PT PLN (Persero) mempelajari teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCUS) guna mendukung pencapaian target karbon netral di Indonesia pada 2060.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan pemanfaatan teknologi CCUS bisa menjadi alternatif inovasi yang berpeluang untuk dikembangkan selaras dengan proyek energi baru dan terbarukan (EBT).
"Secara umum, CCUS dapat mereduksi karbon sebesar 90 persen dari pembangkit berbahan bakar fosil. Sementara 10 persen sisanya harus kita penuhi dengan menggunakan teknologi energi baru terbarukan lain demi mencapai target net zero emission pada 2060," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dia menjelaskan penerapan teknologi CCUS masih perlu dikaji terutama dari sisi investasi. Namun, investasi yang dibutuhkan diperkirakan masih memungkinkan untuk diterapkan pada pembangkit yang masih layak beroperasi milik PLN.
"PLN ingin menghadirkan listrik yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, pembangkit dengan CCUS masih kami pelajari seiring dengan makin murahnya teknologi, maka opsi teknologi itu bisa menjadi pilihan," ujar Haryadi.
PLN akan mulai memensiunkan generasi pertama PLTU batu bara pada 2030 dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, sehingga pada 2060 seluruh PLTU batu bara digantikan pembangkit berbasis energi hijau.
Di samping itu, beberapa pembangkit yang sudah berjalan akan dikonversi dengan menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, seperti implementasi program co-firing biomassa.
Strategi lainnya terus dijalankan PLN termasuk pengkajian teknologi CCUS, memperluas penggunaan kendaraan listrik, hingga mengonversi pembangkit listrik primer tenaga diesel dan batu bara dengan pembangkit energi baru terbarukan secara bertahap.
Ahli CCUS dari Badan Energi Internasional Adam Baylin-Stren optimistis teknologi tersebut akan memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi bersih di Asia Tenggara.
Menurutnya, selain dapat mengurangi emisi karbon, teknologi CCUS dapat mendukung peluang ekonomi baru terkait dengan produksi hidrogen dan amonia.
Investasi masa depan pengembangan CCUS akan bergantung pada pembentukan kerangka hukum dan peraturan, serta insentif kebijakan dari pemerintah.
"Upaya yang lebih tinggi diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan sumber daya penyimpanan karbon dioksida di Asia Tenggara, baik di dalam maupun di lepas pantai. Tentunya, disertai dengan peran penting industri keuangan internasional sebagai sumber pendanaan," jelas Adam.
Sementara itu, Koordinator Inisiatif CCUS dari Clean Energy Ministerial Juho Lipponen menyampaikan meskipun teknologi tersebut menggunakan karbon sebagai sumber energi, tapi bukan berarti harus memproduksi karbon yang lebih banyak untuk memastikan suplainya.
Pemanfaatan teknologi CCUS dalam pembangkit listrik memastikan karbon ditangkap untuk digunakan kembali sebelum masuk ke atmosfer.
"CCUS juga dapat menyerap kembali karbon yang telah masuk ke atmosfer, jadi teknologi ini melengkapi pembangkit energi baru terbarukan lainnya tidak saling bertentangan," pungkas Juho.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan pemanfaatan teknologi CCUS bisa menjadi alternatif inovasi yang berpeluang untuk dikembangkan selaras dengan proyek energi baru dan terbarukan (EBT).
"Secara umum, CCUS dapat mereduksi karbon sebesar 90 persen dari pembangkit berbahan bakar fosil. Sementara 10 persen sisanya harus kita penuhi dengan menggunakan teknologi energi baru terbarukan lain demi mencapai target net zero emission pada 2060," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dia menjelaskan penerapan teknologi CCUS masih perlu dikaji terutama dari sisi investasi. Namun, investasi yang dibutuhkan diperkirakan masih memungkinkan untuk diterapkan pada pembangkit yang masih layak beroperasi milik PLN.
"PLN ingin menghadirkan listrik yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, pembangkit dengan CCUS masih kami pelajari seiring dengan makin murahnya teknologi, maka opsi teknologi itu bisa menjadi pilihan," ujar Haryadi.
PLN akan mulai memensiunkan generasi pertama PLTU batu bara pada 2030 dan dilanjutkan pada tahun berikutnya, sehingga pada 2060 seluruh PLTU batu bara digantikan pembangkit berbasis energi hijau.
Di samping itu, beberapa pembangkit yang sudah berjalan akan dikonversi dengan menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, seperti implementasi program co-firing biomassa.
Strategi lainnya terus dijalankan PLN termasuk pengkajian teknologi CCUS, memperluas penggunaan kendaraan listrik, hingga mengonversi pembangkit listrik primer tenaga diesel dan batu bara dengan pembangkit energi baru terbarukan secara bertahap.
Ahli CCUS dari Badan Energi Internasional Adam Baylin-Stren optimistis teknologi tersebut akan memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi bersih di Asia Tenggara.
Menurutnya, selain dapat mengurangi emisi karbon, teknologi CCUS dapat mendukung peluang ekonomi baru terkait dengan produksi hidrogen dan amonia.
Investasi masa depan pengembangan CCUS akan bergantung pada pembentukan kerangka hukum dan peraturan, serta insentif kebijakan dari pemerintah.
"Upaya yang lebih tinggi diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan sumber daya penyimpanan karbon dioksida di Asia Tenggara, baik di dalam maupun di lepas pantai. Tentunya, disertai dengan peran penting industri keuangan internasional sebagai sumber pendanaan," jelas Adam.
Sementara itu, Koordinator Inisiatif CCUS dari Clean Energy Ministerial Juho Lipponen menyampaikan meskipun teknologi tersebut menggunakan karbon sebagai sumber energi, tapi bukan berarti harus memproduksi karbon yang lebih banyak untuk memastikan suplainya.
Pemanfaatan teknologi CCUS dalam pembangkit listrik memastikan karbon ditangkap untuk digunakan kembali sebelum masuk ke atmosfer.
"CCUS juga dapat menyerap kembali karbon yang telah masuk ke atmosfer, jadi teknologi ini melengkapi pembangkit energi baru terbarukan lainnya tidak saling bertentangan," pungkas Juho.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021