masuk wilayah Singapura. Kapal-kapal berbendera asing itu membawa minyak ke Singapura, maka untuk kembali ke negaranya kapal diisi dengan air agar tonase kapal tetap berimbang.

"Pengurasan isi kapal inilah yang mencemari laut Batam karena minyak mentah yang mereka buang dibawa arus dan angin ke perairan pulau-pulau di Batam dan itu sebabnya pulau terluar sangat menderita menerima luahan limbah," ujar pakar maritim sain ini.

Eddi menjelaskan, limbah minyak tidak hanya lengket di pasir putih pantai tapi juga di batu-batu karang  dan pepohonan pantai. Bahkan, pengunjung yang datang ke pulau yang tercemar itu juga ikut merasakan dampaknya karena limbah minyak juga ikut lengket di kaki atau pakaian mereka apabila mereka berjalan di pasir pantai yang tercemar.

Ia mengatakan, akibat banyaknya limbah minyak di perairan Batam, maka mengakibatkan banyak karang laut yang mati atau menuju proses kematian karena tertutup limbah. Kerusakan karang di perairan Batam yang berbatasan langsung dengan negara tetangga 70 persennya diakibatkan limbah slug oil dan 30 persen dari limbah industri atau domestik pemukiman di Batam.

"Itu sebabnya, laut Batam yang berhadapan dengan Singapura kondisinya karanganya 'blinking' atau menuju kematian karena tertutup limbah minyak," ujar Eddi.

Dijelaskannya, jika karang-karang yang banyak terdapat di pulau-pulau terluar Batam lapuk dan mati, maka bukan tidak mungkin pulau-pulau kecil yang menjadi pulau terluar seperti Pulau Nongsa akan tenggelam dan hilang.

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena  karang yang menopang keberadaan pulau telah lapuk dan hancur maka tekstur tanah pulau akan turun dan kemudian tenggelam.

"Satu-satunya cara untuk menyelamatkan pulau terluar yang merupakan tapal batas NKRI adalah menjadikan pulau tersebut sebagai Kawasan  Konservasi Perairan (KKP). Walau pun kelak ada limbah minyak tapi karena pulau terlindungi dengan banyaknya mengrove serta terjaganya karang, maka bukan tidak mungkin limbah minyak dapat dijadikan pupuk. KKP di pulau terluar sangat penting karena inilah cara jitu untuk melindungi pulau terluar," katanya.(ant)

Pewarta:

Editor : Ferri Aryanto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012