Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan angka oktan tinggi dinilai sangat berperan dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Menurut organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia, hal itu harus simultan dilakukan dengan pembenahan sistem transportasi yang ramah lingkungan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika dalam keterangannya kepada media, Kamis, mengatakan BBM yang lebih bersih tersebut, yaitu dengan oktan lebih tinggi, juga harus diperhatikan.

"Jadi uji emisi kendaraan itu penting sekali, karena salah satu sumber polusi utama dari sana,” katanya.

Pemakaian BBM dengan angka oktan tinggi tersebut, menurut dia, merupakan cara terdekat yang bisa dilakukan. Dengan beralih menggunakan BBM oktan tinggi, pencemaran udara akibat pemakaian BBM RON rendah bisa dikurangi.

Begitupun, lanjut Hindun, penggunaan BBM oktan tinggi juga harus dilakukan secara paralel melalui pembenahan sistem transportasi. Misal, peralihan dari kendaraan pribadi menjadi transportasi cepat massal seperti MRT dan Transjakarta.

Selain itu, juga dengan memberikan fasilitas yang lebih nyaman dan aman bagi pesepeda. Pembenahan secara paralel itulah, yang juga dilakukan di berbagai kota besar di dunia.

Misalnya saja, Bogota. Pada saat pandemi, berbagai kota besar dunia memperbaiki sistem transprotasi.

“Mereka membangun jalur pesepeda yang terproteksi sampai puluhan kilometer. Pesepeda menjadi aman tanpa takut tertabrak kendaraan lain,” ujarnya.

Menurut dia, berbagai perbaikan tersebut, termasuk pembenahan infrastrurktur transportasi dan pemakaian BBM oktan tinggi menjadi penting. Pasalnya, sektor energi, dimana di dalamnya termasuk kelistrikan dan transportasi, merupakan salah satu kontributor utama peningkatan emisi.

Memang, jelasnya, saat ini penyumbang emisi terbesar adalah sektor kehutanan. Tetapi diingatkan, kalau tidak dilakukan pembenahan, bukan tidak mungkin sektor energi akan melampaui kehutanan.

Selain penggunaan BBM oktan tinggi yang dibarengi perbaikan sistem transportasi, shifting energi yang tak kalah penting adalah mengurangi dominasi penggunaan batubara pada berbagai PLTU.

“Makanya kalau tidak dilakukan pembenahan, sektor energi akan menjadi tertinggi dalam penyumbang emisi, akan melewati sektor kehutanan. Apalagi, sektor kehutanan sudah memiliki progres yang lebih baik,” lanjutnya.

Saat pandemi COVID-19 inilah, tambahnya, seharusnya bisa menjadi titik awal untuk melakukan pembenahan. Kalau tidak, komitmen Indonesia pada Paris Agreement yang tertuang dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), akan sulit tercapai.

Dalam NDC disebutkan target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030 sebesar 29 persen dari Bussiness as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan bantuan internasional.



 

Pewarta: Subagyo

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020