Bengkulu  (ANTARA Bengkulu) - Menjadi saksi atas penghancuran hutan tropis membuat Holidin dan enam saudaranya terpanggil untuk menyelamatkan bunga Rafflesia arnoldi yang tumbuh di hutan Bengkulu.

Habitat yang semakin rusak akibat pembukaan hutan menjadi kebun kopi dan karet membuatnya khawatir bunga raksasa itu akan tinggal cerita dan hanya dapat dilihat dari gambar yang ada di buku-buku pelajaran.

"Perambahan hutan masih terjadi, padahal hutan yang tersisa tinggal sedikit. Kami mencemaskan Rafflesia akan punah," kata Holidin, anak kedua dari tujuh bersaudara pelestari bunga Rafflesia dari Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, Jumat.

Mitos haus darah dan sanggup memakan manusia membuat tujuh bersaudara yakni Holidin, Zulzumdihamzah, Burman Syah, Yadi Kusuma, Bambang Hakim, Retno, dan Jumadi Harto penasaran setiap kali bertemu bunga langka itu.

Perasaan takut dan senang selalu memenuhi perasaan mereka setiap menemukan bunga berwarna merah jingga itu di dalam hutan.

"Saya masih ingat pertama bertemu Raflesia, kami tidak berani mendekat karena mitos haus darah dan bisa memakan anak-anak," kata Holidin.

Namun, keunikan bunga yang menempel pada tanaman inang itu semakin membuat mereka penasaran dan ingin mengenal lebih dekat.

Holidin kecil pada 1980 masih duduk di kelas VI SD saat keluarganya memutuskan hijrah dari Serambi Gunung Kabupaten Seluma menuju Tebat Monok Kabupaten Kepahiang.

Lingkungan baru di pedesaan yang sebagian wilayahnya terdiri atas hutan lebat kala itu memberi keuntungan bagi keluarga mereka.

"Masih banyak rotan liar yang kami ambil dari hutan untuk dijual dan menambah biaya keluarga," kata dia.

Setiap kali masuk hutan menemani sang ayah mencari rotan, Holidin beserta enam saudaranya sering menemukan bunga Rafflesia yang tengah mekar.

Rasa penasaran ternyata mampu mengalahkan rasa takut ketika ia mulai berani mengamati bunga itu dan memeriksa tumbuhan inangnya.

"Sangat unik. Saat didekati ternyata tidak memakan orang," kata Holidin sambil tersenyum, mengenang pengalaman berharga yang menurutnya tak terlukiskan setiap menemukan Rafflesia tengah mekar.

Bunga raksasa itu selalu tumbuh menempel pada tanaman inang yang belakangan diketahui jenis tetrastigma.

Setiap masuk hutan, ia bersama saudaranya selalu menyempatkan diri memeriksa jika ada bunga atau bonggol yang akan mekar.

Penangkaran
Keinginan melindungi dan melestarikan bunga raksasa cantik itu tetap tertanam pada diri ketujuh bersaudara itu.

Dukungan penuh dari kedua orang tua membuat mereka semakin bersemangat keluar masuk hutan untuk memastikan Rafflesia terjaga dengan baik di habitatnya.

"Kalau dulu hutan yang bagus masih luas jadi mudah menemukan Rafflesia, tapi semakin lama semakin menyempit, jadi kami hanya fokus di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun," kata Burman Syah, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu.

Kondisi kerusakan yang semakin mengancam bunga itu membuat mereka mulai berpikir untuk menumbuhkan inang Rafflesia.

Lahan milik keluarga seluas tiga hektare di zona penyangga Hutan Lindung Bukit Daun diputuskan sebagai lokasi penangkaran bunga Rafflesia dan bunga langka lainnya termasuk bunga bangkai (Amorphopallus sp).

Sejak 1998, kata Holidin, dengan pengetahuan seadanya mereka mulai mengambil tumbuhan inang dari dalam hutan dan menanamnya di lokasi penangkaran.

Beberapa kali gagal menumbuhkan tanaman inang tidak membuat semangat tujuh bersaudara itu surut.

Setelah mencoba berbagai bagian tanaman untuk ditumbuhkan, akhirnya dua pohon inang Rafflesia berhasil tumbuh.

"Sudah ratusan yang ditanam, tapi hanya dua yang tumbuh, sekarang sudah berumur 12 tahun," katanya.

Meski sudah berusia 12 tahun, namun belum sekali pun Rafflesia muncul pada tanaman inang di lokasi penangkaran tersebut.

Kabar baiknya, kata dia, sejumlah bonggol atau knop sudah berhasil muncul meski belum sempurna menjadi bunga.

"Sepertinya masih belajar berbunga. Kami sudah menemukan beberapa kali muncul bonggol, bahkan pernah ada yang berdiamater 20 centimeter tapi kemudian busuk dan mati," katanya menerangkan.

Holidin tetap yakin, Rafflesia akan mekar pada tumbuhan inang yang ditanamnya itu.

Jika upaya tersebut berhasil, ia tidak khawatir akan kehilangan bunga langka nan unik itu.

Keluarga besar mereka sudah setuju untuk mempertahankan lahan itu menjadi lokasi pembudidayaan Rafflesia.

"Sebenarnya sempat terpikir untuk menanam kopi yang hasilnya bisa mencapai empat ton per hektare, tapi bersyukur orang tua kami ikut mendukung pelestarian Rafflesia sehingga tetap menjadi ciri Bengkulu dan Indonesia," kata Holidin. (KR-RNI)

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Indra Gultom


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012