Bengkulu (Antara) - Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan Women Crisis Centre (WCC) Bengkulu, Tety Sumeri mengatakan, perempuan korban pemerkosaan berhak mendapatkan layanan kesehatan, termasuk untuk aborsi dengan kondisi tertentu yang membahayakan keselamatan calon ibu.

Saat seminar bertajuk "Membangun Dukungan untuk Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan" yang digelar Cahaya Perempuan WCC di Bengkulu, Tety mengatakan layanan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah no 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

"Korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan tak diinginkan berhak mendapat layanan aborsi yang aman," katanya di Bengkulu, Senin.

Ia mengatakan, kasus kehamilan tak diinginkan akibat pemerkosaan cukup tinggi di Bengkulu. Sebagian kehamilan tak diinginkan tersebut juga muncul dari kasus insest atau hubungan seksual sedarah.

Cara penyelesaian kasus kehamilan tak diinginkan terutama akibat perkosaan adalah melalui upaya perdamaian dengan cara menikahkan si perempuan korban dengan pelaku.

"Pilihan ini lebih didasarkan untuk menjaga martabat keluarga dan sosialnya sehingga hak-hak perempuan diabaikan terutama hak kesehatan seksual dan reproduksi, serta hak untuk menikah," ucapnya.

Tidak sedikit pula para korban yang menjalani aborsi dengan proses yang tidak aman, sehingga membahayakan kesehatan reproduksi bahkan keselamatan jiwa perempuan korban tersebut.

Untuk mendorong kebijakan lokal tentang pelayanan kesehatan reproduksi terhadap perempuan, Cahaya Perempuan didukung Australian Aid menggagas program Maju Perempuan Indonesia untuk Menanggulangi Kemiskinan (Mampu).

"Ada dua kegiatan utama yaitu pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi serta pengentasan kemiskinan," ujarnya.

Program ini menyasar perempuan di 15 desa dan kelurahan di tiga kabupaten dan kota yakni Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejanglebong.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bengkulu, Diah Irianti mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah ini cukup tinggi, bahkan meningkat hingga 365 persen dalam kurun 2010 hingga 2014. Dari 425 kasus kekerasan pada 2014, sebanyak 147 kasus merupakan kekerasan seksual pada anak.

"Lebih mengejutkan adalah kasus kekerasan dalam relasi keluarga atau `insest` mencapai 18 kasus," katanya.

Saat ini kata Diah ada 15 Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) yang menangani korban kekerasan tersebut. Pusat pelayanan itu juga memberikan pemulihan psikologis sebab korban kekerasan kata dia pada umumnya mengalami trauma dan gangguan psikologis. ***4***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016