Produk kerajinan tangan berbahan dasar tanaman eceng gondok suksea menembus pasar mancanegara. Kerajinan tersebut merupakan karya para ibu rumah tangga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Mashana, perajin yang mulai menggeluti dunia anyam eceng gondok sejak beberapa tahun lalu, kini mampu menghasilkan tas, tikar, tempat tisu, dan lainnya. Semua terbuat dari eceng gondok.
Meski dikerjakan dari rumah, hasil karya Mashana telah dipasarkan ke beberapa negara seperti Vietnam, Mesir, Afrika Selatan, Finlandia, dan Malaysia melalui Rumah Anyam Mandiri Makassar.
Perempuan asal Kabupaten Bone itu mengaku bangga karena hasil karyanya telah menembus pasar internasional. Meski diakui pada awalnya tidak mudah menghasilkan produk berbahan baku eceng gondok, sebab harus melibatkan sejumlah pihak, terkadang bahan bakunya pun terbatas.
Dalam sehari, Mashana, akrab disapa Yuli, mampu menghasilkan dua produk anyam dengan ukuran sederhana tanpa mengganggu rutinitas harian sebagai ibu dari tiga anak.
Bekerja sebagai perajin eceng gondok dianggap sebagai anugerah karena tidak semua IRT bisa melakoninya, apalagi aktivitas ini terbilang produktif sebab hasilnya mampu menopang ekonomi keluarga.
"Alhamdulillah, hasil kerajinan ini menopang keuangan dan santai saja kerjanya. Setelah pekerjaan rumah tangga selesai, kami kembali lagi menganyam," ujar Yuli.
Apalagi saat mendapat pesanan, ia langsung menerima bayaran tanpa ditunda-tunda. Yuli pernah mengantongi sekitar Rp800 ribu dalam jangka waktu tiga pekan. Ia menerima pesanan, namun tidak menggangu tanggung jawab utamanya mengurus rumah tangga.
Kendati pendapatan dari aktivitas menganyam tanaman eceng gondok tidak menentu, aktivitas tersebut membuatnya senang dengan hasil yang diterimanya.
Selain Mashana atau Yuli, ada pula Hafsah yang telah menjadi perajin eceng gondok sejak 2015. Sebagai perajin, Hafsah patut berbangga karena hasil karyanya telah dinikmati oleh banyak orang, bukan hanya di Indonesia namun hingga ke luar negeri.
"Kami bangga sebagai perajin karena eceng gondok merupakan tanaman liar yang mengganggu. Akan tetapi dari tanaman ini kami bisa olah menjadi produk bernilai," kata dia.
Meski permintaan dari luar negeri belum bisa diterima dalam jumlah besar, ratusan pesanan telah berhasil dikerjakan bersama belasan perajin lainnya.
Sebagai orang tua tunggal, pekerjaan menjadi perajin telah berhasil membantu perekonomian keluarga, khususnya dalam menopang biaya pendidikan keempat anaknya.
Selain menganyam, Hafsah juga mengerjakan tahap-tahap penyelesaian produk seperti proses menjahit, membuat tali, lem tali tas, hingga proses finishing lainnya. Pekerjaan ini bisa menghasilkan upah sekitar Rp2 juta per bulan.
Lakon sebagai perajin semakin disyukuri tatkala pandemi menyerang. Hafsah tidak begitu merasakan dampak COVID-19 terhadap aktivitasnya menganyam, bahkan produk seperti pot bunga terbilang sangat laris pada masa pandemi. Orderan juga meningkat.
Menurut Hafsah, pemasaran produk eceng gondok tidak lepas dari sejumlah mitra yang menggandeng para perajin untuk memberikan pendampingan, salah satunya Rumah BUMN BRI, yang turut memfasilitasi para UMKM ikut pameran.
"Saat pameran, BRI sering kali membawa tamu-tamunya ke gerai dan pasti mereka membeli produk kami. Kita juga tidak jarang diberi masukan untuk peningkatan kualitas produk," kata dia.
Meski produk telah dikenal dan merambah pasar mancanegara, para perajin mengaku masih membutuhkan ide-ide kreatif untuk mengembangkan eceng gondok sebagai produk yang mewah dan unik.
SDM terbatas
Jika tanaman eceng gondok sebagai tanaman liar kerap mengganggu, tidak bagi Elsa selaku Pemilik Rumah Anyam Mandiri dan belasan perajin, yang merupakan ibu rumah tangga.
Hanya, keterbatasan SDM mengharuskannya sebagai UMKM yang menaungi Yuli dan Hafsah, kadang harus menolak pesanan, apalagi dalam jumlah yang besar.
Saat ini, perajin yang masih aktif di Rumah Anyam Mandiri tersisa delapan orang, yang didominasi oleh ibu rumah tangga.
Selain SDM terbatas, kendala lainnya ialah sulitnya memperoleh bahan baku karena beberapa pengepul eceng gondok tidak lagi aktif. Jadi, kadang mereka harus membeli dari Jawa untuk memenuhi pesanan.
Walakin, hal tersebut tidak membuat Elsa kehabisan akal. Ia terus melakukan pemberdayaan hingga ke kaum milenial, agar mereka tertarik menjadi perajin.
Bagi Elsa, kerajinan eceng gondok bisa maju seperti sekarang ini tak terlepas dari pendampingan Pemerintah Kota Makassar dan mitra lainnya sehingga mereka mampu menciptakan peluang kerja dalam meningkatkan perekonomian usaha kerajinan eceng gondok.
Elsa mengakui bahwa usaha kerajinan eceng gondok butuh komitmen yang kuat agar tetap bisa bertahan di bisnis ini.
Awalnya, rintisan usahanya tidak terlalu dilirik bahkan ada penolakan terhadap produknya. Hal itu kerap dialami Elsa sejak menggeluti peran sebagai perajin tanaman eceng gondok pada 2015.
Namun berkat kerja kerasnya, ia berhasil memberdayakan belasan ibu rumah tangga untuk berkarya dari rumah. Sukses ini sekaligus menepis label IRT yang hanya mengurus persoalan rumah tangga.
Dari sektor ekonomi, bisnis Elsa mencatat omzet hingga Rp35 juta lebih per bulan atau mampu sekitar Rp300 juta lebih dalam setahun.
Meski belum melakukan ekspor dengan jumlah besar, ia telah memenuhi permintaan dari Finlandia sebanyak 10 produk kerajinan. Selain itu, juga telah mengirim sampel ke beberapa negara lain, yakni Vietnam, Kairo, Malaysia, dan Afrika Selatan.
Harapan Elsa ke depan, apa yang dicita-citakan untuk memberdayakan sesama bisa dimudahkan. Kerja bisa lebih besar lagi sampai membumikan kerajinan dari eceng gondok ini.
Sebagai mitra bank BUMN tersebut, Elsa juga menghendaki mitranya itu bisa memfasilitasi untuk melakukan studi banding guna meningkatkan kualitas produk agar bisa merambah lebih banyak negara.
Bukan tanpa alasan, Elsa pernah menemui komentar bahwa produk yang ia punya juga ada di Thailand dengan tampilan lebih mulus dan bagus sebab dibuat menggunakan mesin.
Maka dari itu, Elsa bersama perajin lain tidak patah semangat.
Sebagai ibu rumah tangga, mereka mengharapkan ada pengembangan SDM bagi perajin eceng gondok, agar wawasannya lebih luas sehingga bisa menghasilkan beragam varian produk dan peningkatan kualitas.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023
Mashana, perajin yang mulai menggeluti dunia anyam eceng gondok sejak beberapa tahun lalu, kini mampu menghasilkan tas, tikar, tempat tisu, dan lainnya. Semua terbuat dari eceng gondok.
Meski dikerjakan dari rumah, hasil karya Mashana telah dipasarkan ke beberapa negara seperti Vietnam, Mesir, Afrika Selatan, Finlandia, dan Malaysia melalui Rumah Anyam Mandiri Makassar.
Perempuan asal Kabupaten Bone itu mengaku bangga karena hasil karyanya telah menembus pasar internasional. Meski diakui pada awalnya tidak mudah menghasilkan produk berbahan baku eceng gondok, sebab harus melibatkan sejumlah pihak, terkadang bahan bakunya pun terbatas.
Dalam sehari, Mashana, akrab disapa Yuli, mampu menghasilkan dua produk anyam dengan ukuran sederhana tanpa mengganggu rutinitas harian sebagai ibu dari tiga anak.
Bekerja sebagai perajin eceng gondok dianggap sebagai anugerah karena tidak semua IRT bisa melakoninya, apalagi aktivitas ini terbilang produktif sebab hasilnya mampu menopang ekonomi keluarga.
"Alhamdulillah, hasil kerajinan ini menopang keuangan dan santai saja kerjanya. Setelah pekerjaan rumah tangga selesai, kami kembali lagi menganyam," ujar Yuli.
Apalagi saat mendapat pesanan, ia langsung menerima bayaran tanpa ditunda-tunda. Yuli pernah mengantongi sekitar Rp800 ribu dalam jangka waktu tiga pekan. Ia menerima pesanan, namun tidak menggangu tanggung jawab utamanya mengurus rumah tangga.
Kendati pendapatan dari aktivitas menganyam tanaman eceng gondok tidak menentu, aktivitas tersebut membuatnya senang dengan hasil yang diterimanya.
Selain Mashana atau Yuli, ada pula Hafsah yang telah menjadi perajin eceng gondok sejak 2015. Sebagai perajin, Hafsah patut berbangga karena hasil karyanya telah dinikmati oleh banyak orang, bukan hanya di Indonesia namun hingga ke luar negeri.
"Kami bangga sebagai perajin karena eceng gondok merupakan tanaman liar yang mengganggu. Akan tetapi dari tanaman ini kami bisa olah menjadi produk bernilai," kata dia.
Meski permintaan dari luar negeri belum bisa diterima dalam jumlah besar, ratusan pesanan telah berhasil dikerjakan bersama belasan perajin lainnya.
Sebagai orang tua tunggal, pekerjaan menjadi perajin telah berhasil membantu perekonomian keluarga, khususnya dalam menopang biaya pendidikan keempat anaknya.
Selain menganyam, Hafsah juga mengerjakan tahap-tahap penyelesaian produk seperti proses menjahit, membuat tali, lem tali tas, hingga proses finishing lainnya. Pekerjaan ini bisa menghasilkan upah sekitar Rp2 juta per bulan.
Lakon sebagai perajin semakin disyukuri tatkala pandemi menyerang. Hafsah tidak begitu merasakan dampak COVID-19 terhadap aktivitasnya menganyam, bahkan produk seperti pot bunga terbilang sangat laris pada masa pandemi. Orderan juga meningkat.
Menurut Hafsah, pemasaran produk eceng gondok tidak lepas dari sejumlah mitra yang menggandeng para perajin untuk memberikan pendampingan, salah satunya Rumah BUMN BRI, yang turut memfasilitasi para UMKM ikut pameran.
"Saat pameran, BRI sering kali membawa tamu-tamunya ke gerai dan pasti mereka membeli produk kami. Kita juga tidak jarang diberi masukan untuk peningkatan kualitas produk," kata dia.
Meski produk telah dikenal dan merambah pasar mancanegara, para perajin mengaku masih membutuhkan ide-ide kreatif untuk mengembangkan eceng gondok sebagai produk yang mewah dan unik.
SDM terbatas
Jika tanaman eceng gondok sebagai tanaman liar kerap mengganggu, tidak bagi Elsa selaku Pemilik Rumah Anyam Mandiri dan belasan perajin, yang merupakan ibu rumah tangga.
Hanya, keterbatasan SDM mengharuskannya sebagai UMKM yang menaungi Yuli dan Hafsah, kadang harus menolak pesanan, apalagi dalam jumlah yang besar.
Saat ini, perajin yang masih aktif di Rumah Anyam Mandiri tersisa delapan orang, yang didominasi oleh ibu rumah tangga.
Selain SDM terbatas, kendala lainnya ialah sulitnya memperoleh bahan baku karena beberapa pengepul eceng gondok tidak lagi aktif. Jadi, kadang mereka harus membeli dari Jawa untuk memenuhi pesanan.
Walakin, hal tersebut tidak membuat Elsa kehabisan akal. Ia terus melakukan pemberdayaan hingga ke kaum milenial, agar mereka tertarik menjadi perajin.
Bagi Elsa, kerajinan eceng gondok bisa maju seperti sekarang ini tak terlepas dari pendampingan Pemerintah Kota Makassar dan mitra lainnya sehingga mereka mampu menciptakan peluang kerja dalam meningkatkan perekonomian usaha kerajinan eceng gondok.
Elsa mengakui bahwa usaha kerajinan eceng gondok butuh komitmen yang kuat agar tetap bisa bertahan di bisnis ini.
Awalnya, rintisan usahanya tidak terlalu dilirik bahkan ada penolakan terhadap produknya. Hal itu kerap dialami Elsa sejak menggeluti peran sebagai perajin tanaman eceng gondok pada 2015.
Namun berkat kerja kerasnya, ia berhasil memberdayakan belasan ibu rumah tangga untuk berkarya dari rumah. Sukses ini sekaligus menepis label IRT yang hanya mengurus persoalan rumah tangga.
Dari sektor ekonomi, bisnis Elsa mencatat omzet hingga Rp35 juta lebih per bulan atau mampu sekitar Rp300 juta lebih dalam setahun.
Meski belum melakukan ekspor dengan jumlah besar, ia telah memenuhi permintaan dari Finlandia sebanyak 10 produk kerajinan. Selain itu, juga telah mengirim sampel ke beberapa negara lain, yakni Vietnam, Kairo, Malaysia, dan Afrika Selatan.
Harapan Elsa ke depan, apa yang dicita-citakan untuk memberdayakan sesama bisa dimudahkan. Kerja bisa lebih besar lagi sampai membumikan kerajinan dari eceng gondok ini.
Sebagai mitra bank BUMN tersebut, Elsa juga menghendaki mitranya itu bisa memfasilitasi untuk melakukan studi banding guna meningkatkan kualitas produk agar bisa merambah lebih banyak negara.
Bukan tanpa alasan, Elsa pernah menemui komentar bahwa produk yang ia punya juga ada di Thailand dengan tampilan lebih mulus dan bagus sebab dibuat menggunakan mesin.
Maka dari itu, Elsa bersama perajin lain tidak patah semangat.
Sebagai ibu rumah tangga, mereka mengharapkan ada pengembangan SDM bagi perajin eceng gondok, agar wawasannya lebih luas sehingga bisa menghasilkan beragam varian produk dan peningkatan kualitas.
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2023