“Berpikirlah sebelum berkomunikasi dan bertindak sehingga perkataan dan tindakanmu bermakna,” ujar Angela Romano, akademisi dari Universitas Teknologi Queensland, saat membuka workshop Diligent Digital Literacy Agents yang dilaksanakan di SMAIT Iqro Kota Bengkulu, Selasa (10/12/2024).

Workshop ini diikuti oleh 70 pelajar yang bertujuan membekali generasi muda dengan keterampilan literasi digital untuk menangkal hoaks dan menyebarkan informasi yang kredibel.

 

Lima Karakter Utama Agen Literasi Digital
Angela menjelaskan, agen literasi digital perlu memiliki lima karakter utama, yaitu:

Reasoning (Penalaran): Kemampuan berpikir kritis untuk memeriksa fakta, mempertanyakan informasi, dan memahami konteks.
Respect (Respek): Menghormati diri sendiri dan orang lain, serta menjaga perilaku yang pantas di ruang publik.
Rights (Hak): Memahami hak kebebasan berbicara, akses informasi, dan perlindungan dari serangan digital.
Responsibility (Tanggung Jawab): Menciptakan lingkungan komunikasi yang positif dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi tindakan.
Resilience (Ketangguhan): Tetap tenang menghadapi informasi provokatif dan merespons kritik secara konstruktif.
"Menjadi agen literasi digital artinya mampu membuat keputusan yang bijak berdasarkan fakta," tegas Angela.

 

Debunking untuk Melawan Hoaks
Betty Herlina, jurnalis independen sekaligus pendiri Bincang Perempuan, memperkenalkan proses debunking sebagai cara efektif membongkar hoaks. Proses ini meliputi identifikasi klaim yang meragukan, verifikasi fakta melalui riset, konsultasi dengan ahli, dan publikasi hasil secara transparan.

“Debunking dapat mengurangi penyebaran misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Selain itu, hal ini juga meningkatkan kepercayaan terhadap informasi yang kredibel,” jelas Betty.

 

Pentingnya Berpikir Kritis
Unggul Sagena dari SAFEnet menekankan pentingnya berpikir kritis dalam literasi digital. "Jangan mudah percaya dengan informasi yang diterima. Tanyakan, analisis, dan evaluasi secara objektif sebelum menyebarkannya," ujarnya.

Unggul mengajak peserta untuk selalu menggunakan pendekatan reflektif, rasional, dan independen dalam menilai kebenaran suatu informasi berdasarkan bukti yang ada.

 

Empat Pilar Literasi Digital
Alvidha Septianingrum dari ICT Watch menguraikan empat pilar literasi digital yang harus dikuasai:

Cakap Digital: Mampu menggunakan perangkat digital dengan bijak.
Aman Digital: Melindungi data pribadi dan menjaga keamanan dalam beraktivitas daring.
Budaya Digital: Mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam aktivitas digital.
Etika Digital: Memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam setiap tindakan di ruang digital.
Melawan Hoaks dengan Pendekatan “DACK”
Alvidha juga mengingatkan peserta untuk mengenali ciri hoaks, seperti judul provokatif, sumber tidak jelas, serta konten yang memancing emosi. “Lawan hoaks dengan pendekatan DACK: Dengarkan, Apresiasi, Cek, Klarifikasi,” ujarnya.

 

Tantangan Literasi Digital di Indonesia
Hingga tahun 2024, penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5 persen dengan 221 juta jiwa pengguna internet. Namun, laporan Digital Civility Index (DCI) dari Microsoft menempatkan netizen Indonesia sebagai yang paling tidak sopan di Asia Tenggara, serta peringkat ke-29 dari 32 negara di dunia.

“Literasi digital adalah kunci untuk meningkatkan kualitas interaksi di ruang digital. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menciptakan informasi yang valid,” tutup Alvidha.

Workshop ini merupakan bagian dari program short course Australia Awards Indonesia (AAI) yang bekerja sama dengan Bincang Perempuan, ICT Watch, dan SAFEnet untuk membangun agen literasi digital yang berintegritas.

Pewarta: A061

Editor : Anom Prihantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024