Surabaya (Antara) - Praktisi yang juga General Manager Museum Seni House of Sampoerna (HoS) Ina Silas menilai hilangnya artefak di Museum Nasional merupakan bukti kesalahan konsep penataan di dalam museum.
"Museum itu bukan sekadar taruh barang. Itulah kelemahan penataan museum di Indonesia. Bukan hanya soal keamanan, tapi minat pengunjung juga rendah," katanya kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Ditanya tentang perlunya faktor pengamanan di dalam museum terkait hilangnya sejumlah artefak berharga di Museum Nasional, ia mengaku konsep penataan dalam museum itu tidak sama dengan menaruh barang di rumah.
"Penataan barang di dalam museum itu ada fungsi keindahan atau estetika dan keamanan sekaligus. Fungsi keindahan itu terkait dengan 'angle' penataan barang. Tapi museum di Indonesia umumnya masih asal taruh saja," kata Ina Silas.
Untuk fungsi keamanan terkait dengan penataan barang yang tidak bergerombol dalam satu titik. "Kalau barang bernilai itu ditaruh secara bergerombol justru akan sangat rawan dari sisi keamanan," katanya.
Misalnya, kalau pengunjung dari anak-anak sekolah, maka jika barangnya banyak di satu titik akan sulit untuk melakukan pengamanan.
"Pengamanan barang museum itu bukan hanya dari sisi mencegah kehilangan, tapi juga menghindari terjadinya kerusakan, misalnya akibat sentuhan. Jadi, pengamanan di dalam museum itu juga dari sisi konservasi," ujar Ina Silas.
Dengan keindahan dan keamanan yang terpadu itu, katanya, maka pengunjung museum akan merasa puas. "Cara penataan yang memadukan fungsi estetika dan keamanan memang membutuhkan keahlian," katanya.
Selain itu, orang yang tidak paham akan cenderung melihat keamanan museum dari aspek CCTV saja, padahal juga menyangkut pemandu pengunjung (guide), dan sekuriti.
"Artinya, CCTV itu penting, tapi guide juga dapat berfungsi sebagai pengawas saat memandu pengunjung, tapi ya itu tadi... barangnya jangan terlalu banyak agar pengawasan bisa maksimal," katanya.
Tentang sekuriti, Ina Silas mengaku beberapa museum yang pernah dikunjungi di Prancis tidak hanya mengandalkan CCTV, tapi pengelola juga menempatkan sekuriti secara maksimal yakni satu ruang satu orang.
"Kelihatannya cara itu mahal, tapi hal itu tidak sebanding dengan nilai dari barang-barang di dalam museum. Apalagi Museum Nasional itu tentu tidak hanya menyimpan artefak dalam skala nasional, tapi juga dunia, sehingga pengamanannya harus lebih maksimal," ucapnya.
Namun, ia mengaku pengamanan itu harus dipadukan dengan estetika dalam penataan barang di dalam museum, sehingga mampu menarik minat pengunjung.
Cara tersebut membuat House of Sampoerna kini telah menjadi tujuan wisata dengan pengunjung di atas 10.000 orang setiap bulan.
Apalagi, museum dipadukan dengan layanan wisata keliling situs-situs bersejarah di Surabaya menggunakan kendaraan berupa bus mini atau House of Sampoerna Track. Selain itu, pengelola juga sering menggelar pameran kesenian serta mengembangkan kafe di komplek museum.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Museum itu bukan sekadar taruh barang. Itulah kelemahan penataan museum di Indonesia. Bukan hanya soal keamanan, tapi minat pengunjung juga rendah," katanya kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Ditanya tentang perlunya faktor pengamanan di dalam museum terkait hilangnya sejumlah artefak berharga di Museum Nasional, ia mengaku konsep penataan dalam museum itu tidak sama dengan menaruh barang di rumah.
"Penataan barang di dalam museum itu ada fungsi keindahan atau estetika dan keamanan sekaligus. Fungsi keindahan itu terkait dengan 'angle' penataan barang. Tapi museum di Indonesia umumnya masih asal taruh saja," kata Ina Silas.
Untuk fungsi keamanan terkait dengan penataan barang yang tidak bergerombol dalam satu titik. "Kalau barang bernilai itu ditaruh secara bergerombol justru akan sangat rawan dari sisi keamanan," katanya.
Misalnya, kalau pengunjung dari anak-anak sekolah, maka jika barangnya banyak di satu titik akan sulit untuk melakukan pengamanan.
"Pengamanan barang museum itu bukan hanya dari sisi mencegah kehilangan, tapi juga menghindari terjadinya kerusakan, misalnya akibat sentuhan. Jadi, pengamanan di dalam museum itu juga dari sisi konservasi," ujar Ina Silas.
Dengan keindahan dan keamanan yang terpadu itu, katanya, maka pengunjung museum akan merasa puas. "Cara penataan yang memadukan fungsi estetika dan keamanan memang membutuhkan keahlian," katanya.
Selain itu, orang yang tidak paham akan cenderung melihat keamanan museum dari aspek CCTV saja, padahal juga menyangkut pemandu pengunjung (guide), dan sekuriti.
"Artinya, CCTV itu penting, tapi guide juga dapat berfungsi sebagai pengawas saat memandu pengunjung, tapi ya itu tadi... barangnya jangan terlalu banyak agar pengawasan bisa maksimal," katanya.
Tentang sekuriti, Ina Silas mengaku beberapa museum yang pernah dikunjungi di Prancis tidak hanya mengandalkan CCTV, tapi pengelola juga menempatkan sekuriti secara maksimal yakni satu ruang satu orang.
"Kelihatannya cara itu mahal, tapi hal itu tidak sebanding dengan nilai dari barang-barang di dalam museum. Apalagi Museum Nasional itu tentu tidak hanya menyimpan artefak dalam skala nasional, tapi juga dunia, sehingga pengamanannya harus lebih maksimal," ucapnya.
Namun, ia mengaku pengamanan itu harus dipadukan dengan estetika dalam penataan barang di dalam museum, sehingga mampu menarik minat pengunjung.
Cara tersebut membuat House of Sampoerna kini telah menjadi tujuan wisata dengan pengunjung di atas 10.000 orang setiap bulan.
Apalagi, museum dipadukan dengan layanan wisata keliling situs-situs bersejarah di Surabaya menggunakan kendaraan berupa bus mini atau House of Sampoerna Track. Selain itu, pengelola juga sering menggelar pameran kesenian serta mengembangkan kafe di komplek museum.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013