Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan bahwa Kejaksaan Agung menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan jabatan Jaksa Agung bukan dari pengurus partai politik (parpol).

"Kami menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat independensi kejaksaan sebagai aparat penegak hukum," kata Ketut di Jakarta, Jumat.

Meski demikian, lanjut Ketut, selama kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, penegakan hukum murni untuk kepentingan hukum.

Ketut menekankan bahwa penegakan hukum oleh kejaksaan selama kepemimpinan Sanitiar Burhanuddin selaku Jaksa Agung tanpa campur tangan politik.

"Sebagaimana yang telah berjalan selama ini di bawah kepemimpinan Jaksa Agung St. Burhanudin penegakan hukum yang dilakukan adalah murni kepentingan hukum tanpa adanya campur tangan politik," ujarnya.

Ketut yang juga menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Bali itu menyatakan bahwa putusan MK tersebut sekaligus juga memberikan kesempatan lebih luas bagi insan adhyaksa untuk dapat berkarier di posisi lebih tinggi, yakni sebagai Jaksa Agung.

"Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberikan motivasi dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat ke depannya untuk kepentingan penegakan hukum," kata Ketut.

Sejak berdiri 12 Agustus 1945 sampai sekarang, jabatan Jaksa Agung yang saat ini dipimpin Sanitiar Burhanuddin merupakan Jaksa Agung yang ke-24.

Jabatan Jaksa Agung dari pengurus partai sempat menuai pro dan kontra sejak Presiden RI Joko Widodo menunjuk Muhammad Prasetyo yang merupakan kader Partai NasDem.

Jabatan Jaksa Agung dari kalangan partai politik pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa periode 6 Juni 2001 sampai dengan 3 Juli 2001 dari Partai Golkar, kemudian Marzuki Darusman periode 29 Oktober 1999 s.d. 1 Juni 2001 merupakan seorang jaksa karier dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Adapun putusan MK tersebut tertuang dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024. Merupakan gugatan oleh serang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar, yang menggugat Undang-Undang Kejaksaan.

Dalam sidang pendahulu (1/2), pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945.

Dalam gugatannya pemohon menyebut keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jaksa Agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya. Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung.

Jaksa Agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya.

Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat "g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 tahun keluar dari keanggotaan partai politik, baik diberhentikan maupun mengundurkan diri" dalam Pasal 20 UU Kejaksaan

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Mahkamah menyatakan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, Pasal 20 UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f, termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024