Warga terus berdatangan ke shelter tsunami di Kelurahan Teluk Sepang meski cuaca mendung disertai angin kencang melanda pesisir Kota Bengkulu akhir pekan lalu.

Mereka berkumpul di lantai dasar bangunan berlantai empat tak berdinding itu untuk memenuhi undangan pejabat Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu guna sosialisasi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di wilayah itu.

Rencana lokasi pembangunan pembangkit berdaya 2 x 100 Megawatt yang didanai investor Tiongkok itu berada di kompleks Pelabuhan Pulau Baai. Lokasinya di tepi laut, berjarak 1,5 kilometer dari permukiman warga.

"Ini yang membuat kami resah. Pembangkit itu dibangun di pinggir laut sehingga limbah berupa air untuk mendinginkan batu bara yang dibakar akan membuat ikan-ikan menjauh bahkan mati," kata Ketua Kerukunan Nelayan Rumpun Sepang, Lovie Antoni, saat menyampaikan pendapatnya dalam sesi diskusi.

Pernyataan Lovie ini mendapat dukungan dari ratusan warga yang hadir yang sebagian besar merupakan nelayan tradisional. Mereka mencari ikan dengan kapal kecil dan alat tangkap sederhana.

Para nelayan tradisional mencari ikan dengan jangkauan sekitar 5 mil ke tengah laut. Sebagian besar merupakan nelayan harian yakni berangkat dini hari dan kembali ke daratan menjelang siang.

Sebelum sesi diskusi itu, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Provinsi Bengkulu, Antoni Doloksaribu menjelaskan kondisi energi di Provinsi Bengkulu.

Saat ini, kata Antoni, ketersediaan daya listrik Bengkulu mencapai 200 Megawatt yang sebagian besar dipasok dari PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang dan PLTA Tes di Kabupaten Lebong.

"Sebenarnya dalam kondisi normal kebutuhan daya ini cukup, tapi kondisi berbeda bila kemarau, daya yang tersedia hanya 60 MW, jadi terpaksa dipasok dari Sumatera Selatan sebanyak 80 MW," ucapnya.

Untuk menambah daya listrik, dibutuhkan pembangkit baru yang salah satunya berasal dari tenaga uap pembakaran batubara.

PT Tenaga Listrik Bengkulu adalah salah satu investor yang berniat membangun pembangkit dengan sokongan dana dari investor asal Tiongkok. Perusahaan itu telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Pelindo II terkait lokasi pembangunan pembangkit di kompleks Pelabuhan Pulau Baai.

Dalam perencanaannya, operasional PLTU batubara itu membutuhkan batubara sebanyak 1 juta ton per tahun dengan masa operasional selama 25 tahun dengan rencana operasi produksi daya mulai 2020.


Studi banding

Penolakan warga Kelurahan Teluk Sepang terhadap PLTU batu bara sudah digaungkan sejak sosialisasi di Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bengkulu saat penyusunan kerangka acuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Teluk Sepang, Hamidin mengatakan sebanyak 3.500 jiwa warga yang bermukim di kelurahan itu akan terusir secara perlahan bila PLTU batu bara dibangun.

"Ini namanya mengusir secara halus karena kami akan menghirup debu dan asap pembakaran batubara," kata dia.

Pengetahuan warga terhadap teknologi pengolahan batubara menjadi energi itu tambah Hamidin sangat terbatas.

Pemerintah Kota Bengkulu pun menawarkan studi banding. Sebanyak 10 orang perwakilan warga atas fasilitasi pemerintah kota dan PT Tenaga Listrik Bengkulu berangkat ke DKI Jakarta.

Namun, lokasi yang dituju bukanlah PLTU melainkan PLTGU Muara Karang sehingga menimbulkan protes dari peserta studi banding.

"Kami sempat protes karena yang ingin kami lihat adalah PLTU bukan pembangkit tenaga gas," kata Alia, salah seorang perwakilan warga menceritakan pengalaman mereka mengikuti studi banding.

Atas desakan warga, pihak fasilitator studi banding kemudian membawa mereka ke Cilegon, Banten, untuk melihat operasional PLTU Suralaya.

Namun, keterbatasan waktu membuat perwakilan warga tidak mendapatkan informasi utuh tentang dampak PLTU batu bara terhadap kehidupan warga, terutama petani dan nelayan.

"Hasil tangkapan nelayan memang berkurang tapi belum dipastikan karena operasi PLTU sebab di wilayah itu sudah banyak pabrik lain," kata Salehan, warga yang turut dalam studi banding ke PLTU Suralaya.

Sementara sekelompok warga lainnya difasilitasi Yayasan Kanopi Bengkulu menggelar studi banding ke Pandeglang, Banten untuk melihat aktivitas PLTU Labuan.

Nofrizal, salah seorang perwakilan warga yang berangkat ke Pandeglang menemukan fakta yang meresahkan warga, terutama masyarakat nelayan dan petani.

"Nelayan kecil kehilangan mata pencaharian karena habitat ikan dekat pesisir terganggu akibat suhu air di sekitar PLTU meningkat mencapai 38 derajat Celcius," kata dia.

Saat ini di Labuan, lanjutnya, hanya para nelayan yang menggunakan kapal besar jenis bagan yang bisa melaut hingga 160 mil yang dapat mencari ikan.

Bila kondisi serupa terjadi di perairan Pulau Baai, dikhawatirkan para nelayan akan kehilangan mata pencaharian. Sebab, para nelayan di Kelurahan Teluk Sepang adalah nelayan kecil dengan daya jelajah kapal terjauh adalah enam mil hingga ke Pulau Tikus.

"Ancaman ini yang membuat kami menolak PLTU di Teluk Sepang, karena kami tidak ingin kehilangan mata pencaharian," kata Nofrizal yang sehari-hari mencari ikan di perairan Bengkulu.

Ia menambahkan, dari 3.500 orang penduduk yang bermukim di kelurahan itu, sebanyak 60 persen berprofesi sebagai nelayan.



Energi terbarukan

Kepala Dinas ESDM Provinsi Bengkulu, Hermansyah Burhan mengatakan, bila tidak ada penambahan daya baru, maka Bengkulu akan mengalami krisis listrik pada 2018.

Pembangunan pembangkit baru akan menambah daya listrik daerah itu di mana PLTU batu bara Teluk Sepang direncanakan berproduksi pada 2020.

Sementara Direktur Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar mengatakan bahwa teknologi PLTU di pesisir akan mengorbankan masa depan ribuan kepala keluarga nelayan di pesisir Bengkulu.

"PLTU batu bara bukan jalan untuk memenuhi kebutuhan listrik Bengkulu karena ada potensi lain yang sedang dalam perencanaan dan pembangunan," kata dia.

Sejumlah pembangunan pembangkit baru yakni empat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Lebong dan Bengkulu Selatan.

Ditambah lagi pembangunan dua titik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Kabupaten Rejanglebong dan Lebong oleh PT Pertamina Geothermal Energi.

Pembangunan sejumlah pembangkit itu tertuang dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2016-2025 Kementerian ESDM.

Khusus untuk Bengkulu, dalam RUPTL tersebut dipaparkan tentang rencana pembangunan 14 pembangkit listrik di mana 13 pembangkit bersumber dari energi terbarukan dan satu pembangkit uap bertenaga batu bara.

Selain PLTA dan PLTP, potensi pembangkit energi terbarukan Bengkulu itu pembangkit listrik tenaga mikro hidro dan biomassa dengan total daya 490 MW.

"Tanpa PLTU juga kebutuhan energi Bengkulu sudah terpenuhi karena saat ini saja potensi energi cukup bila interkoneksi PLTA Ulu Musi daya 210 MW terpasang ke Bengkulu," kata dia. ***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016