Bengkulu (Antara Bengkulu) - Sembilan pembangkit listrik tenaga mikro hidro
(PLTHM) beroperasi menerangi perumahan warga di sejumlah desa di dua
kecamatan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
"Sejak dirintis pada 2010 dengan program nasional pemberdayaan nasional `green` sudah ada sembilan pembangkit tenaga mikro hidro yang beroperasi di Lebong," kata Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat "Operation Wallacea Trust" (OWT) Indonesia untuk wilayah Kabupaten Lebong, Nurkholis Sastro di Bengkulu, Kamis.
Ia mengatakan selain sembilan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), program yang sudah dihentikan pemerintah pusat pada 2012 itu juga berhasil membangun tiga pembangkit skala pico hidro.
Lembaga swadaya masyarakat OWT Indonesia merupakan konsultan yang dipercayakan pemerintah untuk membangun kapasitas masyarakat dalam pengelolaan aset yang dibangun dengan dana pemerintah itu.
Sejumlah desa di Kecamatan Padang Bano dan Lebong Atas yang belum terjangkau penerangan dapat menikmati listrik dari pembangkit tersebut.
Desa-desa yang menikmati program tersebut antara lain Desa Pauh, Desa Sebayua, Limes, Uei, dan Benteng Besi.
"Program ini sangat layak dikembangkan di beberapa desa lainnya yang belum teraliri listrik seperti Sungai Lisai, Ketenong dan Ulu Seblat," tambahnya.
Lebong memiliki topografi bergunung dan memiliki banyak anak sungai. Hal itu kata dia merupakan potensi sumber energi yang sangat besar untuk pembangkit listrik tenaga air.
Pembangkit skala mikro dan pico hidro ini memanfaatkan aliran sungai dari titik ketinggian tertentu yang bersifat ramah lingkungan.
Untuk PLTMH kata Sastro modal pembangunannya cukup besar mencapai Rp1 hingga Rp2 miliar dengan daya yang dihasilkan antara 10 hingga 50 kwh.
"Sedangkan pico hidro modalnya sekitar Rp500 juta dengan daya antara lima sampai 10 kwh," katanya.
Pembangkit listrik tenaga air dengan skala mikro dan hidro menurut Sastro dapat diadopsi ke kabupaten lain di Bengkulu yang memiliki potensi aliran sungai.
Sebab, masih banyak desa yang belum teraliri listrik karena minimnya jangkauan jaringan yang dibangun PLN.
Khusus di sejumlah desa yang memiliki PLTMH dan pico hidrot tersebut kata dia, warga sudah membentuk kelembagaan sendiri yang mengelola aset tersebut.
"Setiap keluarga dibatasi distribusi dayanya sebesar 1 ampere dan membayar iuran bulanan sebesar Rp35 ribu untuk pemeliharaan pembangkit," katanya.
Dengan kapasitas tersebut, dapat menghidupkan televisi dan beberapa lampu di dalam rumah warga. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Sejak dirintis pada 2010 dengan program nasional pemberdayaan nasional `green` sudah ada sembilan pembangkit tenaga mikro hidro yang beroperasi di Lebong," kata Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat "Operation Wallacea Trust" (OWT) Indonesia untuk wilayah Kabupaten Lebong, Nurkholis Sastro di Bengkulu, Kamis.
Ia mengatakan selain sembilan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), program yang sudah dihentikan pemerintah pusat pada 2012 itu juga berhasil membangun tiga pembangkit skala pico hidro.
Lembaga swadaya masyarakat OWT Indonesia merupakan konsultan yang dipercayakan pemerintah untuk membangun kapasitas masyarakat dalam pengelolaan aset yang dibangun dengan dana pemerintah itu.
Sejumlah desa di Kecamatan Padang Bano dan Lebong Atas yang belum terjangkau penerangan dapat menikmati listrik dari pembangkit tersebut.
Desa-desa yang menikmati program tersebut antara lain Desa Pauh, Desa Sebayua, Limes, Uei, dan Benteng Besi.
"Program ini sangat layak dikembangkan di beberapa desa lainnya yang belum teraliri listrik seperti Sungai Lisai, Ketenong dan Ulu Seblat," tambahnya.
Lebong memiliki topografi bergunung dan memiliki banyak anak sungai. Hal itu kata dia merupakan potensi sumber energi yang sangat besar untuk pembangkit listrik tenaga air.
Pembangkit skala mikro dan pico hidro ini memanfaatkan aliran sungai dari titik ketinggian tertentu yang bersifat ramah lingkungan.
Untuk PLTMH kata Sastro modal pembangunannya cukup besar mencapai Rp1 hingga Rp2 miliar dengan daya yang dihasilkan antara 10 hingga 50 kwh.
"Sedangkan pico hidro modalnya sekitar Rp500 juta dengan daya antara lima sampai 10 kwh," katanya.
Pembangkit listrik tenaga air dengan skala mikro dan hidro menurut Sastro dapat diadopsi ke kabupaten lain di Bengkulu yang memiliki potensi aliran sungai.
Sebab, masih banyak desa yang belum teraliri listrik karena minimnya jangkauan jaringan yang dibangun PLN.
Khusus di sejumlah desa yang memiliki PLTMH dan pico hidrot tersebut kata dia, warga sudah membentuk kelembagaan sendiri yang mengelola aset tersebut.
"Setiap keluarga dibatasi distribusi dayanya sebesar 1 ampere dan membayar iuran bulanan sebesar Rp35 ribu untuk pemeliharaan pembangkit," katanya.
Dengan kapasitas tersebut, dapat menghidupkan televisi dan beberapa lampu di dalam rumah warga. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013