Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu melaporkan sekelompok nelayan tradisional yang mengamuk dan merusak berbagai fasilitas ruang sidang di pengadilan tersebut ke Polres Bengkulu.
Pengrusakan itu terjadi usai persidangan kasus alat tangkap trawl yang mendudukkan empat orang terdakwa pada Selasa (16/02) petang.
Humas PN Bengkulu Hascaryo di Bengkulu, Rabu mengatakan pengrusakan itu bermula saat massa yang merupakan sekelompok nelayan tradisional Kota Bengkulu memprotes tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap empat orang terdakwa yang dinilai terlalu rendah.
JPU menuntut empat terdakwa pengguna alat tangkap trawl itu selama 10 bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta. Nelayan tradisional menganggap tuntutan itu tidak memenuhi rasa keadilan.
Tidak hanya protes, massa bahkan mengamuk hingga membuat sejumlah fasilitas seperti kursi dan pintu di ruang sidang Wirjono Prodjodikiro tempat persidangan kasus trawl itu digelar rusak parah.
"Kami sudah membuat laporan ke Polres Kota Bengkulu. Untuk terlapor kami tidak menyebutkan jumlah karena itu terkait sekelompok massa. Pada saat kejadian ada sekitar 40 atau 50 orang yang melakukan pengrusakan," kata Hascaryo.
Dalam laporannya, PN Bengkulu mendalilkan pengrusakan yang diduga dilakukan sekelompok nelayan itu yaitu pasal pengrusakan fasilitas negara.
Selain itu, PN Bengkulu juga melampirkan beberapa rekaman kamera pengintai atau CCTV yang merekam peristiwa pengrusakan itu sebagai alat bukti ke penyidik Reskrim Polres Bengkulu.
"Berapa estimasi kerusakan kami tidak bisa menyebutkan karena ini berkaitan dengan benda milik negara maka terlebih dahulu akan dilakukan inventarisir, tetapi yang jelas tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu baik hakim, panitera maupun JPU," paparnya.
Hascaryo menyebut polisi telah mensterilkan beberapa ruangan di lantai dua gedung persidangan PN Bengkulu tempat peristiwa itu terjadi dengan memasang garis polisi atau police line.
PN Bengkulu, kata dia, juga telah meminta pihak kepolisian untuk membantu mengamankan jalannya persidangan agar insiden serupa tidak kembali terjadi.
"Jadi saat peristiwa itu terjadi memang tidak ada penjagaan dari pihak kepolisian. Seharusnya memang perlu adanya penjagaan dan pengamanan selama proses pemeriksaan persidangan," ucapnya.
Sebelumnya, JPU dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menuntut empat orang terdakwa dalam kasus trawl itu selama 10 bulan penjara dan denda Rp100 juta.
Keempat terdakwa yaitu Muhammad Aris dan Warsimin selaku nahkoda kapal motor Bina Bersatu serta Rustam dan Mulyadi nahkoda sekaligus pemilik kapal tersebut.
Empat orang terdakwa diduga melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan atau lingkungan.
Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Bengkulu Marthin Luther saat diwawancarai, Rabu mengatakan tuntutan yang dilayangkan JPU itu sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Menurutnya, ada beberapa hal yang meringankan tuntutan yaitu keempat terdakwa mengakui perbuatannya, berterus terang serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan keempat terdakwa baru pertama kali menggunakan alat tangkap trawl.
"Soal tuntutan yang 10 bulan itu JPU dalam hal ini melihat fakta yang terungkap dalam persidangan dan hal-hal yang meringankan," paparnya.
Selain itu, terkait peristiwa pengrusakan yang terjadi seusai persidangan, Kejati Bengkulu telah berkoordinasi dengan pihak PN Bengkulu agar sidang selanjutnya digelar secara daring karena pertimbangan keselamatan dan keamanan para pihak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Pengrusakan itu terjadi usai persidangan kasus alat tangkap trawl yang mendudukkan empat orang terdakwa pada Selasa (16/02) petang.
Humas PN Bengkulu Hascaryo di Bengkulu, Rabu mengatakan pengrusakan itu bermula saat massa yang merupakan sekelompok nelayan tradisional Kota Bengkulu memprotes tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap empat orang terdakwa yang dinilai terlalu rendah.
JPU menuntut empat terdakwa pengguna alat tangkap trawl itu selama 10 bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta. Nelayan tradisional menganggap tuntutan itu tidak memenuhi rasa keadilan.
Tidak hanya protes, massa bahkan mengamuk hingga membuat sejumlah fasilitas seperti kursi dan pintu di ruang sidang Wirjono Prodjodikiro tempat persidangan kasus trawl itu digelar rusak parah.
"Kami sudah membuat laporan ke Polres Kota Bengkulu. Untuk terlapor kami tidak menyebutkan jumlah karena itu terkait sekelompok massa. Pada saat kejadian ada sekitar 40 atau 50 orang yang melakukan pengrusakan," kata Hascaryo.
Dalam laporannya, PN Bengkulu mendalilkan pengrusakan yang diduga dilakukan sekelompok nelayan itu yaitu pasal pengrusakan fasilitas negara.
Selain itu, PN Bengkulu juga melampirkan beberapa rekaman kamera pengintai atau CCTV yang merekam peristiwa pengrusakan itu sebagai alat bukti ke penyidik Reskrim Polres Bengkulu.
"Berapa estimasi kerusakan kami tidak bisa menyebutkan karena ini berkaitan dengan benda milik negara maka terlebih dahulu akan dilakukan inventarisir, tetapi yang jelas tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu baik hakim, panitera maupun JPU," paparnya.
Hascaryo menyebut polisi telah mensterilkan beberapa ruangan di lantai dua gedung persidangan PN Bengkulu tempat peristiwa itu terjadi dengan memasang garis polisi atau police line.
PN Bengkulu, kata dia, juga telah meminta pihak kepolisian untuk membantu mengamankan jalannya persidangan agar insiden serupa tidak kembali terjadi.
"Jadi saat peristiwa itu terjadi memang tidak ada penjagaan dari pihak kepolisian. Seharusnya memang perlu adanya penjagaan dan pengamanan selama proses pemeriksaan persidangan," ucapnya.
Sebelumnya, JPU dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menuntut empat orang terdakwa dalam kasus trawl itu selama 10 bulan penjara dan denda Rp100 juta.
Keempat terdakwa yaitu Muhammad Aris dan Warsimin selaku nahkoda kapal motor Bina Bersatu serta Rustam dan Mulyadi nahkoda sekaligus pemilik kapal tersebut.
Empat orang terdakwa diduga melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan atau lingkungan.
Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Bengkulu Marthin Luther saat diwawancarai, Rabu mengatakan tuntutan yang dilayangkan JPU itu sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Menurutnya, ada beberapa hal yang meringankan tuntutan yaitu keempat terdakwa mengakui perbuatannya, berterus terang serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan keempat terdakwa baru pertama kali menggunakan alat tangkap trawl.
"Soal tuntutan yang 10 bulan itu JPU dalam hal ini melihat fakta yang terungkap dalam persidangan dan hal-hal yang meringankan," paparnya.
Selain itu, terkait peristiwa pengrusakan yang terjadi seusai persidangan, Kejati Bengkulu telah berkoordinasi dengan pihak PN Bengkulu agar sidang selanjutnya digelar secara daring karena pertimbangan keselamatan dan keamanan para pihak.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021