Pemerintah Kabupaten Aceh Barat memastikan pemerintah dalam hal ini petugas pencatatan sipil, tidak bisa mencatatkan pernikahan dua pasangan etnis Rohingya yang telah melangsungkan pernikahan di penampungan Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat (17/5).
“Etnis Rohingya ini kan tidak punya dokumen kependudukan yang sah dan identitas resmi, sehingga tidak bisa dicatatkan pernikahan mereka meski mereka sudah menikah,” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Barat, Saijal Wahbi kepada ANTARA di Meulaboh, Selasa.
Baca juga: PM Bangladesh minta IOM cari sumber dana baru untuk Rohingya
Menurutnya, pencatatan pernikahan yang dilakukan oleh pemerintah di pencatatan sipil, hanya dilakukan bagi masyarakat non Muslim yang telah dilaksanakan oleh pemuka agama masing-masing.
Bagi masyarakat Muslim yang telah melangsungkan pernikahan secara resmi, maka pencatatan pernikahannya tetap dilakukan pencatatan nya di kantor urusan agama (KUA), yang ditandai dengan penerbitan buku nikah kepada masing-masing pasangan.
Namun, khusus bagi pencatatan pernikahan bagi warga berstatus pengungsi, kata dia, sejauh ini belum ada regulasi yang mengaturnya.
Baca juga: Warga blokir jalan ke penampungan imigran Rohingya
Saijal Wahbi menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Barat, tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pihaknya juga tidak bisa memberikan dokumen apa pun termasuk pencatatan pernikahan bagi etnis Rohingya, karena status kewarganegaraan etnis tersebut juga belum jelas, tidak ada dokumen kependudukan yang sah, serta tidak ada regulasi yang mengatur terkait pencatatan pernikahan bagi warga asing yang berstatus sebagai pengungsi di Indonesia, demikian Saijal Wahbi.
Sebelumnya, dua pasangan etnis Rohingya masing-masing Zainal Tullah dengan Azizah, dan Zahed Huseen dengan Rufias pada Jumat (17/5/2024) telah melangsungkan pernikahan di penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat di Meulaboh.
Prosesi ijab kabul warga imigran tersebut dipimpin oleh Jabir, seorang imam dari kalangan etnis Rohingya.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Marhajadwal menegaskan pernikahan dua pasangan etnis Rohingya di penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat di Meulaboh, pada Jumat (17/5) merupakan tindakan yang ilegal dan tidak sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku di Tanah Air.
Baca juga: Nelayan temukan tiga mayat diduga Rohingya mengapung di laut Aceh Jaya
Dia menyebutkan pernikahan warga etnis Rohingya ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Marhajadwal juga mengakui beberapa hari sebelum prosesi pernikahan dua pasangan etnis Rohingya tersebut, KUA Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat juga sudah dihubungi oleh petugas UNHCR, dan pihaknya telah memberikan persyaratan untuk menikah, termasuk menyerahkan identitas kependudukan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga nantinya bisa diproses.
Baca juga: Tiga WNA didakwa selundupkan imigran Rohingya ke Aceh
Namun hingga pasangan etnis Rohingya menikah, hingga kini persyaratan yang telah diminta tersebut juga belum dipenuhi.
“Tidak mungkin pasangan etnis Rohingya tersebut berhasil memenuhi persyaratan pernikahan sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena minimal pasangan yang menikah harus sudah berusia 18 tahun plus 1 hari dan harus ada izin pengadilan, serta mereka tidak punya dokumen kependudukan yang resmi,” kata Marhajadwal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024
“Etnis Rohingya ini kan tidak punya dokumen kependudukan yang sah dan identitas resmi, sehingga tidak bisa dicatatkan pernikahan mereka meski mereka sudah menikah,” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Barat, Saijal Wahbi kepada ANTARA di Meulaboh, Selasa.
Baca juga: PM Bangladesh minta IOM cari sumber dana baru untuk Rohingya
Menurutnya, pencatatan pernikahan yang dilakukan oleh pemerintah di pencatatan sipil, hanya dilakukan bagi masyarakat non Muslim yang telah dilaksanakan oleh pemuka agama masing-masing.
Bagi masyarakat Muslim yang telah melangsungkan pernikahan secara resmi, maka pencatatan pernikahannya tetap dilakukan pencatatan nya di kantor urusan agama (KUA), yang ditandai dengan penerbitan buku nikah kepada masing-masing pasangan.
Namun, khusus bagi pencatatan pernikahan bagi warga berstatus pengungsi, kata dia, sejauh ini belum ada regulasi yang mengaturnya.
Baca juga: Warga blokir jalan ke penampungan imigran Rohingya
Saijal Wahbi menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Aceh Barat, tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pihaknya juga tidak bisa memberikan dokumen apa pun termasuk pencatatan pernikahan bagi etnis Rohingya, karena status kewarganegaraan etnis tersebut juga belum jelas, tidak ada dokumen kependudukan yang sah, serta tidak ada regulasi yang mengatur terkait pencatatan pernikahan bagi warga asing yang berstatus sebagai pengungsi di Indonesia, demikian Saijal Wahbi.
Sebelumnya, dua pasangan etnis Rohingya masing-masing Zainal Tullah dengan Azizah, dan Zahed Huseen dengan Rufias pada Jumat (17/5/2024) telah melangsungkan pernikahan di penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat di Meulaboh.
Prosesi ijab kabul warga imigran tersebut dipimpin oleh Jabir, seorang imam dari kalangan etnis Rohingya.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Marhajadwal menegaskan pernikahan dua pasangan etnis Rohingya di penampungan sementara di Kompleks Kantor Bupati Aceh Barat di Meulaboh, pada Jumat (17/5) merupakan tindakan yang ilegal dan tidak sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku di Tanah Air.
Baca juga: Nelayan temukan tiga mayat diduga Rohingya mengapung di laut Aceh Jaya
Dia menyebutkan pernikahan warga etnis Rohingya ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Marhajadwal juga mengakui beberapa hari sebelum prosesi pernikahan dua pasangan etnis Rohingya tersebut, KUA Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat juga sudah dihubungi oleh petugas UNHCR, dan pihaknya telah memberikan persyaratan untuk menikah, termasuk menyerahkan identitas kependudukan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga nantinya bisa diproses.
Baca juga: Tiga WNA didakwa selundupkan imigran Rohingya ke Aceh
Namun hingga pasangan etnis Rohingya menikah, hingga kini persyaratan yang telah diminta tersebut juga belum dipenuhi.
“Tidak mungkin pasangan etnis Rohingya tersebut berhasil memenuhi persyaratan pernikahan sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena minimal pasangan yang menikah harus sudah berusia 18 tahun plus 1 hari dan harus ada izin pengadilan, serta mereka tidak punya dokumen kependudukan yang resmi,” kata Marhajadwal.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024