Masyarakat adat Badui baik itu Badui Dalam maupun Badui Luar yang terdapat di Desa Kanekes, Kacamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten sangat taat terhadap aturan atau ketetapan (pikukuh) adat yang diwariskan turun-temurun secara lisan serta sangat menjaga toleransi.
Pemerhati masyarakat adat Badui M Iwan Subakti di Serang, Rabu, mengatakan sikap toleransi yang dimiliki masyarakat Badui bertumbuh dan berkembang dari nilai "environmental balance" (keseimbangan ekologi/alam) yang mereka anuti dan taati berdasarkan pikukuh adat yang telah diajarkan secara turun-temurun.
"Keseimbangan alam itu tidak hanya terkait hubungan antara manusia dengan alam sekitar tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia. Di mata orang Badui, semua manusia sama. Mereka tidak pernah membedakan manusia berdasarkan suku, agama, ras dan lain-lain," kata Iwan.
Menurutnya, masyarakat Badui sangat terbuka menerima siapa pun yang datang ke Badui, tanpa pernah menanyakan latar belakang agama dan lain-lain.
Salah satu contoh konkret sikap toleransi masyarakat Badui, kta dia, adalah keberadaan Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Kampung Cicakal Girang berada di dalam kawasan Badui. Semua warga di kampung tersebut beragama islam, dan di kampung itu ada masjid.
"Umat islam yang berada di kawasan Badui ini sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat adat Badui dan mereka saling menghargai. Tidak ada friksi sama sekali. Bahkan warga Badui yang akan melangsungkan pernikahan secara sipil (negara) datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Kampung Cicakal Girang, dan mereka membacakan syahadat islam. Bagi masyarakat Badui hal itu tidak menjadi masalah karena itu merupakan urusan sebagai warga negara, berbeda dengan urusan adat yang mereka anuti," kata Iwan.
Tidak hanya itu, kata Iwan, wisatawan atau orang yang berkunjung ke Badui dapat menjalankan kewajiban agamanya masing-masing dan tidak pernah dilarang oleh orang Badui.
"Orang islam yang mau melakukan salat di rumah warga Badui tidak pernah dilarang, bahkan mereka mengingatkan untuk salat bagi pengunjung beragama islam. Jadi, kalau soal toleransi, kita perlu banyak belajar dari masyarakat Badui. Karena dalam ajaran pikukuh adat mereka, sangat menjunjung tinggi sikap saling menghormati antarsesama manusia dan juga alam sekitar," kata Iwan.
Iwan mengatakan, pikukuh Badui adalah sebuah larangan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Badui yang berlandaskan pada ajaran Sunda Wiwitan.
"Masyarakat Badui tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan," katanya.
Segala aktivitas masyarakat Badui harus berlandaskan rukun kepercayaan Sunda Wiwitan (rukun Badui) yang merupakan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan yaitu ngukus (membakar kemenyan), ngawalu (ungkapan rasa syukur dengan berpuasa), muja ngalaksa (membawa padi ke lumbung), ngalanjak (berburu), ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.
Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un. Pu’un harus dihormati dan diikuti segala aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.
Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Badui. Hingga kini pikukuh Badui tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.
Buyut adalah segala sesuatu yang melanggar pikukuh. Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Badui dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya.
Pikukuh Badui mengatur juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Badui yakni lembaga adat Badui dipimpin oleh tiga orang Pu'un.
Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga kampung keramat di Badui Dalam, yaitu Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.
Pu'un adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak sebagai panduan perilaku.
Selain itu juga, ketentuan adat dalam masyarakat Badui yaitu larangan adat yang merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar.
Isi larangan adat masyarakat Badui tersebut diantaranya, dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase. Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah, dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon dan dilarang menggunakan teknologi kimia.
"Kelima, dilarang menanam budidaya perkebunan. Keenam, dilarang memelihara binatang berkaki empat semisal kambing dan kerbau, dilarang berladang sembarangan dan ke delapan, dilarang berpakaian sembarangan," kata Iwan.
Kuat dan kokohnya keyakinan masyarakat Badui pada pikukuh adat, tisak memunculkan sikap intoleransi pada keberadaan keyakinan selain yang mereka yakini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Ketaatan adat dan toleransi masyarakat badui perlu ditiru
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022
Pemerhati masyarakat adat Badui M Iwan Subakti di Serang, Rabu, mengatakan sikap toleransi yang dimiliki masyarakat Badui bertumbuh dan berkembang dari nilai "environmental balance" (keseimbangan ekologi/alam) yang mereka anuti dan taati berdasarkan pikukuh adat yang telah diajarkan secara turun-temurun.
"Keseimbangan alam itu tidak hanya terkait hubungan antara manusia dengan alam sekitar tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia. Di mata orang Badui, semua manusia sama. Mereka tidak pernah membedakan manusia berdasarkan suku, agama, ras dan lain-lain," kata Iwan.
Menurutnya, masyarakat Badui sangat terbuka menerima siapa pun yang datang ke Badui, tanpa pernah menanyakan latar belakang agama dan lain-lain.
Salah satu contoh konkret sikap toleransi masyarakat Badui, kta dia, adalah keberadaan Kampung Cicakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Kampung Cicakal Girang berada di dalam kawasan Badui. Semua warga di kampung tersebut beragama islam, dan di kampung itu ada masjid.
"Umat islam yang berada di kawasan Badui ini sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat adat Badui dan mereka saling menghargai. Tidak ada friksi sama sekali. Bahkan warga Badui yang akan melangsungkan pernikahan secara sipil (negara) datang ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Kampung Cicakal Girang, dan mereka membacakan syahadat islam. Bagi masyarakat Badui hal itu tidak menjadi masalah karena itu merupakan urusan sebagai warga negara, berbeda dengan urusan adat yang mereka anuti," kata Iwan.
Tidak hanya itu, kata Iwan, wisatawan atau orang yang berkunjung ke Badui dapat menjalankan kewajiban agamanya masing-masing dan tidak pernah dilarang oleh orang Badui.
"Orang islam yang mau melakukan salat di rumah warga Badui tidak pernah dilarang, bahkan mereka mengingatkan untuk salat bagi pengunjung beragama islam. Jadi, kalau soal toleransi, kita perlu banyak belajar dari masyarakat Badui. Karena dalam ajaran pikukuh adat mereka, sangat menjunjung tinggi sikap saling menghormati antarsesama manusia dan juga alam sekitar," kata Iwan.
Iwan mengatakan, pikukuh Badui adalah sebuah larangan adat yang menjadi pedoman bagi aktivitas masyarakat Badui yang berlandaskan pada ajaran Sunda Wiwitan.
"Masyarakat Badui tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan," katanya.
Segala aktivitas masyarakat Badui harus berlandaskan rukun kepercayaan Sunda Wiwitan (rukun Badui) yang merupakan ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan yaitu ngukus (membakar kemenyan), ngawalu (ungkapan rasa syukur dengan berpuasa), muja ngalaksa (membawa padi ke lumbung), ngalanjak (berburu), ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka.
Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un. Pu’un harus dihormati dan diikuti segala aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.
Pikukuh ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktivitas-aktivitas religi masyarakat Badui. Hingga kini pikukuh Badui tidak mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.
Buyut adalah segala sesuatu yang melanggar pikukuh. Buyut tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam tindakan sehari-hari masyarakat Badui dalam berinteraksi dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya.
Pikukuh Badui mengatur juga mengenai kelembagaan yang ada di dalam masyarakat Badui yakni lembaga adat Badui dipimpin oleh tiga orang Pu'un.
Ketiga pimpinan tertinggi ini berasal dari tiga kampung keramat di Badui Dalam, yaitu Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana.
Pu'un adalah orang suci keturunan karuhun (leluhur) yang berkewajiban menjaga kelestarian pancer bumi dan sanggup menuntun warganya berpedoman pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak sebagai panduan perilaku.
Selain itu juga, ketentuan adat dalam masyarakat Badui yaitu larangan adat yang merupakan pedoman dan pandangan hidup yang harus dijalankan secara benar.
Isi larangan adat masyarakat Badui tersebut diantaranya, dilarang mengubah jalan air seperti membuat kolam ikan atau drainase. Dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur atau meratakan tanah, dilarang masuk ke hutan titipan untuk menebang pohon dan dilarang menggunakan teknologi kimia.
"Kelima, dilarang menanam budidaya perkebunan. Keenam, dilarang memelihara binatang berkaki empat semisal kambing dan kerbau, dilarang berladang sembarangan dan ke delapan, dilarang berpakaian sembarangan," kata Iwan.
Kuat dan kokohnya keyakinan masyarakat Badui pada pikukuh adat, tisak memunculkan sikap intoleransi pada keberadaan keyakinan selain yang mereka yakini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Ketaatan adat dan toleransi masyarakat badui perlu ditiru
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2022