Kupang (Antara) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan tragedi tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009, perlahan-lahan mulai membunuh para petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur.

Hal ini dikatakan Tanoni kepada pers Australia di Kupang, Senin, setelah menelusuri kisah kematian Felipus Liman (67), salah seorang petani rumput laut di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Sabtu (26/4) dini hari.

Menurut penjelasan Ny Maria Liman Mulik (64), isteri almarhum, disekujur tubuh suaminya, muncul bintik-bintik merah dan di bagian kepalanya muncul seperti lubang-lubang luka bekas tikaman garpu, serta darah mengalir di bagian hidungnya ketika jazadnya sudah kaku.

"Pada Sabtu (26/4) dini hari itu, saya membangunkannya untuk melaut melihat olahan rumput laut di perairan sekitar desa itu. Namun, saat itu, badanya terasa begitu dingin dan perlahan-lahan mulai kaku kemudian muncul bintik-bintik merah," katanya kepada pers Australia yang sempat berkunjung ke rumah duka di Desa Lifuleo.

"Kami tidak tahu apa penyebabnya, karena waktu pulang melaut pada Jumat (25/4) sore menjelang malam, bapak (almarhum) dalam keadaan sehat-sehat. Bapak sempat menonton TV kemudian tidur," kata Ny Maria mengenang.

Ia menambahkan ketika hendak dimakamkan pada Minggu (27/4), jazadnya perlahan-lahan hancur, tulang tangan dan kaki mulai terlepas dari badan sehingga membuat semua keluarga bertambah bingung.

"Saya kemudian mengambil inisiatif memasukan jazadnya ke dalam kantong jenazah untuk dimakamkan, karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus bertahan dalam peti mayat," tambah Zakarias Doro, Kepala Desa Tablolong.

Menurut dia, tragedi kematian yang dialami Felipus Liman itu merupakan yang pertama kalinya terjadi, sehingga membuat masyarakat Desa Lifuleo dan Tablolong tanda tanya besar.

"Ratusan orang datang melayat pada saat pemakaman di hari Minggu itu untuk melihat dari dekat penyakit "aneh" yang dialami Felipus Liman sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir," katanya.

Maria Liman Mulik, ibu empat orang putra itu menambahkan suaminya tidak pernah mengeluh apapun soal penyakit yang dialaminya, kecuali gatal-gatal seperti yang dialami oleh para petani rumput laut lainnya di desa tersebut.

"Biasanya kami berobat di puskesmas pembantu Lifuleo, dan menurut para medis bahwa penyakit gatal-gatal tersebut akibat terkena air laut yang kotor di sekitar wilayah budidaya rumput laut," tambah Max Lay, menantu almarhum yang juga mantan Kepala Desa Lifuleo.

Menurut dia, penyakit gatal-gatal tersebut mulai dirasakan para petani rumput laut di desa tersebut sejak 2010, padahal usaha budidaya rumput laut itu sudah dilakukan sejak 2002.

"Sebelum tahun 2010, kami tidak pernah mengalami gatal-gatal dan masyarakat petani begitu bergairah untuk membudidayakan rumput laut karena panenannya sangat fantastis sampai membangun rumah mereka dari tembok dengan hasil dari penjualan rumput laut," ujarnya.

Namun, setelah 2010, kata dia, masyarakat sudah tidak bergairah lagi untuk membudidayakan rumput laut, karena tanaman "emas hijau" itu terus diserang penyakit sampai mengakibatkan para petani rumput laut juga terserang penyakit gatal-gatal.

"Dari sekitar 100 lebih petani rumput laut di desa tersebut, kini tinggal sekitar 10 orang, termasuk di antaranya Felipus Liman yang menemui ajalnya secara misterius yang belum diketahui penyebabnya sampai saat ini," kata Max Lay.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menduga kuat penyakit gatal-gatal yang dialami para petani rumput laut sampai mengakibatkan salah seorang petani di antaranya mati secara misterius, merupakan dampak dari meledaknya kilang minyak Montara yang mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor.

Berdasarkan hasil penelitian dari sejumlah ahli di Australia, kilang minyak Montara milik operator minyak PTTEP Australasia dari Thailand itu tidak hanya memuntahkan minyak mentah ke Laut Timor, tetapi juga disertai dengan zat beracun lainnya yang ikut menghancurkan ekologi serta ekosistem laut di sekitarnya yang merupakan habitatnya ikan-ikan dasar.

Kondisi ini diperparah lagi dengan aksi penyemprotan dispersant oleh Otorita Keselamatan Maritim Australia (AMSA) untuk menemgelamkan tumpahan minyak ke dasar laut.

"Saya menduga kuat, misteri kematian yang dialami salah seorang petani rumput laut di desa Lifuleo itu, karena wilayah perairan sekitarnya sudah terkontaminasi dengan zat-zat beracun yang dimuntahkan Montara serta yang disemprotkan oleh AMSA," katanya dengan merujuk pada kasus pencemaran minyak dari kapal tanker Exxon Valdez di Teluk Alaska, AS pada 1989.

Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu menambahkan meskipun kasus pencemaran di Teluk Alaska itu terjadi hampir 20 tahun lalu, namun dampaknya baru dirasakan oleh masyarakat sekitarnya lima tahun kemudian dan sampai sekarang.

"Atas dasar itu, saya menduga kuat bahwa penyakit gatal-gatal yang dialami para petani rumput laut di Kupang Barat saat ini merupakan dampak langsung dari tragedi Montara yang mencemari Laut Timor yang sampai saat ini belum juga ditangani secara serius oleh pemerintah Australia dan Indonesia," demikian Ferdi Tanoni.***3*** 

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014