Jakarta (Antara) - Sebanyak 16 organisasi pengendalian tembakau, kesehatan, perlindungan anak, dan pengawasan media meminta 10 stasiun TV yang kini sedang memproses perpanjangan izin bersedia memproduksi dan menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokok.

Stasiun TV tersebut diminta untuk menayangkan iklan bahaya rokok terutama pada jam-jam berklasifikasi SU (Semua Umur), A (Anak), dan R (Remaja), di samping pada siaran D (Dewasa), demikian dalam siaran pers Remotivi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.

Ke-10 stasiun TV yang tengah memproses perpanjangan izin tersebut adalah ANTV, GlobalTV, Indosiar, MetroTV, MNCTV, RCTI, SCTV, TransTV, Trans7, dan TVOne.

Sementara enam belas lembaga tersebut adalah Remotivi, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Tobacco Control Support Center ¿ IAKMI, Smoke Free Jakarta, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,  Lentera Anak.

Forum Warga Jakarta, Center of Indonesia¿s Strategic Development Initiatives (CISDI), Indonesia Institute for Social Development (IISD), Raya  Indonesia, Yayasan Pengembangan Media Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Ruandu Foundation, Yayasan Gagas dan Satunama.

Permintaan 16 organisasi tersebut telah diajukan melalui surat kepada 10 stasiun TV, KPI Pusat dan seluruh KPI Daerah, dan Asosiasi TV Swasta (ATVSI). Surat juga ditembuskan ke Presiden, Komisi 1 DPR, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan beberapa kementerian.

Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun lembaga-lembaga tersebut, Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok tertinggi ketiga di dunia setelah Cina dan India.

Prevalensi perokok tertinggi ada pada kelompok umur muda (15-19 tahun) dan terjadi kecenderungan meningkatnya anak 5-14 tahun untuk mulai merokok. Di Indonesia lebih dari 200.000 orang meninggal dunia tiap tahun akibat penyakit karena mengkonsumsi rokok.

Sedangkan beban ekonomi akibat rokok sangat besar, seperti kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan, dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp. 105,3 Trilliun, biaya pembelian rokok mencapai Rp. 138 Trilliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait merokok Rp. 1,85 Trilliun, dan biaya rawat jalan akibat penyakit terkait merokok Rp. 0,26 Trilliun.

Selain itu, menurut siaran pers tersebut, selama ini TV banyak sekali menayangkan iklan rokok, termasuk 10 TV yang memproses perpanjangan izin.

Iklan rokok tersebut dinilai membawa pesan yang manipulatif tentang rokok, mengesankan bahwa rokok adalah produk normal dan penggunaan tembakau adalah sesuatu yang baik dan biasa, bahkan hebat. Iklan rokok menampilkan penyesatan informasi yang meremehkan dampak kesehatan.

Berbagai penelitian  menunjukkan terpaan  iklan  dan  promosi  rokok  sejak  usia  dini  pada anak  meningkatkan  persepsi  positif  akan  rokok,  keinginan untuk  merokok,  bahkan mendorong mereka untuk kembali merokok setelah berhenti. Penelitian Komnas Perlindungan Anak 2013 menunjukkan iklan rokok di TV adalah iklan yang paling menarik perhatian.

Sedangkan UU Kesehatan menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau adalah termasuk zat adiktif. Seharusnya, zat adiktif tidak boleh dipromosikan, sebagaimana dinyatakan dalam UU Penyiaran Pasal 46 Ayat (3) huruf  b.

Ketua Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari, menyatakan, Iklan bahaya rokok di TV diperlukan guna memberikan kesadaran kepada khalayak, terutama anak dan remaja, terhadap dampak negatif rokok bagi kesehatan

Selain itu iklan bahaya merokok juga akan meningkatkan daya kritis khalayak terhadap iklan dan promosi rokok yang sangat menyesatkan, yang selama ini tayang di stasiun TV.

"Kami harapkan penayangan iklan bahaya merokok tersebut adalah wujud tanggung jawab sosial TV," katanya.***4***

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016