Bengkulu (Antara) - Sejumlah warga terdampak negatif pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara di berbagai daerah meminta pemerintah mengembangkan energi terbarukan sebagai sumber listrik untuk masa depan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

"Pembangunan PLTU batu bara telah menimbulkan dampak negatif yang merugikan kehidupan kami, sehingga kami minta pemerintah kembangkan energi terbarukan," kata Priyo, warga Desa Bondo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, saat pertemuan warga terdampak PLTU batu bara di Semarang, Selasa.

Priyo yang menjadi peserta pertemuan warga terdampak PLTU batu bara yang digelar Greenpeace Indonesia mengatakan, pemanfaatan energi kotor batu bara untuk pembangkit listrik telah merugikan masyarakat mulai dari sisi ekonomi, lingkungan, sosial hingga kesehatan.

Di lima kecamatan di Kabupaten Jepara di mana empat unit PLTU batu bara berdiri tidak hanya menimbulkan konflik sosial, masyarakat terpecah menjadi beberapa kelompok akibat pro dan kontra terhadap proyek tersebut, tapi juga menurunkan pendapatan nelayan setempat.

Sebanyak 2.500 kepala keluarga nelayan kecil di wilayah itu semakin tersisih akibat berkurangnya luas wilayah tangkap dan berkurangnya hasil tangkapan akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan dari operasi pabrik tersebut.

"Bahkan ada rencana menambah dua unit PLTU lagi yang akan mengkapling 1.600 hektare wilayah terumbu karang di sekitar perairan kami," ucapnya.

Rencana penambahan unit PLTU di Jepara itu membuat resah nelayan setempat sebab fungsi terumbu karang sangat penting untuk kelestarian biota laut.

Priyo menilai saatnya pemerintah meningkatkan pembangunan pembangkit dari energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, hingga gelombang laut sebab dampak buruk PLTU batu bara terutama dampak pencemaran terus mengintai warga.

Keluhan atas dampak negatif PLTU batu bara juga dipaparkan Sairin, warga Desa Cigondang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.

"Selain debu tebal yang menimpa permukiman pada musim tertentu, hasil tangkapal ikan juga jauh merosot," ucapnya.

Batubara memang masih menjadi andalan pemerintah untuk energi listrik. Biaya operasi PLTU batubara dinilai jauh lebih rendah dan bersaing daripada PLTU energi alternatif lainnya.

Sebagai contoh, tarif listrik PLTU batu bara saat ini masih sekitar 51,22 dolar AS/MWh, lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif listrik Pembangkit Listrik Tenaga Angin baik daratan maupun lepas pantai. Tarif itu berkisar 78,25 dolar AS/MWh dan 123,55 dolar AS/MWh.

Koordinator Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto menyatakan tarif listrik yang rendah dari PLTU batubara belum mencakup biaya lingkungan dan kesehatan akibat emisi.

"Jika dampak kesehatan masuk menjadi bagian `share of generation cost", tarif batubara akan jauh lebih tinggi yakni 152 dolar AS/Mwh," kata Arif.

Greenpeace menyatakan emisi PLTU batu bara juga menyebabkan kematian dini. Arif menegaskan proyek listrik melalui pembangkit batubara akan menyebabkan kematian dini hingga 20.687 orang per tahun.

"Kematian dini disebabkan masalah kesehatan akut seperti stroke, penyakit jantung isemik, penyakit paru kronik, kanker, dan gangguan pernafasan lainnya," kata Arif.

Sebelumnya, International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahan bakar batubara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon (CO2) global. Pembakaran batu bara adalah sumber terbesar emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim.***1***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017