Bengkulu (Antara)  Sejumlah lembaga non-pemerintah di Provinsi Bengkulu membentuk Komite Reforma Agraria, yang beranggotakan lima orang dari perwakilan masing-masing lembaga, guna mempercepat perwujudan reforma agraria di wilayah itu.

"Secara garis besar, Komite Reforma Agraria ini bekerja untuk mendorong percepatan reforma agraria di Bengkulu," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Beni Ardiansyah di Bengkulu, Senin.

Pembentukan Komite Reforma Agraria Bengkulu tersebut dilakukan usai dialog reforma agraria dengan tema Mewujudkan pengeloalan Sumber Daya Alam yang berkeadilan dan berkelanjutan di Provinsi Bengkulu yang digelar aliansi masyarakat sipil Bengkulu.

Lima orang perwakilan dari kelompok masyarakat sipil yakni masing-masing seorang dari perwakilan Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Tani Bengkulu (StaB), Pusat Kajian Antikorupsi (Puskaki) Bengkulu dan tindakan afirmatif dengan melibatkan kelompok perempuan.

Beni mengatakan tugas anggota komite tersebut untuk menyelaraskan program reforma agraria dari pemerintah pusat dengan kondisi faktual di daerah.

"Dalam data pemerintah ada 15 ribu hektare target objek reforma agraria di Bengkulu dan ini perlu dipastikan titiknya," kata Beni.

Selain itu, program reforma agraria juga diharapkan dapat menuntaskan konflik-konflik pertanahan di Bengkulu baik antara masyarakat dengan perkebunan besar maupun pertambangan.

Ia menjelaskan kondisi Bengkulu dikuasai seluas 224.525 hektare oleh perkebunan besar dan 299.767 hektare areal pertambangan.

Lahan untuk kepentingan umum seperti perkantoran, jalan, permukiman dan pertanian masyarakat hanya seluas 530.254 hektare.

"Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu yang saat ini mencapai angka 2 juta jiwa, maka setiap orang hanya dapat mengelola 0,2 hektare," katanya.

Sementara Ketua AMAN Bengkulu, Deff Tri Hamdi mengatakan salah satu bentuk reforma agraria adalah mengembalikan hak masyarakat adat atas tanah.

Di Bengkulu kata Deff terdapat sejumlah wilayah yang didorong untuk pengakuan wilayah adat, antara lain dari kelompok masyarakat hukum adat Semende Banding Agung dan masyarakat huku adat Pulau Enggano.

Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Emilia Contesa menegaskan bahwa roh reforma agraria adalah tanah untuk petani.

"Tapi dalam penerapannya banyak kepentingan politik sehingga saat ini reforma agraria baru sebatas `lips service`," katanya.

Menurut dia, salah satu cara mewujudkan reforma agraria adalah moratorium penerbitan izin hak guna usaha (HGU) dan membagikan lahan bekas HGU yang terlantar dan habis masa berlaku ke petani.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016