Paris (Antara) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa "Paris Agreement" atau Kesepakatan Paris yang dihasilkan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB di Paris, Prancis belum mencerminkan keadilan iklim.

Eksekutif Nasional Walhi, Kurniawan Sabar yang masih berada di Paris, Minggu menyatakan, Kesepakatan Paris cenderung menguntungkan negara-negara maju karena tidak ada tanggungjawab terikat hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Bisa dibilang kesepakatan palsu karena hanya menguntungkan negara-negara kaya tanpa ada jaminan kuat untuk perbaikan sistem," katanya.

Sabar menilai bahwa tidak ada kesepakatan terikat hukum untuk menjamin perbaikan lingkungan hidup serta iklim yang lebih baik guna menjamin keselamatan rakyat, khususnya bagi masyarakat yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Padahal, menurut dia `Kesepakatan Paris` dapat memberikan dampak signifikan bagi masyarakat global dan keberlanjutan lingkungan, termasuk perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

"Kesepakatan Iklim Paris tidak memberikan jaminan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan ini menempatkan masyarakat pada kondisi yang mengkhawatirkan," tambah dia.

Selama ini kata dia, masyarakat telah menjadi korban atas eksploitasi sumber daya alam, termasuk untuk pemenuhan energi kotor yang berasal dari fosil batubara dan dikhawatirkan akan terus berlanjut.

Ia menambahkan bahwa sikap pemerintah Indonesia dalam KTT Iklim Paris sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju.

"Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar yang telah dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris," ujarnya.

Perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan menurut Sabar sulit tercapai jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar, khususnya untuk memenuhi tujuan negara-negara maju untuk mitigasi perubahan iklim.

Ia melanjutkan bahwa beberapa masalah penting yang menjadi analisis Walhi bersama Friends of the Earth Internasional terkait Kesepakatan Paris antara lain tentang suhu 2 derajat Celcius sebagai tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan berupaya menekan hingga 1,5 dearajat Celcius, tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara- negara maju untuk menurunkan emisi.

"Negara maju harus memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang," katanya.

Tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan perubahan iklim akan menanggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.

Termasuk dukungan finansial harus memadai, sehingga negara-negara miskin tidak dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka.

"Satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan, ini tidak adil bila negara maju tidak menurunkan emisinya," kata dia.

Sabar menambahkan bahwa saat ini kesempatan masih terbuka luas bagi pasar untuk mengeksploitasi energi kotor tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kesempatan bagi poluter atau negara penyumbang emisi terbesar untuk terus beraksi.

"Paris Agreement" disetujui oleh 195 negara peserta KTT Iklim Paris dan diputuskan dalam rapat tingkat Menteri yang dipimpin oleh Presiden COP-21 yang juga Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius di arena La Seine, Le Bourget, Paris pada Sabtu (12/12) waktu setempat.

Ada lima poin utama yang merupakan kesimpulan dari Kesepakatan Paris. Pertama, upaya mitigasi (mitigation) dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang disepakati yakni di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius.

Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan (transparancy), ketiga upaya adaptasi (adaptation) dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Poin keempat adalah kerugian dan kerusakan (loss and damage) dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, serta kelima adalah bantuan, termasuk pendanaan (finance) bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015