Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Warga empat desa di Kecamatan XIV Koto
Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu menolak pembagian wilayah
perbatasan antara Mukomuko dengan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra
Barat.
Penolakan warga tersebut disampaikan kepada Anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari daerah pemilihan Kabupaten Mukomuko saat reses atau jaring aspirasi di wilayah itu, Minggu (9/12).
Kepala Desa Tanjung Mulya atau SP9, Maulin mengatakan warga tidak bersedia dengan tawaran dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat tentang pembagian wilayah sengketa itu.
"Kami tetap mempertahankan tanah kami di wilayah Bengkulu, karena batasnya jelas dan kami berharap pemerintah daerah memperjuangkan itu," katanya.
Menurut warga transmigran itu, jika memang wilayah tersebut bukan bagian dari Provinsi Bengkulu, berarti patut dipertanyakan kebijakan pemerintah pusat menempatkan mereka di daerah tersebut.
Anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari daerah pemilihan Kabupaten Mukomuko, Inzani Muhammad dan Burhandari mengatakan akan terus memperjuangkan aspirasi masyarakat tentang tapal batas tersebut.
"Memang ada tawaran dari Pemerintah Sumbar untuk membagi wilayah sengketa seluas 3.500 hektare, tetapi Bupati Mukomuko juga menolak usulan itu," katanya.
Ia mengatakan sudah meminta Dirjen Pemerintahan Umum dan Dirjen Otda untuk memprioritaskan penyelesaian batas Bengkulu-Sumbar, apalagi terkait dengan Pemilu 2014 tentang mata pilih.
Menurut Inzani yang juga Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, batas antara Bengkulu dan Sumbar agar berpijak pada dokumen Staatsblad nomor 214 tahun 1910 dan kesepakatan kepala daerah kedua provinsi pada 1986, bahwa wilayah seluas 3.500 hektare tersebut bagian dari Provinsi Bengkulu.
Ditambah lagi keberadaan masyarakat tiga desa yakni SP8, SP9 dan SP10 Kecamatan XIV Koto, Kabupaten Mukomuko, juga berada di wilayah yang sama dimana sebagian besar merupakan peserta transmigrasi pada 1992.
"Peserta transmigrasi mendapat sertifikat di atas lahan itu pada 1992 dan dinyatakan masuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu," tambahnya.
Sementara, SK Menteri Dalam Negeri nomor 135 tahun 1995 menyebutkan wilayah tersebut bagian dari Sumatera Barat berdasarkan titik koordinat di lapangan.
Temuan Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, ada tiga perusahaan yang beraktivitas di dalam wilayah sengketa itu yang mendapat izin dari Pemerintah Sumatra Barat yakni PT Rimba Usaha Kencana dengan luas areal 411 hektare, PT Semen Padang 150 hektare dan perkebunan milik Kelompok Petani Sawit Silaut seluas 250 hektare.
"Kami akan perjuangkan tapal batas ini lebih optimal setelah pelantikan gubernur definitif Bengkulu," kata Inzani. (Adv)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
Penolakan warga tersebut disampaikan kepada Anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari daerah pemilihan Kabupaten Mukomuko saat reses atau jaring aspirasi di wilayah itu, Minggu (9/12).
Kepala Desa Tanjung Mulya atau SP9, Maulin mengatakan warga tidak bersedia dengan tawaran dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat tentang pembagian wilayah sengketa itu.
"Kami tetap mempertahankan tanah kami di wilayah Bengkulu, karena batasnya jelas dan kami berharap pemerintah daerah memperjuangkan itu," katanya.
Menurut warga transmigran itu, jika memang wilayah tersebut bukan bagian dari Provinsi Bengkulu, berarti patut dipertanyakan kebijakan pemerintah pusat menempatkan mereka di daerah tersebut.
Anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari daerah pemilihan Kabupaten Mukomuko, Inzani Muhammad dan Burhandari mengatakan akan terus memperjuangkan aspirasi masyarakat tentang tapal batas tersebut.
"Memang ada tawaran dari Pemerintah Sumbar untuk membagi wilayah sengketa seluas 3.500 hektare, tetapi Bupati Mukomuko juga menolak usulan itu," katanya.
Ia mengatakan sudah meminta Dirjen Pemerintahan Umum dan Dirjen Otda untuk memprioritaskan penyelesaian batas Bengkulu-Sumbar, apalagi terkait dengan Pemilu 2014 tentang mata pilih.
Menurut Inzani yang juga Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, batas antara Bengkulu dan Sumbar agar berpijak pada dokumen Staatsblad nomor 214 tahun 1910 dan kesepakatan kepala daerah kedua provinsi pada 1986, bahwa wilayah seluas 3.500 hektare tersebut bagian dari Provinsi Bengkulu.
Ditambah lagi keberadaan masyarakat tiga desa yakni SP8, SP9 dan SP10 Kecamatan XIV Koto, Kabupaten Mukomuko, juga berada di wilayah yang sama dimana sebagian besar merupakan peserta transmigrasi pada 1992.
"Peserta transmigrasi mendapat sertifikat di atas lahan itu pada 1992 dan dinyatakan masuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu," tambahnya.
Sementara, SK Menteri Dalam Negeri nomor 135 tahun 1995 menyebutkan wilayah tersebut bagian dari Sumatera Barat berdasarkan titik koordinat di lapangan.
Temuan Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, ada tiga perusahaan yang beraktivitas di dalam wilayah sengketa itu yang mendapat izin dari Pemerintah Sumatra Barat yakni PT Rimba Usaha Kencana dengan luas areal 411 hektare, PT Semen Padang 150 hektare dan perkebunan milik Kelompok Petani Sawit Silaut seluas 250 hektare.
"Kami akan perjuangkan tapal batas ini lebih optimal setelah pelantikan gubernur definitif Bengkulu," kata Inzani. (Adv)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012