Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Komunitas Sekolah Gender yang digagas sekelompok mahasiswa Universitas Bengkulu menggelar lokakarya untuk meningkatkan pemahaman tentang hak asasi perempuan yang juga bagian dari hak asasi manusia.

"Lokakarya ini untuk meningkatkan pemahaman dan penyadartahuan tentang hak asasi perempuan yang juga bagian dari hak asasi manusia," kata Ketua Panitia, Siami Maysaroh di Bengkulu, Senin.

Ia mengatakan lokakarya dengan tema "pendidikan hak asasi perempuan sebagai bagian penegakan hak asasi manusia di Indonesia: dari prinsip menuju praktik nyata" tersebut sekaligus memperingati hari Hak Asasi Manusia Sedunia.

Dua pemateri dihadirkan dalam lokakarya yang diikuti sekitar 50 mahasiswa dari berbagai jurusan di Universitas Bengkulu tersebut yakni Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani dan pewarta Kantor Berita ANTARA, Helti Marini Sipayung.

Dalam penyampaian materinya, Direktur Yayasan PUPA, Susi mengatakan terdapat 40 hak konstitusional bagi setiap warga Indonesia dalam 14 rumpun yang berlaku sama, tanpa bias gender.

Hak konstitusional tersebut antara lain hak atas kewarganegaraan, hak atas hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak atas kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih, hak atas kerja dan penghidupan yang layak dan hak lainnya.

"Dalam praktiknya masih banyak yang mendiskriminasi perempuan, seperti hak penguasaan atas aset dimana untuk perempuan yang masih lajang sangat susah prosesnya," katanya.

Cara pandang masyarakat dalam satu komunitas terhadap perempuan, misalnya dalam lingkup keluarga yang mengatur perjodohan untuk anak perempuannya juga termasuk bagian dari diskriminasi atau penghilangan hak atas perlindungan.

Demikian juga dengan hak bebas dari ancaman, diskriminasi dan kekerasan, dalam praktiknya masih banyak ditemui kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

"Yayasan PUPA hingga November 2012 mencatat ada laporan sebanyak 284 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana dari jumlah tersebut sebanyak 134 kasus adalah kekerasan seksual," katanya.

Sementara Pewarta ANTARA, Helti Marini Sipayung yang mengulas dari sudut pandang media dan jurnalis perempuan mengatakan isu gender dan pemberdayaan perempuan belum mendapat ruang yang proporsional dalam pemberitaan media.

"Industri media yang dituntut untuk meningkatkan pendapatan dan rating membuat isu-isu tentang perempuan terpinggirkan dengan isu yang lebih 'menjual' seperti politik dan korupsi," katanya.

Pemberitaan tentang perempuan lebih dominan pada kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan, seperti pencabulan, pemerkosaan dan lain sebagainya.

Padahal, media massa merupakan salah satu alat yang efektif dalam kampanye penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan media perjuangan penegakan hak asasi perempuan melalui penyadartahuan kepada masyarakat.

Pada fungsi tersebut kata dia, Lembaga Kantor Berita ANTARA melalui "Public Service Obligation" menetapkan tema kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam salah satu materi pemberitaan yang menjadi bagian dari Millenium Developments Goals (MDGs).

"Seperti kegiatan yang dilakukan Sekolah Gender ini adalah bagian dari pendidikan kesetaraan gender, selain kegiatan organisasi-organisasi perempuan lainnya seperti Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," katanya menjelaskan.

Pada lokakarya tersebut juga dibuka kesempatan berdialog dengan para narasumber dan para peserta mengharapkan kegiatan tersebut berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender. (ANTARA)

Pewarta:

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012