Matahari tepat di atas kepala saat puluhan orang dengan baju seragam warna abu-abu turun ke pinggir pantai Pulau Tikus. Ada yang membawa linggis, ada pula yang menenteng pipa paralon.

Mereka adalah para relawan dari Komunitas Mangrove Bengkulu yang bergotong-royong menancapkan puluhan paralon setinggi dua meter di atas pasir bercampur karang.

Pipa paralon itu ibarat pot yang dibolongi. Fungsinya sebagai tempat tumbuh mangrove yang diujicoba di pulau kecil itu. Pada sejumlah pipa paralon terdapat kata "hope" yang berarti harapan, ditulis menggunakan spidol hitam.

"Ini adalah mangrove harapan. Kalau mangrove ini tumbuh, maka kita punya harapan mempertahankan Pulau Tikus," kata Riki Rahmansyah, Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu, saat penanaman mangrove di Pulau Tikus, Bengkulu, Kamis (25/5).

Pulau Tikus yang ditopang terumbu karang seluas 200 hektare merupakan pulau kecil yang terus menyusut daratannya akibat abrasi.

Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan muka air laut membuat daratan pulau yang dihuni keluarga petugas Menara Suar Tikus, Distrik Navigasi Kelas I Tanjung Priok, Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan ini menyusut dari dua hektare menjadi hanya 0,6 hektare.

"Abrasi sangat parah, bahkan menara suar dan rumah jaga sudah tiga kali berpindah tempat karena roboh dimakan abrasi," kata petugas Menara Suar Tikus Feri Aurora.

Padahal, Pulau Tikus punya peran strategis bagi masyarakat pesisir Bengkulu. Selain keberadaan menara suar yang memandu kapal-kapal saat berlayar di malam hari, pulau ini juga menjadi tempt berlindung para nelayan saat cuaca buruk melanda perairan Bengkulu.

Menurut Riki, salah satu cara mengamankan pulau dari gerusan ombak adalah membuat sabuk hijau berupa ekosistem mangrove.

Meski Pulau Tikus tidak memiliki sejarah ditumbuhi mangrove atau bakau, ia optimistis mangrove pionir jenis Rhizophora stylosa dapat tumbuh di atas karang mati di pulau itu.

"Praktik ini sudah diujicoba di Aruba, sebuah negara pulau di Karibia, dan berhasil," kata dia.

Atas keberhasilan praktik penanaman mangrove di pulau-pulau kecil di negara lain itu, anggota komunitas berinisiatif menumbuhkan mangrove di Pulau Tikus yang berada di Samudera Hindia.

Dukungan dari dua lembaga nirlaba, yakni Dompet Dhuafa dan "Australia Global Alumni" menambah semangat mereka untuk melakukan semi riset "mengenalkan" mangrove di Pulau Tikus.



Semi Penelitian

Meski sejumlah praktik menumbuhkan mangrove di pulau kecil di samudera lepas berhasil, banyak yang meragukan uji coba ini.

Sebab, berbagai literatur serta teori menyebutkan mangrove tidak mampu tumbuh tanpa asupan air tawar. Karena itu, upaya menumbuhkan mangrove di Pulau Tikus yang tidak punya sumber air tawar adalah ide gila.

"Bila mangrove tumbuh di Pulau Tikus maka itu ibarat mimpi menjadi nyata," kata Wawan Stawan, anggota komunitas yang baru kembali dari Pulau Enggano untuk mengumpulkan bibit propagul Rhizophora stylosa.

Wawan mengatakan sudah menyaksikan mangrove jenis Rhizophora stylosa tumbuh di atas karang mati di Pulau Enggano. Hamparan hutan bakau lebih 1.000 hektare di Pulau Enggano, menjadi sabuk hijau alami pulau terluar wilayah Provinsi Bengkulu itu.

Hutan bakau Pulau Enggano yang sebagian tumbuh baik tanpa asupan air tawar itu pula yang menginspirasi penanaman mangrove di atas karang mati di Pulau Tikus.

"Kami sudah buat uji coba sederhana dengan menanam Rhizophora stylosa dalam ember dengan 100 persen air laut, ternyata hidup," kata Wawan yang tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan di Universitas Bengkulu.

Rhizophora stylosa merupakan salah satu jenis mangrove sejati. Mangrove ini tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut: lumpur, pasir dan batu.

Jenis stylosa menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada pulau dengan substrat karang.

"Ini yang kami temukan di Pulau Enggano, jenis mangrove Rhizophora stylosa tumbuh baik di atas substrat karang dan batu tanpa sumber air tawar," katanya.

Mereka pun membawa 1.500 bibit Rhizophora sylosa dari Pulau Enggano untuk ditumbuhkan di Pulau Tikus.

Menurut dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Yansen, yang juga Pembina komunitas itu, ketiadaan asupan air tawar bukanlah persoalan utama dalam upaya menumbuhkan mangrove di pulau tersebut.

"Justru arus dan gelombang yang menjadi tantangan terbesar. Karena itu, metode penanaman berbeda, yaitu sistem paralon atau dikenal dengan istilah `Riley Encased Methodology`," katanya.

Pipa paralon yang sudah dibelah ditancapkan sedalam mungkin ke dalam pasir bercampur karang, lalu bibit mangrove dimasukkan ke dalam paralon tersebut.

Fungsi paralon untuk menahan bibit sehingga tidak hanyut dibawa arus dan gelombang tinggi.

"Memang risikonya sangat tinggi, tapi kami optimistis bisa tumbuh asalkan paralon ini tidak hanyut dibawa arus," ujarnya.

Menurut dia, mangrove jenis Rhizophora stylosa dipilih karena jenis ini mengembangkan akar tunjang atau "stilt root" untuk bertahan dari ganasnya gelombang.



Mitigasi Bencana

Provinsi Bengkulu yang memiliki garis pantai 525 kilometer di pesisir Pantai Barat Sumatera tercatat dalam zona merah rawan bencana gempa bumi dan tsunami.

Ada tujuh kabupaten dan kota yang wilayahnya berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia. Sehingga daerah ini sangat rentan dihantam gelombang tsunami.

Kondisi ini membuat fungsi Pulau Tikus dengan daratan kecil namun ditopang ratusan hektare terumbu karang lebih strategis. Sebab, bagi daratan Bengkulu, keberadaan Pulau Tikus adalah benteng dari ancaman gelombang tinggi dan tsunami.

Menurut Direktur Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa Syamsul, kondisi Pulau Tikus saat ini yang terus menyusut luas daratannya merupakan sistem peringatan dini alami tentang kerusakan lingkungan.

"Kalau Pulau Tikus hilang, maka ada ancaman bencana besar yang mengintai pesisir Bengkulu," katanya.

Lebih lanjut Syamsul mengatakan tidak hanya ancaman bencana, kerusakan lingkungan adalah perantara dalam menciptakan kemiskinan.

Karena itu, Dompet Dhuafa terlibat dalam penanaman mangrove untuk menciptakan sabuk hijau alami Pulau Tikus untuk mengatasi abrasi.

"Menyelamatkan Pulau Tikus artinya berkontribusi menyelamatkan mata pencaharian ribuan nelayan, sehingga mereka tidak miskin," katanya.

Tidak hanya Dompet Dhuafa, lembaga "Australia Global Alumni", sebuah organisasi tempat berkumpulnya para alumni dari berbagai kampus di Australia, juga mendukung upaya komunitas menyelamatkan pulau yang terancam hilang itu.

Koordinator KMB Riki berharap upaya menahan laju abrasi dengan menanam mangvore belum terlambat untuk menyelamatkan pulau kecil itu.

Penanaman mangrove bersama para relawan dan sejumlah nelayan di pulau itu diharapkan menjadi kontribusi bersama untuk mempertahankan keberadaan Pulau Tikus.

"Jangan sampai kehilangan dulu, baru kita sadar untuk menjaganya," kata Riki.***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017