Bengkulu, (antarabengkulu.com) -Era pekerja media multitalenta semakin bertumbuh di tengah suburnya zaman digital dan internet saat ini. Praktik konvergensi yang ekspansif secara bisnis korporasi, menuntut beban kerja tambahan bagi pekerja media. Namun sayang, beban kerja tambahan tak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan.

Sekretaris AJI Kota Bengkulu Phesy Ester Julikawati di Bengkulu, Jumat, mencontohkan misalnya satu media yang awalnya cetak atau TV namun karena menggejalanya media online maka hadir pula versi onlinenya.

Olehnya AJI Kota Bengkulu akan menggelar workshop terkait serikat pekerja selama dua hari, dimulai Sabtu(20/8). Kegiatan itu diikutu puluhan wartawan dari berbagai daerah.

Tujuan workshop itu sendiri antara lain, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang fungsi serikat pekerja di media, memberikan gambaran memadai tentang tantangan aktual yang dihadapi serikat pekerja
media dan para aktifisnya, memberikan panduan praktis untuk mengorganisir serikat pekerja media, memberikan panduan praktis menjadi aktivis serikat pekerja media, dan menghasilkan kader-kader yang akan menginisiasi serikat pekerja di media.

Lebih lanjut, Phesy mengatakan beban kerja jurnalis semakin bertambah namun perkembangan industri media tak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis atau pekerja media.

Kondisi inilah yang ikut mendorong jurnalis rentan dan gampang disetir pemilik media karena posisinya yang lemah.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan FSPM Independen, hingga kini jumlah media yang memiliki serikat pekerja sekitar 38 di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, serikat pekerja yang aktif sekitar 24 saja. "Kalaupun dibuat survei terbaru, kita mungkin pesimis hanya merangkak naik sedikit," ujarnya.

Jurang eksisnya pekerja media berserikat, katanya, boleh jadi kesadaran mereja masih minim, serta masih lemah membangun sistem manajemen yang baik, kurang kecakapan mengorganisir, mengakomodir anggota, dan belum mumpuni dalam hal bernegosiasi.

Situasi ini diperparah lagi oleh adanya resistensi, baik diam-diam atau terbuka, dari pemilik media ataupun cara berpikir jurnalis itu sendiri.

Phesy mengatakan penolakan itu, sebagian besar karena kekhawatiran manajemen media yang sangat berlebihan terhadap keberadaan serikat pekerja. Sikap antiserikat pekerja media ini ditunjukkan melalui berbagai cara,mulai dari yang “halus” sampai “kasar”. "Inilah yang menjadi momok penghalang pekerja media berserikat padahal serikat pekerja adalah amanat Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Serikat Pekerja," ujarnya.

Temuan AJI, masih banyak media yang menggaji jurnalisnya di bawah angka Upah Minimum Kota (UMK) yang telah ditetapkan pemerintah.

Seturut itu pula, serikat pekerja media mampu berperan penting dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja media.
Training on Organizing the Unorganized, dengan tema ‘Pekerja Media Bersatu, Berserikatlah’ salah satu cara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan FNV dalam memupuk kesadaran, membangun persatuan, dan memperkuat pekerja media mengelola serikat pekerjanya. (rm)

Pewarta: Riski Maruto

Editor : Riski Maruto


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016