Bengkulu,  (Antara) - Membicarakan posisi dan peranan perempuan dalam kehidupan politik Indonesia, membawa kita pada masalah yang berdimensi luas.

Pada satu sisi kita langsung diarahkan pada nostalgia gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia heroik. sepanjang perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tercatat sejumlah nama-nama perempuan, seperti Tjut Nyak Dien, Tjut Mutiah dari Aceh, Rasuna Said dari Minangkabau, Kristina M Tiahahu dari Maluku, Nyai Ahmad Dahlan, R.A Kartini, bahkan Ny.Fatmawati Soekarno dari Bengkulu dan banyak lagi nama perempuan yang tercatat dalam buku sejarah.

Masalah lain yang terkait dengan perempuan dalam kehidupan politik Indonesia yang kontroversi dan sering menyulut emosi dalam diskusi dan seminar-seminar yang membicarakan posisi dan peranan perempuan dalam politik adalah isu yang menyangkut keterwakilan perempuan di parlemen ( DPR dan DPRD ).

Menurut para aktivis gerakan perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan, pusat-pusat studi wanita di perguruan tinggi, kelompok kaukus perempuan di DPR dan DPRD sampai kini masih melihat dan merasakan ketimpangan dan ketidakadilan keterwakilan perempuan dalam  lembaga-lembaga publik yang strategis, terutama di DPR dan DPRD.

Bagi aktivis perempuan ketimpangan dan ketidakadilan keberadaan perempuan dalam lembaga perwakilan dipandang sangat menyakitkan dan merendahkan derajat perempuan di ranah publik.
Argumentasi yang sering dijadikan dasar memperkuat (legitimasi) tuntutan mengurangi ketimpangan dan ketidakadilan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik DPRD dan DPRD antara lain :
1). Komposisi penduduk Indonesia menurut data statistik menunjukkan 51 persen penduduk berjenis kelamin perempuan dan 49 persen laki-laki, jadi berbanding terbalik dengan keterwakilan perempuan dalam parlemen.
2). Bagi aktivis perempuan issue perempuan dalam kehidupan  politik nasional dan daerah semakin menyesakkan hati, karena disamping kondisi ketimpangan dan ketidakadilan keterwakilan dalam parlemen, beberapa pemimpin partai politik dalam berbagai kesempatan kampanye meneriakkan semboyan atau slogan "perempuan tidak perlu berpolitik. Politik itu harus laki-laki". Serta paradigma lama peran domestik perempuan "Perempuan mengurus anak dan suami".
Kondisi aktivis perempuan yang sudah emosional tersebut sering diramaikan berita-berita di media massa pelecehan terhadap pribadi perempuan seperti prilaku Syech Puji yang menikahi gadis di bawah umur (masih 12 tahun). Serta kurang pekanya para wakil rakyat di DPR yang didominasi laki-laki terhadap aspirasi dan kepentingan perempuan dalam menetapkan pasal-pasal dan ayat-ayat, undang-undang pornografi dan berbagai rancangan undang-undang lainnya.

         Berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara RI pasal 27 dimana "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan  pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ketercualinya".
Diinspirasi dan dimotivasi Gender an Emppowerment Measure (GEM) dan Gender Development Index (GDI), dua pradigma yang disodorkan PBB melalui UNDP sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah suatu negara, para aktivis perempuan dengan semangat yang membara tak henti-hentinya berjuang menuntut adanya konstruksi politik yang mengadaptasi aspirasi dan kepentingan perempuan dalam lembaga perwakilan berbagai  aspek kehidupan politik lainnya.

Jargon politik yang membatasi kedudukan dan peranan perempuan dalam politik dilawan dengan menyampaikan jargon politik tandingan antara lain "perempuan ayo berpolitik". Perempuan berpolitik ? Siapa Takut ?. Kredibilitas kaum perempuan yahuut. Tidak punya dosa politik" ?

Secara faktual, harus diakui sudah banyak aspirasi dan kepentingan perempuan berhasil diwujudkan. Sejak masa Orde Baru format kabinet sudah dibentuk Kementerian Peranan Wanita, dalam proses reformasi atas usul dari Khofifah Indar Parawansa kepada Presiden Abdul Rahman Wahid berganti nama menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Kementerian ini tidak hanya pemberdayaan perempuan tapi juga perlindungan untuk anak. Hasil dari kerja kementerian ini antara lain ditetapkannya berbagai kebijakan terkait perempuan dan anak di bidang kesehatan, bantuan pada perempuan bermasalah baik bagi kelompok khusus di dalam negeri, maupun perempuan yang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.(Tabloid politics Edisi 10,Thn.III,hal 4).

Hasil perjuangan pergerakan perempuan Indonesia dalam masa reformasi antara lain dicantumkannya ketentuan keterwakilan perempuan 30 persen dalam struktur kepengurusan Partai Politik, serta ketentuan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang mewajibkan partai politik peserta pemilihan umum mencantumkan 30 persen calon legislatif dalam daftar yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Mengikuti ketentuan undang-undang itu awalnya membuat banyak pengurus parpol yang kesulitan bahkan kelabakan, melaksanakan ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif, kesulitan tersebut antara lain karena kurangnya aktivis perempuan dalam partai politik.

         Tidak banyak perempuan yang bertipe gladiator yakni perempuan yang bersemangat, siap bertarung secara gigih dan tangguh berjuang dalam sidang-sidang parlemen.

Pengalaman memperhatikan prilaku anggota parlemen perempuan selama ini yang lebih banyak diam dan pasif, tidak mempunyai keberanian mengaju usul dan pendapat dalam sidang-sidang parlemen (Mahya Astu Luti Dewi : dalam Gender and Politics, 1991 : 1990).

Bagi penulis tidak tercapainya target keterwakilan perempuan secara nasional bukan karena kurangnya political will partai politik dan pemerintah, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor internal calon legislatif perempuan dan aktualisai dan komunikasi dengan lingkungannya.

 Faktor internal legislatif perempuan mencakup antara lain :
1). Umur atau usia calon legislatif perempuan dalam hal ini usia emas calon legislatif biasanya usia 25 tahun sampai dengan 45 tahun.

    2). Tingkat pendidikan yang cukup, idealnya lulusan S1.

    3). Berfikir bebas dan suka bergaul.

    4). Mempercayai dan mempunyai keteraturan hidup sosial yang dapat diamati dan dievaluasi.

    5). Menghormati martabat orang lain, termasuk mereka yang berstatus sosial rendah.

    6). Bukan seorang rent seeker atau pencari untung semata, tetapi mereka bermanfaat bagi orang banyak, masyarakat, bangsa dan negara jauh lebih baik dan lebih terhormat dari pencapaian kekayaan atau material lainnya.

Selain faktor internal (pribadi) calon legislatif perempuan, tidak terpilih dan tidak layaknya perempuan dalam lembaga perwakilan juga bersumber dari pemilih perempuan yang terdaftar  dalam daftar pemilihan (DCT) daerah pemilihan tertentu.

Berdasarkan survei yang penulis lakukan untuk daerah pemilihan Kota Bengkulu, hanya 8,3 persen pemilih perempuan yang akan memilih calon legislatif perempuan dalam hari pencoblosan 9 April 2014; 60,9 persen masih ragu-ragu akan memilih calon legislatif perempuan , dan 34,4 persen secara tegas tidak pernah akan memilih  caleg perempuan dalam hari pemilu nanti.

Faktor yang melatarbelakangi sikap pemilih perempuan yang tercatat dalam DPT 69,2 persen tidak mengenal calon legislatif perempuan tersebut, hanya ada 30,8 persen pernah dengar atau pernah kenal sebelumnya. Faktor lain yang sangat menarik adalah tingkat kepercayaan pemilih perempuan terhadap calon legislatif perempuan.

Hasil survei menunjukKan 52,2 persen pemilih perempuan sangat kurang percaya pada kemampuan calon legislatif perempuan memperjuangkan kepentingan perempuan jika duduk di DPRD Kota bengkulu.

Sebanyak 44,8 persen cukup percaya pada kemampuan wakil perempuan untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi perempuan di DPRD Kota Bengkulu. Hanya terdapat 4,3 persen sangat percaya bahwa caleg yang terdaftar dalam DPT jika terpilih dan duduk dalam lembaga DPRD Kota Bengkulu akan mampu memperjuangkan aspirasi dan kepentingan perempuan dalam sidang-sidang di DPRD Kota bengkulu.

    
                         Strategi Ganda

Memperhatikan data dan uraian di atas, maka untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, khususnya di DPRD Kota Bengkulu, diperlukan upaya strategi ganda : pada aspek perempuan calon anggota legislatif perlu memperbaiki masalah internal(pribadi) calon legislatif perempuan sendiri mulai dari asal usia (umur) ideal, penataan hidup secara teratur, memperbanyak kerja-kerja sosial-politik untuk meningkatkan pengenalan dan kepercayaan masyarakat saat menjadi calon, mempunyai rasa simpati dan keadilan bagi orang lain, tidak sombong dan mata duitan atau rakus.

Pada aspek aktivis gerakan perjuangan perempuan, tampaknya perlu ditemukan isu baru dan strategi baru yang lebih rasional dan lebih cerdas. Termasuk di dalamnya memperjuangkan kembali dicantumkannya adanya perwakilan kelompok-kelompok dan golongan di MPR RI.

Perubahan-perubahan di dalam konstitusi yang menghapus jaminan adanya wakil kelompok dan golongan di MPR selain bermakna mengingkari suasana batin para pejuang kemerdekaan Indonesia yang mencita-citakan bangsa dan negara Indonesia merdeka bersifat negara kekeluargaan yang berkeadilan.

Penghapusan adanya wakil kelompok dan golongan di MPR melalui pengangkatan dan menggantinya dengan semua harus melalui pemilihan Umum suatu keputusan yang berlebihan dan Undang-Undang dasar NKRI tahun 1945 harus diamandemen atau di adendum kembali (Amandemen ke-5).

Pada saat inilah nanti perwakilan perempuan dalam MPR dan lembaga-lembaga perwakilan memantapkan. Adapun mengenai proses dan mekanisme pengangkatan- penunjukan keterwakilan wanita dan kelompok marginal lainnya yang hidup berkembang dalam masyarakat, dapat diatur dalam undang-undang yang lebih rendah oleh DPR dan pemerintah.

Pada tataran pemerintah, hendaknya pemerintah merencanakan, melaksanakan, termasuk mendanai pendidikan politik secara bertahap dan berkelanjutan. Tidak saja bagi semua warga negara, tetapi yang utama bagi kelompok-kelompok generasi muda, kelompok wanita dan lain-lain.

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya warganegara yang rasional, obyektif, toleransi, plural. Tanpa pendidikan politik yang baik, pemantapan demokrasi di Indonesia akan menimbulkan banyak masalah, karena rakyat tetap dalam emosional konfrontatif menanggapi gejala, peristiwa serta kebijaksanaan politik.

    

*)Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Bengkulu (Unib).

Pewarta: Oleh : Lamhir S Sinaga *)

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014