Mukomuko (Antara) - Anggapan bahwa berkebun kelapa sawit lebih menguntungkan ketimbang bersawah, ternyata tidak sepenuhnya benar.

Petani kebun kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, saat ini justru sebaliknya, mereka memilih untuk untuk bersawah.

Petani di Satuan Pemukiman (SP) V dan SP VIII misalnya. Petani di wilayah itu rela mengorbankan ratusan hingga ribuan batang tanaman kelapa sawitnya asalkan lahan itu bisa menjadi sawah.

Perubahan sikap para petani setempat itu masih terbilang wajar karena menurut hitungan mereka bersawah lebih menguntungkan ketimbang bekebun kelapa sawit.

"Sejumlah petani di SP V, Kecamatan Air Manjuto, Kabupaten Mukomuko, mengalihfungsikan lahan seluas 40 hektare kebun kelapa sawitnya untuk dijadikan sawah," kata Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan (DP3K) Kabupaten Mukomuko Edy Apriyanto.

Ia menyebutkan, di SP V tanaman kelapa sawit dibongkar menggunakan alat berat dengan luas 40 hektare.

Petani membongkar tanaman kelapa sawitnya karena ingin mengusulkan lahannya itu menjadi sawah melalui program optimasi lahan (Opl) yang merupakan program stimulan dari pemerintah pusat.

Selain itu, lanjutnya, petani bersedia mengalihfungsikan tanaman kelapa sawitnya menjadi areal persawahan karena air irigasi direncanakan masuk ke lahannya.

"Petani yang menanam kelapa sawit di kawasan irigasi teknis itu saat ini mulai menyadari kalau menanam padi lebih menguntungkan dibandingkan tanaman kelapa sawit," ujarnya.

Apalagi, kata dia, sejumlah petani yang menanam padi sawah di kawasan itu pernah menghasilkan gabah kering giling (GKG) mencapai 10 ton per hektare bahkan ada yang sampai 12 ton per hektare.

Menurut dia, jangankan 10 ton per hektare, hasil panen enam ton per hektare selama empat bulan lebih besar keuntungannya dari pada hasil panen sawit dua kali panen dalam satu bulan.

"Kalau enam ton saja hasil panen padi sawah di lahan satu hektare, petani mendapatkan sebesar Rp19 juta setiap panen per empat bulan. 

Sedangkan hasil dari tanaman kelapa sawit dalam satu hektare untuk dua kali panen per bulan cuma dapat Rp2 juta dengan asumsi harga yang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit Rp1.000 per kilogram," ujarnya.

Dikatakannya, tidak hanya seluas 40 hektare saja lahan perkebunan kelapa sawit petani yang akan beralihfungsi di kawasan irigasi teknis tersebut, masih ada 2.000 hektare lagi lahan sawit di kawasan itu yang berpeluang beralihfungsi menjadi sawah.

Ia menerangkan, dari seluas 2.000 hektare lahan perkebunan sawit di kawasan irigasi Air Manjuto itu, sekitar 10 - 15 persen di antaranya berpeluang menjadi sawah karena pemiliknya bersedia mengalihfungsikan lahan perkebunannya. 



Bangun Irigasi 

Edy Apriyanto mengatakan, tahun ini pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk membangun jaringan irigasi dengan target lahan persawahan seluas 9.130 hektare di daerah itu.

"Jaringan irigasi itu akan dibangun tersebar di sejumlah wilayah yang menjadi sentra pertanian pangan di daerah ini," ujarnya.

Sedangkan sumber anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi ini dari APBN 2015 dalam bentuk dana bantuan sosial (bansos) atau dana stimulan.

Sehingga pelaksanaan pembangunan ini dikerjakan secara swadaya oleh kelompok tani, gabungan kelompok tani, atau gabungan petani pemakai air di daerah itu.

"Kegiatan ini kita berikan kepada kelompok petani yang punya semangat partisipatif dan yang selama ini mereka rutin memakai air irigasi," ujarnya. 

Selain itu, sebutnya, sasaran pembangunan ini di jaringan irigasi yang mengairi lahan persawahan yang memungkinkan untuk ditingkatkan produktifitasnya.

Sedangkan, sebutnya, anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi tersebut sebesar Rp1,1 juta per hektare.

Ia menjelaskan, bentuk kegiatan pembangunan jaringan irigasi ini berupa peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada, rehab yang rusak, dan penambahan panjang saluran irigasi. 

Ia menerangkan, kabupaten itu menjadi sasaran dalam pengembangan jaringan irigasi terbesar di Provinsi Bengkulu karena Mukomuko memiliki irigasi Manjuto bendungan tersebar. 

Sebelumnya, katanya, pemerintah pusat menawarkan pembangunan jaringan irigasi untuk mengairi seluas 18.000 hektare, namun di daerah itu tidak lahan seluas itu.



Optimasi Lahan

Selain itu pemerintah setempat memprogramkan optimasi lahan persawahan dalam kawasan irigasi teknis di daerah itu seluas 2.000 hektare.

Edy mengatakan, anggaran program ini tidak bisa digunakan untuk melakukan optimasi lahan perkebunan kelapa sawit yang berada dalam kawasan irigasi.

"Kalau dalam juknis lahan persawahan yang masih memungkinkan. Jadi tidak bisa digunakan untuk lahan perkebunan kelapa sawit," ujarnya.

Menurutnya, kalau petani ingin merefungsi lahan perkebunan kelapa sawitnya dalam kawasan irigasi teknis menjadi sawah, maka petani itu sendiri yang mengeluarkan biaya tebang tebas tanaman kelapa sawit dan pengelolaannya.

Ia menerangkan, program optimasi lahan persawahan di daerah itu dilaksanakan secara bertahap, pertama seluas 1000 hektare dan di APBN perubahan dapat lagi seluas 1000 hektare.

Sasaran program optimasi lahan itu kawasan potensi tanaman pangan di daerah itu, yakni Kecamatan XIV Koto, Kecamatan V Koto, Kecamatan Lubuk Pinang, Kecamatan Air Manjuto, Kecamatan Selagan Raya, Teramang Jaya, Kecamatan Penarik, Kecamatan Ipuh, dan Kecamatan Malin Deman.

Ia mengatakan, program dari Kementerian Pertanian melalui Ditjen PSP ini dilaksanakan dengan sistem bantuan sosial (Bansos) bansos, program ini sifatnya sekedar dana stimulus.

Sehingga, lanjutnya, program optimasi lahan itu dilaksanakan secara swadaya oleh kelompok dengan bantuan anggaran sebesar Rp1,2 juta per hektare sawah.



Giling Padi Sendiri

Untuk mendukung program swasembada pangan di daerah itu, Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Mukomuko tahun ini akan mengoperasikan kembali pabrik penggilingan padi modern di daerah itu. 

"Pabrik penggilingan padi modern akan kita operasikan lagi tahun ini," kata Kepala Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Mukomuko Sukiman.

Pabrik penggilingan padi di Desa Pondok Panjang itu dibangun oleh pemerintah setempat tahun 2016 dengan kapasitas sebanyak 20 ton per jam. 

Ia mengatakan, selama ini pabrik penggilingan padi modern tersebut dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD). Kini pemerintah setempat yang mengambil alih melalui BP2KP setempat.

Untuk mengoperasikannya, katanya, pemerintah setempat telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp1 miliar. Anggaran itu dimasukkan dalam kegiatan untuk ketahanan pangan di daerah itu.

Dengan anggaran sebesar itu, lanjutnya, sebesar Rp900 juta untuk modal membeli gabah kering panen (GKP) petani setempat. Sisanya untuk operasional dan gaji karyawan pabrik tersebut.

Untuk pengelolaan dan pengaturan manajemen pabrik selanjutnya, ia mengusulkan, agar diserahkan sepenuhnya kepada gabungan kelompok tani (gapoktan) di daerah itu.

"Kami mau buat telaah staf terlebih dahulu kepada bupati agar pengelolaan pabrik itu diserahkan kepada gapoktan," ujarnya.

Agar nantinya, katanya, gapoktan bisa mengumpulkan gabah kering panen dari petani dibantu oleh penyuluh pertanian.

Ia mengatakan, pabrik penggilingan padi modern ini tidak hanya menggiling gabah jadi beras, tetapi juga akan dibuatkan kemasan berasnya.

Pewarta: Oleh Ferri Arianto

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015