Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri memprediksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 0,5 persen pada tahun ini akibat tertekan adanya pandemi virus corona baru atau COVID-19.
“Saya menduga ekonomi Indonesia akan tumbuh hanya 0,5 persen optimisnya dan pesimisnya ya, -2 persen sampai -2,5 persen,” katanya dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Jumat.
Faisal mengatakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi melambat cukup dalam tersebut disebabkan oleh kurang cepatnya kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran COVID-19.
“Mudik sudah jutaan keluar baru dilarang lalu PSBB di Jakarta enggak karuan jadi kita tidak pernah bisa tahu kapan puncaknya dan ongkosnya semakin besar,” ujarnya.
Ia menuturkan kapasitas untuk tes COVID-19 di Indonesia yang masih kurang dan tak sebanding dengan kebutuhan turut membuat penyebaran sulit dikendalikan sehingga perekonomian tertekan lebih dalam.
“Kita baru 50 ribu melakukan testing cuma 214 per satu juta penduduk itu yang membuat kita semakin tidak tahu sampai kapan virus ini berlangsung jadi kita sudah kecolongan banyak,” tegasnya.
Tak hanya itu, Faisal menyatakan kemampuan Indonesia dalam mendorong ekonomi di tengah pandemi COVID-19 juga tidak sebesar seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Ia menyebutkan Amerika Seikat menggelontorkan dana 484 miliar dolar AS khusus untuk penanganan COVID-19, total stimulus mencapai 2,3 triliun dolar AS, serta The Fed menggelontorkan sekitar 4 triliun dolar AS untuk meningkatkan likuiditas.
“Jangan dilihat defisit APBN yang naik menjadi 5,07 persen itu sebagai stimulus karena itu disebabkan penerimaannya anjlok Rp472 triliun jadi praktis tidak ada stimulus kalau dilihat magnitude tambahan dari APBN,” jelasnya.
Sebagai informasi, pemerintah sendiri memprediksikan perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,3 persen atau dengan skenario terburuk akan terkontraksi hingga 0,4 persen pada 2020 akibat wabah COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
“Saya menduga ekonomi Indonesia akan tumbuh hanya 0,5 persen optimisnya dan pesimisnya ya, -2 persen sampai -2,5 persen,” katanya dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, Jumat.
Faisal mengatakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi melambat cukup dalam tersebut disebabkan oleh kurang cepatnya kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran COVID-19.
“Mudik sudah jutaan keluar baru dilarang lalu PSBB di Jakarta enggak karuan jadi kita tidak pernah bisa tahu kapan puncaknya dan ongkosnya semakin besar,” ujarnya.
Ia menuturkan kapasitas untuk tes COVID-19 di Indonesia yang masih kurang dan tak sebanding dengan kebutuhan turut membuat penyebaran sulit dikendalikan sehingga perekonomian tertekan lebih dalam.
“Kita baru 50 ribu melakukan testing cuma 214 per satu juta penduduk itu yang membuat kita semakin tidak tahu sampai kapan virus ini berlangsung jadi kita sudah kecolongan banyak,” tegasnya.
Tak hanya itu, Faisal menyatakan kemampuan Indonesia dalam mendorong ekonomi di tengah pandemi COVID-19 juga tidak sebesar seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Ia menyebutkan Amerika Seikat menggelontorkan dana 484 miliar dolar AS khusus untuk penanganan COVID-19, total stimulus mencapai 2,3 triliun dolar AS, serta The Fed menggelontorkan sekitar 4 triliun dolar AS untuk meningkatkan likuiditas.
“Jangan dilihat defisit APBN yang naik menjadi 5,07 persen itu sebagai stimulus karena itu disebabkan penerimaannya anjlok Rp472 triliun jadi praktis tidak ada stimulus kalau dilihat magnitude tambahan dari APBN,” jelasnya.
Sebagai informasi, pemerintah sendiri memprediksikan perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,3 persen atau dengan skenario terburuk akan terkontraksi hingga 0,4 persen pada 2020 akibat wabah COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020