Mali, gadis kecil berusia delapan tahun bersusah payah untuk merangkai huruf demi huruf membuat tulisan ucapan selamat ulang Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76. Dengan menulis angka 6 terbalik dan cara menulis yang masih belum lurus, gadis rimba itu akhirnya berhasil membuat tulisan dalam waktu empat menit.

Mali sebenarnya sudah ber
sekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri dekat pemukimannya sejak 2020 lalu dan hanya saja dia tidak bisa layaknya anak-anak lain sekolah, karena dalam kehidupan orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) itu mereka memang harus berpindah dikarenakan 'Melangun' atau tradisi pada saat ada anggota kelompoknya yang meninggal dunia.

Sebagaimana alasan perpindahan yang umum bagi orang rimba. Perpindahan disebabkan karena terusir dari satu tempat ke tempat lain atau tradisi Melangun SAD yang ditambah lagi dengan ada pandemi COVID-19 yang semakin menyulitkan mereka untuk melanjutkan pendidikan, kata Humas KKI Warsi, Sukma Reni, Selasa.

Mali, satu dari belasan anak rimba usia sekolah yang tinggal di Kelompok Mariau dalam perkebunan sawit PT SAL. Anak-anak Rimba ini sejatinya ingin sekolah dan mengecap pendidikan namun apa daya, kehidupan mereka yang terpaksa berpindah karena diusir pemilik ketika hidup dianggap menumpang di dalam kebun sawit yang menyebabkan anak-anak ini tidak lancar dalam bersekolah.

Seperti Mali, sudah setahun tercatat sebagai murid baru di SD formal, namun dikarenakan kehidupan Orang Rimba yang tidak stabil berada di dalam kebun itu menyebabkan mereka sering terusir dan berpindah yang menyebabkan sekolah bukanlah hal mudah bagi Mali dan kawan-kawannya.

"Kami ingin anak-anak ini sekolah mumpa anak urang lain, kendala kami baru nak sekolah kami lah disuruh pindah, hopi ado ketetapan (Kami ingin, anak-anak kami bisa sekolah seperti anak orang desa. Kendala baru anak kami masuk sekolah, kami sudah disuruh pindah, tidak punya tempat yang pasti)," kata Mariau (52).

Mariau menurut leluhur tetua adat mereka berada di Sungai Punti Kayu,Sungai Tengkuyungon dan Sungai Putih. Di daerah ini, Meriau mengenang masa belianya, kala hutan lebat menjadi tempat tinggalnya. Aneka buah hutan tersedia untuk di konsumsi, umbi-umbian berlimpah dan tentu louk godong (hewan buruan) dengan mudah bisa diambil.

"Itulah merdekanya orang kami, ketika hutan memberi kami kehidupan," kata Mariau dengan senyum sempat menghias wajahnya kala mengingat kembali kenangan manis atas kemerdekaan hidup sebagai orang rimba.


"Dijajah alat berat"

Mariau tidak menyangka alat berat yang datang meruntuhkan hutan mereka dan menggantinya dengan pohon sawit berujung nestapa yang tidak berkesudahan.

"Dulu kami dibodohi, pohon buah kami ditumbangkan (ditebang), disobutnye (disebutkan) diganti pohon kelapa sawit, buahnyo besa (besar), lebih manis. Betunggulah awak (Kami nantilah). Manolah (manalah) buah ini. Sekali buah keluar pahit, hopi (tidak) bisa di makon (makan)," kata Mariau mengenang masa silamnya.

Sejak itu Mariau dan kelompoknya sudah paham mereka dibodohi. Tekad kuat untuk keluar dari kebodohan muncul namun keberuntungan masih belum berpihak pada mereka.

Mariau menyadari untuk keluar dari pembodohan ini, mereka harus sekolah. Mariau mencoba langkah menyekolahkan anak-anaknya di SD negeri terdekat dengan mereka. Sampai anaknya yang kelima masih belum ada yang sekolah dengan tetap dan lanjut.

"Mumpa mano nak sekolah (bagaimana mau sekolah), belum masuk seminggu, kami disini sudah diusir orang, pindah lagi dan kalau anak sekolah kami diusir pindah kemano kami bercarian dengan anak nan sekolah tadi," kata Mariau.

Untuk itu, Mariau sangat berharap pemerintah memberikan mereka ruang hidup dan ketetapan pemukiman serta sumber penghidupan.

Meriau merupakan orang rimba atau kelompok Suku Anak Dalam yang pernah dikunjungi langsung oleh Presiden Jokowi pada 2015 silam. Kepada presiden yang mereka anggap seperti bertemu Tuhan itu, menyampaikan harap supaya diberikan tempat hidup.

"Kami menanti, permohonan kami pada presiden bisa kabul," kata Meriau.

Meriau berharap dengan ruang hidup yang pasti dan tidak lagi diusir-usir pihak lain, kelompok ini bisa membangun kehidupan yang lebih baik.

"Harapan kami, anak-anak pintar bisa tulis baco, sebab kami nan tuha bodoh, kami harap anak kami bisa pintar," kata Mariau dalam bahasa orang rimba.

Mariau juga menyebutkan jika mereka sudah hidup secara baik dalam artian mempunyai lahan penghidupan dan dirumahkan, pendidikan untuk anak-anak mereka bisa berjalan dengan baik dan mencontohkan dari anaknya yang nomor satu sampai lima sangat ingin sekolah, namun apa daya baru beberapa kali sekolah sudah harus pindah, sehingga sekolahnya tidak berlanjut dan masih belum bisa membaca dengan lancar.

Padahal cita-cita Mariau sangat ingin ada anggota kelompoknya yang seperti Budi. Budi merupakan anak Tumenggung Bebayang yang sukses melewati pendidikan dan kini sudah menjadi anggota TNI aktif.

Bagi Mariau bayangan untuk jadi anggota TNI sangat jauh baginya, paling penting baginya anak-anaknya pintar baca tulis. Hutan adalah kehidupan orang rimba.

Meliyau (40) istri Tumenggung Mariau juga mengenang masa kecilnya adalah kebebasan. Merdeka dengan hutannya. Sebagai anak gadis kala itu, orang tuanya sudah mengajarkan berbagai keterampilan yang wajib diketahui perempuan rimba. Perempuan rimba adalah pemegang harga keluarga, untuk itu perempuan harus punya keterampilan tidak hanya mengelola harta keluarga, namun juga membuat aneka anyaman.

Tikar, untuk alas duduk di dalam rumah godong, ambung alat angkut yang terbuat dari rotan, dan kerajinan lainnya juga harus bisa dikerjakan perempuan rimba. Keterampilan ini sudah di dapatkan dan menjadi keseharian perempuan rimba. Hanya saja sejak menikah perlahan hutan mereka hilang dan berganti kebun sawit, aneka keterampilan turun temurun ini tidak bisa lagi dilakukan.

"Segelo mato kerjo betina lah sodah helang (segala pekerjaan perempuan rimba sudah hilang)," kata Meliayau.

Mata kerja yang dimaksud adalah keterampilan hidup yang diwariskan nenek moyang. Hutan yang berganti sawit tidak ada lagi rotan yang tumbuh tidak ada lagi jernang yang akan mempercantik warna ambung.

"Kinia kami ikut mbrondol, kadang dapat kadang hopi (sekarang kami ikut mengumpulkan buah sawit yang jatuh, kadang dapat kadang tidak dapat)," kata Meliyau.

Orang Rimba saat ini memang berada di kondisi yang sulit. Ketika hutan mereka berganti sawit mereka belum mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Akibatnya mereka mengalami kemarginalan yang sangat parah.

Bagi orang rimba hidup merdeka adalah sumber daya hutan yang mampu menopang hidup mereka. "Kami orang rimba, hidup kami di dalam rimba, di dalam rimba kami makan, di dalam rimba kami berpencaharian," kata Tungganai Basemen (61), tetua orang rimba yang tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas.


"Merdeka"

Di perayaan HUT Republik Indonesia ke-76, Tungganai berharap hutan mereka yang sudah makin sempit itu dilindungi. "Harapan kami pado pemerintah, jagolah hutan kami, karena hutan ikolah tempat kami," kata Tungganai.

Meski tinggal di hutan, Tungganai juga berharap generasi muda orang rimba bisa bersekolah dengan baik. Supaya nantinya anak-anak orang rimba juga bisa hidup di 'ujung pena', punya penghidupan yang baik dan juga masa depan yang baik.

Sementara itu Robert Aritonang, Manager Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menilai orang rimba atau SAD merupakan masyarakat adat yang beridentitaskan hutan. Ketersediaan hutan adalah jaminan identitas jati diri mereka sedangkan hilangnya hutan adalah hilangnya jati diri mereka dan untuk orang rimba yang tinggal di hutan harapan mereka hutan tetap dipelihara, harusnya mendapat dukungan dari semua pihak.

"Dukungan ini penting, tidak hanya bagi orang rimba tetapi juga penting bagi ekologi, sehingga harapan orang rimba atau Suku Anak Dalam dengan hutannya harus didukung semua pihak," kata Robert.

Sedangkan untuk orang rimba yang tinggal di dalam perkebunan sawit, karena hutan mereka sudah dialih fungsikan, harusnya negara segera mengambil tindakan untuk merangkul orang rimba dan memasukkan mereka dalam sistem kehidupan seutuhnya. Untuk menyelesaikan persoalan orang rimba yang kehilangan hutan ini, hanyalah kesadaran semua pihak terhadap pengabaian terhadap hak-hak orang rimba.

Berangkat dari kesadaran ini, harusnya melahirkan sikap untuk saling mendukung kemanusiaan dengan memberikan ruang penghidupan bagi orang rimba yang dihargai semua pihak.

"Tanpa itu, orang rimba (SAD) yang kehilangan hutan ini akan semakin marginal dan dikhawatirkan nantinya akan memperberat kerja pemerintah untuk mengurai konflik sosial yang tidak berkesudahan," kata Robert.

Di momen HUT RI ke-76 tahun ini, ada harapan pengakuan hak dasar orang rimba terhadap lahan mereka dan semoga tuntutan ini didengar oleh negara dan direalisasikan atas dasar penghormatan atas kesetaraan hak azazi semua warga negara.

Pewarta: Nanang Mairiadi

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021