Sekitar 600 petani rumput laut di dua desa di Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengadu ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan terkait pencairan dana kompensasi tumpahan minyak kilang Montara yang tidak sesuai harapan.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada ANTARA di Kupang, Senin mengatakan bahwa 600 petani rumput laut itu tersebar di Desa Daiama dan Desa Tenalai.
“Petani rumput laut di dua desa itulah yang pertama kali membongkar masalah tumpahan minyak tersebut pada tahun 2009 lalu, mereka juga adalah petani rumput laut yang pertama kali berjuang membuktikan kasus tumpahan minyak itu,” katanya.
Baca juga: Indonesia luncurkan pusat penelitian rumput laut internasional
Baca juga: Menteri Trenggono perbanyak modeling rumput laut untuk pacu hilirisasi
Selain ke Menko Marves,, pengaduan juga ditujukan kepada The Task Force Montara yang sejak awal ditugaskan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah itu.
Selain itu juga pengaduan dikirim ke Penjabat Gubernur NTT Ayodhia Kalake yang suratnya dibawa langsung oleh Ferdi Tanoni ke ruangan Penjabat Gubernur NTT.
Selain mengadukan masalah tersebut, ratusan petani rumput laut itu juga meminta bantuan Menko Marves dan The Task Force Montara dan Penjabat Gubernur NTT untuk membantu mereka mendapatkan keadilan, setelah menunggu selama kurang lebih 14 tahun lamanya.
Kepala Desa Daiama, Heber Ferroh dalam surat yang diadukan tersebut mengatakan bahwa mereka kecewa karena rumput laut hanya dihargai senilai Rp11.300/kg. Sementara rumput laut di desa lain dihargai Rp14.500/kg-Rp 37.400/kg.
"Tentu kami sangat kecewa. Adapun metode yang digunakan Maurice Blackburn, yaitu perhitungan harga per desa kami tolak. Yang kami inginkan adalah mengikuti harga jual rumput laut pada tahun 2008 yaitu Rp22.000/kg," ujarnya..
Baca juga: BRIN ungkap potensi rumput laut jadi sumber energi alternatif
Baca juga: Jadi komoditas unggulan, rumput laut masuk peta peluang investasi 2022
Mereka mengaku merupakan pihak yang berjuang (berjasa) dalam memberikan bukti sehingga gugatan class action dimenangkan namun penetapan harga rumput laut tidak meminta persetujuan mereka.
Apalagi gugatan petani rumput laut di 81 desa dari dua kabupaten di NTT yang berjumlah 15.483 orang tergabung dalam satu gugatan massal (class action).
Semestinya, kata Kepala Desa, hak petani yang 53 persen dari AU$ 192.5 juta atau setara Rp1,7 triliun dibagikan kepada jumlah seluruh hasil produksi dari 15.483 orang petani rumput laut, sehingga akan menghasilkan harga per kilogram.
Barulah kemudian dikali dengan hasil produksi tiap-tiap petani rumput laut. Artinya, harganya merata untuk semua petani rumpat laut yang berjumlah 15.483 orang.
"Kami hanya masyarakat kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa karena itu kami minta bantuan kepada pak Luhut agar membantu kami,” ujarnya saat dihubungi dari Kupang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada ANTARA di Kupang, Senin mengatakan bahwa 600 petani rumput laut itu tersebar di Desa Daiama dan Desa Tenalai.
“Petani rumput laut di dua desa itulah yang pertama kali membongkar masalah tumpahan minyak tersebut pada tahun 2009 lalu, mereka juga adalah petani rumput laut yang pertama kali berjuang membuktikan kasus tumpahan minyak itu,” katanya.
Baca juga: Indonesia luncurkan pusat penelitian rumput laut internasional
Baca juga: Menteri Trenggono perbanyak modeling rumput laut untuk pacu hilirisasi
Selain ke Menko Marves,, pengaduan juga ditujukan kepada The Task Force Montara yang sejak awal ditugaskan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah itu.
Selain itu juga pengaduan dikirim ke Penjabat Gubernur NTT Ayodhia Kalake yang suratnya dibawa langsung oleh Ferdi Tanoni ke ruangan Penjabat Gubernur NTT.
Selain mengadukan masalah tersebut, ratusan petani rumput laut itu juga meminta bantuan Menko Marves dan The Task Force Montara dan Penjabat Gubernur NTT untuk membantu mereka mendapatkan keadilan, setelah menunggu selama kurang lebih 14 tahun lamanya.
Kepala Desa Daiama, Heber Ferroh dalam surat yang diadukan tersebut mengatakan bahwa mereka kecewa karena rumput laut hanya dihargai senilai Rp11.300/kg. Sementara rumput laut di desa lain dihargai Rp14.500/kg-Rp 37.400/kg.
"Tentu kami sangat kecewa. Adapun metode yang digunakan Maurice Blackburn, yaitu perhitungan harga per desa kami tolak. Yang kami inginkan adalah mengikuti harga jual rumput laut pada tahun 2008 yaitu Rp22.000/kg," ujarnya..
Baca juga: BRIN ungkap potensi rumput laut jadi sumber energi alternatif
Baca juga: Jadi komoditas unggulan, rumput laut masuk peta peluang investasi 2022
Mereka mengaku merupakan pihak yang berjuang (berjasa) dalam memberikan bukti sehingga gugatan class action dimenangkan namun penetapan harga rumput laut tidak meminta persetujuan mereka.
Apalagi gugatan petani rumput laut di 81 desa dari dua kabupaten di NTT yang berjumlah 15.483 orang tergabung dalam satu gugatan massal (class action).
Semestinya, kata Kepala Desa, hak petani yang 53 persen dari AU$ 192.5 juta atau setara Rp1,7 triliun dibagikan kepada jumlah seluruh hasil produksi dari 15.483 orang petani rumput laut, sehingga akan menghasilkan harga per kilogram.
Barulah kemudian dikali dengan hasil produksi tiap-tiap petani rumput laut. Artinya, harganya merata untuk semua petani rumpat laut yang berjumlah 15.483 orang.
"Kami hanya masyarakat kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa karena itu kami minta bantuan kepada pak Luhut agar membantu kami,” ujarnya saat dihubungi dari Kupang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024