Pasokan kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah terus menumpuk di gudang akibat tidak adanya permintaan ekspor dari pasar luar negeri yang terdampak pandemi COVID-19.
Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia (APFI) Armiadi, Kamis, mengatakan saat ini permintaan ekspor untuk komoditas kopi dari dataran tinggi Gayo tersebut sangat sedikit, sehingga menumpuk di gudang.
"Kopi tertumpuk di gudang, kopi tidak terjual, kopi tidak dibeli. Itu kondisi saat ini," kata Armiadi, di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Dia menjelaskan kalaupun selama pandemi terdapat aktivitas ekspor Kopi Gayo maka diperkirakan hanya berkisar 10 hingga 20 persen. Sedangkan sisanya menumpuk di gudang tanpa permintaan beli dari para buyer luar negeri.
"Banyak persepsi tentang berapa banyak kopi yang tertumpuk di gudang saat ini, secara pasti tidak bisa terdata karena berada di tangan petani dan pedagang lokal. Ada yang memprediksi 15 ribu ton, tapi memang tidak tertebak," katanya.
Disamping itu harga jual Kopi Gayo juga terus menurun. Kondisi ini menyebabkan kopi di tingkat petani maupun pedagang lokal tidak dijual ke eksportir, namun lebih memilih untuk ditumpuk di gudang.
"Permintaan kopi hijau asalan dari luar negeri sekarang memang murah, empat dolar AS diminta, biasanya enam dolar AS per kilogram. Jadi masyarakat sekarang juga kalau enggak harga mahal mereka tidak jual, mereka menahan," ujarnya.
Kekhawatiran kita adalah ketika bertemu kembali dengan panen, katanya. "Ini kan panen sebulan lagi. Itu mungkin akan menyebabkan tersendat lagi dan barang semakin menumpuk," katanya.
Menurut Armiadi, di tengah kondisi pandemi COVID-19 maka dapat menjual kopi saja dinilai sudah baik, walaupun harganya murah. Jika ditunggu, maka kopi terus menumpuk dan dikhawatirkan harga jual akan semakin menurun.
"Karena krisis ini kita belum tahu sampai kapan dan memang diprediksi panen ke depan harganya akan lebih rendah. Ini tidak sama seperti kondisi-kondisi yang pernah terjadi, kita menahan kopi lalu menjualnya saat harga naik. Ini sangat berbeda, karena kondisi sekarang konsumsi untuk kopi dunia berkurang," ujarnya.
APFI menilai pernyataan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo akan membeli semua Kopi Gayo yang tertumpuk di gudang, namun hingga ini hal tersebut belum terealisasi.
"Realisasinya tidak ada. Sejak awal pun kita kalangan eksportir tidak yakin (kebijakan) itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia (APFI) Armiadi, Kamis, mengatakan saat ini permintaan ekspor untuk komoditas kopi dari dataran tinggi Gayo tersebut sangat sedikit, sehingga menumpuk di gudang.
"Kopi tertumpuk di gudang, kopi tidak terjual, kopi tidak dibeli. Itu kondisi saat ini," kata Armiadi, di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.
Dia menjelaskan kalaupun selama pandemi terdapat aktivitas ekspor Kopi Gayo maka diperkirakan hanya berkisar 10 hingga 20 persen. Sedangkan sisanya menumpuk di gudang tanpa permintaan beli dari para buyer luar negeri.
"Banyak persepsi tentang berapa banyak kopi yang tertumpuk di gudang saat ini, secara pasti tidak bisa terdata karena berada di tangan petani dan pedagang lokal. Ada yang memprediksi 15 ribu ton, tapi memang tidak tertebak," katanya.
Disamping itu harga jual Kopi Gayo juga terus menurun. Kondisi ini menyebabkan kopi di tingkat petani maupun pedagang lokal tidak dijual ke eksportir, namun lebih memilih untuk ditumpuk di gudang.
"Permintaan kopi hijau asalan dari luar negeri sekarang memang murah, empat dolar AS diminta, biasanya enam dolar AS per kilogram. Jadi masyarakat sekarang juga kalau enggak harga mahal mereka tidak jual, mereka menahan," ujarnya.
Kekhawatiran kita adalah ketika bertemu kembali dengan panen, katanya. "Ini kan panen sebulan lagi. Itu mungkin akan menyebabkan tersendat lagi dan barang semakin menumpuk," katanya.
Menurut Armiadi, di tengah kondisi pandemi COVID-19 maka dapat menjual kopi saja dinilai sudah baik, walaupun harganya murah. Jika ditunggu, maka kopi terus menumpuk dan dikhawatirkan harga jual akan semakin menurun.
"Karena krisis ini kita belum tahu sampai kapan dan memang diprediksi panen ke depan harganya akan lebih rendah. Ini tidak sama seperti kondisi-kondisi yang pernah terjadi, kita menahan kopi lalu menjualnya saat harga naik. Ini sangat berbeda, karena kondisi sekarang konsumsi untuk kopi dunia berkurang," ujarnya.
APFI menilai pernyataan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo akan membeli semua Kopi Gayo yang tertumpuk di gudang, namun hingga ini hal tersebut belum terealisasi.
"Realisasinya tidak ada. Sejak awal pun kita kalangan eksportir tidak yakin (kebijakan) itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020