Kopi asal Pagaralam, Sumatera Selatan, semakin diminati pasar internasional dari Asia hingga Eropa sejak setahun terakhir.
Eksportir kopi, Rudi Mickhael di Palembang, Kamis, mengatakan, Kopi Pagaralam menjadi buruan sejak mendapatkan pengakuan internasional pada kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Prancis.
“Pada awal tahun 2022, saya sudah ekspor dua kontainer biji kopi ke Oman, dan pertengahan tahun ini ada permintaan dari Korea Selatan Rusia. Sekarang saya mulai menyetok lagi untuk penuhi gudang di Jakarta” kata Rudy.
Kopi Pagaralam yang berjenis robusta ini dinilai memiliki cita rasa yang unggul berupa ‘strong bitter’.
Rasa pahit yang unik ini didapatkan Kopi Pagaralam karena lokasi penanaman di ketinggian 1.000-1.4000 mdpl, yang berdampingan dengan jenis tanaman lain yakni cengkih, kayu manis, dan petai.
Sebagaimana diketahui bahwa tanaman kopi itu menyerap saripati tanaman yang ada di sekitarnya.
Bagi eksportir, Kopi Pagaralam ini sangat menjanjikan. Bukan hanya karena keunggulan dari cita rasanya tapi juga dari sisi volume produksinya yang relatif banyak.
Kota Pagaralam, Sumsel, yang berada di kaki Gunung Dempo dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan produksi 12.782 ton per tahun dari total luas lahan 8.327 hektare berdasarkan data BPS Sumsel.
“Artinya jika mau digarap dengan serius untuk sisi ekspor, maka Kopi Pagaralam yang paling tepat. Sudah dapat pengakuan internasional dan dari skala jumlah juga memenuhi. Begitu juga dengan kualitas, karena sudah banyak petani yang beralih dari kopi asalan ke premium,” kata dia.
Kristian Tri Purnomo (38), petani kopi asal Pagaralam mengatakan dirinya saat ini menyasar pasar ekspor biji kopi premium yang menawarkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar lokal.
Harga biji kopi (green bean) untuk pasar premium dipatok pembeli sekitar Rp34.000 per kilogram, sementara untuk pasar lokal jenis kopi asalan (petik pelangi) hanya Rp19.000 per kilogram.
Bahkan saat ini muncul produk baru yakni kopi asalan tapi disortir dengan harga Rp23.000 per kilogram sejak adanya permintaan produk premium.
“Ada perbedaan yang cukup jauh sehingga saat ini banyak petani yang tertarik,” kata dia.
Hanya saja, belum seluruh petani kopi di Pagaralam mau menjual produk premium lantaran mereka harus mengubah kebiasaan dalam kegiatan setelah panen.
Pembeli menerapkan aturan yang cukup ketat terkait kegiatan usai panen ini mengingat produk biji kopi ini akan diekspor ke luar negeri.
“Harus hiegenis, mulai dari harus petik merah, jemurnya 30 hari lamanya, hingga tidak boleh jemur di tanah atau di atas jalan beraspal. Harus di atas para-para (balai-balai tempat menjemur yang berjarak 70 cm dari tanah,” kata dia.
Asisten I Pemerintah Kota Pagaralam mengatakan pemerintah berupaya menggandeng banyak pihak untuk mengangkat kopi Pagaralam ini agar naik kelas, hingga menembus pasar ekspor.
Saat ini produktivitas lahan kopi di Pagaralam masih terbilang rendah yakni rata-rata 900 kilogram per hektare per tahun atau belum mencapai satu ton per hektare. Sementara, negara pesaing seperti Vietnam, yang kini telah mencapai tiga ton per hektare per tahun.
“Saat ini sudah ada yang melakukan kegiatan ekspor, tapi masih dalam porsi kecil. Ke depan kami akan mendorong agar volume ekspor bisa ditingkatkan lagi,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Eksportir kopi, Rudi Mickhael di Palembang, Kamis, mengatakan, Kopi Pagaralam menjadi buruan sejak mendapatkan pengakuan internasional pada kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Prancis.
“Pada awal tahun 2022, saya sudah ekspor dua kontainer biji kopi ke Oman, dan pertengahan tahun ini ada permintaan dari Korea Selatan Rusia. Sekarang saya mulai menyetok lagi untuk penuhi gudang di Jakarta” kata Rudy.
Kopi Pagaralam yang berjenis robusta ini dinilai memiliki cita rasa yang unggul berupa ‘strong bitter’.
Rasa pahit yang unik ini didapatkan Kopi Pagaralam karena lokasi penanaman di ketinggian 1.000-1.4000 mdpl, yang berdampingan dengan jenis tanaman lain yakni cengkih, kayu manis, dan petai.
Sebagaimana diketahui bahwa tanaman kopi itu menyerap saripati tanaman yang ada di sekitarnya.
Bagi eksportir, Kopi Pagaralam ini sangat menjanjikan. Bukan hanya karena keunggulan dari cita rasanya tapi juga dari sisi volume produksinya yang relatif banyak.
Kota Pagaralam, Sumsel, yang berada di kaki Gunung Dempo dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan produksi 12.782 ton per tahun dari total luas lahan 8.327 hektare berdasarkan data BPS Sumsel.
“Artinya jika mau digarap dengan serius untuk sisi ekspor, maka Kopi Pagaralam yang paling tepat. Sudah dapat pengakuan internasional dan dari skala jumlah juga memenuhi. Begitu juga dengan kualitas, karena sudah banyak petani yang beralih dari kopi asalan ke premium,” kata dia.
Kristian Tri Purnomo (38), petani kopi asal Pagaralam mengatakan dirinya saat ini menyasar pasar ekspor biji kopi premium yang menawarkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar lokal.
Harga biji kopi (green bean) untuk pasar premium dipatok pembeli sekitar Rp34.000 per kilogram, sementara untuk pasar lokal jenis kopi asalan (petik pelangi) hanya Rp19.000 per kilogram.
Bahkan saat ini muncul produk baru yakni kopi asalan tapi disortir dengan harga Rp23.000 per kilogram sejak adanya permintaan produk premium.
“Ada perbedaan yang cukup jauh sehingga saat ini banyak petani yang tertarik,” kata dia.
Hanya saja, belum seluruh petani kopi di Pagaralam mau menjual produk premium lantaran mereka harus mengubah kebiasaan dalam kegiatan setelah panen.
Pembeli menerapkan aturan yang cukup ketat terkait kegiatan usai panen ini mengingat produk biji kopi ini akan diekspor ke luar negeri.
“Harus hiegenis, mulai dari harus petik merah, jemurnya 30 hari lamanya, hingga tidak boleh jemur di tanah atau di atas jalan beraspal. Harus di atas para-para (balai-balai tempat menjemur yang berjarak 70 cm dari tanah,” kata dia.
Asisten I Pemerintah Kota Pagaralam mengatakan pemerintah berupaya menggandeng banyak pihak untuk mengangkat kopi Pagaralam ini agar naik kelas, hingga menembus pasar ekspor.
Saat ini produktivitas lahan kopi di Pagaralam masih terbilang rendah yakni rata-rata 900 kilogram per hektare per tahun atau belum mencapai satu ton per hektare. Sementara, negara pesaing seperti Vietnam, yang kini telah mencapai tiga ton per hektare per tahun.
“Saat ini sudah ada yang melakukan kegiatan ekspor, tapi masih dalam porsi kecil. Ke depan kami akan mendorong agar volume ekspor bisa ditingkatkan lagi,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022