Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Maraknya kasus korupsi yang menyeret anggota legislatif dan pengurus partai politik sepanjang 2012 membuat masyarakat harus semakin ketat mengawasi praktek korupsi menjelang pelaksanaan Pemilu 2014.

Keterkaitan tindak pidana korupsi oleh para elit partai politik dengan pelaksanaan Pemilu 2014 dapat diteropong dari kebutuhan finansial yang tidak sedikit bagi parpol untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Indonesian Corruption Watch (ICW), lembaga swadaya masyarakat yang memiliki misi untuk mengawal tindak pidana korupsi di Tanah Air dan melaporkannya kepada publik, mencatat ada 52 politisi terjerat kasus korupsi sepanjang 2012.

Ke-52 kader politik tersebut merupakan pengurus parpol dan politisi yang memiliki mandat sebagai kepala daerah, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan bahkan yang terbaru adalah menteri aktif di Pemerintah.

Semua kasus korupsi tersebut sifatnya telah dan sedang ditangani oleh sejumlah lembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu Polri, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yang menarik adalah bahwa kasus korupsi tersebut justru menyangkutpautkan para politisi yang berasal dari partai politik besar dan memegang peran penting di parlemen..

Berdasarkan data ICW, ada delapan parpol besar yang kadernya terjerat kasus korupsi selama 2012, yaitu Partai Golkar sebanyak 14 politisi, Partai Demokrat sebanyak 10 politisi, PDIP sebanyak delapan politisi, PAN sebanyak delapan politisi, PKB sebanyak empat politisi, PKS sebanyak dua politisi, Partai Gerindra sebanyak tiga politis, PPP sebanyak dua politisi.

Satu kepala daerah yang terjerat korupsi tercatat tidak teridentifikasi berasal dari partai politik, yaitu Ketua DPRD Kabupaten Fakfak di Papua Barat.

    
Modus korupsi politik
Cara para elit politik dalam melakukan korupsi demi kepentingan politik partai mereka biasanya terbagi dalam tiga modus, yaitu penyalahgunaan penggunaan kewenangan, pembagian proyek dan penetapan anggaran bantuan sosial dan dana hibah.

Tindak pidana korupsi politik disinyalir memiliki peta yang terkait erat dengan partai politik, politisi atau kandidat, birokrasi, dan rekanan bisnis yang sudah berkongkalikong dengan para politisi tersebut.

Penggambaran rute korupsi politik tersebut berawal dari parpol menominasikan kader yang dapat menembus proyek tertentu melalui pendekatan-pendekatan atau politisasi birokrasi. Tujuannya sudah jelas bahwa agar para kader tersebut mendapat bonus dari proyek tersebut untuk setoran ke parpol.

Para poltisi yang duduk di kursi parlemen biasanya berperan untuk menciptakan proyek, menambah anggaran untuk proyek tertentu, serta melobi kementerian atau lembaga negara terkait untuk meloloskan proyek.

Berdasarkan kejadian latah para elit parpol dalam berkorupsi tersebut diduga berasal dari satu niat yaitu terkait pendanaan kegiatan berpolitik pada Pemilu 2014.

"Muara kasus korupsi politik di sepanjang 2012 itu disinyalir pada pendanaan politik Pemilu 2014 yang masih bertumpu pada uang-uang haram dari hasil korupsi," kata salah satu Peneliti ICW Apung Widadi.

    
Regulasi pendanaan parpol
Euforia dalam melakukan korupsi berjamaah itu salah satunya disebabkan oleh lemahnya peraturan yang secara ketat mengawal masalah dana kampanye parpol menjelang pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu.

Oleh karena itu, peran Pemerintah dalam memberantas kasus korupsi politik di Tanah Air sangat diharapkan dapat menjadi andalan, karena selama ini regulasi tentang pelaksanaan Pemilu di Indonesia dinilai masih lemah.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008, menyebutkan sumber keuangan parpol dapat diperoleh dari iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum, bantuan keuangan dari APBN/APBD yang diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan pemilih.

Dalam UU tersebut juga diatur bahwa sumbangan dari perseorangan bukan anggota parpol maksimal bernilai Rp1 miliar dalam waktu satu tahun anggaran, sementara untuk sumbangan dari perusahaan atau badan usaha paling banyak senilai Rp7,5 miliar.

Namun dalam UU tidak disebutkan ketentuan mengenai kontrak politik antara si penyumbang dana dan parpol, jika nantinya parpol tersebut mendapat jatah kursi di parlemen.

Selain sumber dana, parpol juga diwajibkan melakukan audit terhadap pengelolaan keuangan organisasinya dan melaporkan hasil audit tersebut secara periodik kepada publik.

Selain itu juga tidak diatur tentang larangan penggunaan dana yang berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana, pembatasan sumbangan dari anggota parpol, larangan penyumbang "fiktif" atau tanpa identitas jelas, serta hasil audit pertanggungjawaban dana kampanye dari akuntan publik yang independensinya masih dipertanyakan.

Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tidak memiliki "taring "untuk memeriksa kebenaran penerimaan dana kampanye pemilu yang berasal dari berbagai sumbangan.

Dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten-kota hanya mewajibkan parpol melampirkan salinan nomor rekening atas nama parpol di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota, serta salinan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga parpol.

    

Korupsi Politik 2013
KPU melakukan rekapitulasi hasil verfikasi faktual para parpol, setelah melalui liku-liku proses verifikasi, pada 29 Desember hingga 8 Januari 2013, sementara pengumuman parpol peserta Pemilu 2014 sendiri akan dilakukan pada 9 hingga 11 Januari 2013.

Pelaksanaan kampanye dilakukan selama setahun lebih mulai 11 Januari 2013 hingga 13 Juni 2014, masa yang tidak singkat untuk meyakinkan dan merebut hati rakyat.    

ICW meramalkan fenomena korupsi politik di Tanah Air pada 2013 akan semakin memanas, karena waktu menjelang pemungutan suara Pemilu 2014 semakin dekat.

Kasus mafia anggaran, korupsi kepala daerah serta korupsi anggota legislatif akan meningkat seiring dengan kerawanan sejumlah proyek besar Pemerintah yang akan dipolitisasi dan dikorupsi untuk kelancaran parpol dalam Pemilu.

Ditambah lagi, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang dipadatkan pada 2013 akan merangsang praktek-praktek korupsi di kalangan kepala daerah, apalagi dengan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa pemeriksaan kepala daerah tidak lagi harus seijin presiden.

Berbagai kepentingan parpol dalam menyambut pesta demokrasi pada 2014 menuntut susunan anggaran pendanaan dengan angka yang tidak  sedikit. Parpol perlu melakukan kampanye, yang memakan anggaran pembiayaan paling besar, di tingkat pemilihan calon anggota legislatif maupun calon presiden.

Oleh karena itu, selama 2013 peran masyarakat akan sangat dibutuhkan untuk mengawal pelaksanaan persiapan jelang pemilu. Dibutuhkan pengawasan yang super ketat untuk mengontrol gerak-gerik para poliitisi dalam upaya menghimpun dana untuk Pemilu 2014. (Antara)

Pewarta: Fransiska Ninditya

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012