Jakarta (Antara) - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan buruh serta rakyat, ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

"Berbagai indikator ekonomi antara lain, pertama, pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen per triwulan II 2017, sementara daya beli masyarakat terjun bebas ditunjukan oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh dibawah 5 persen, akibat menerbitkan PP No 78/ 2015 yang membatasi kenaikan upah minimum," ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Kedua, penyerapan tenaga kerja per semester I anjlok 141 ribu orang dibandingkan tahun 2016. Sementara investasi yang masuk lebih padat modal bukan padat karya. Kalau terus dibiarkan pengangguran akan meledak karena lapangan kerjanya makin sempit.

Ketiga, pembangunan infrastruktur yang dijanjikan selesai tahun 2019 faktanya hanya terealisasi 9 persen. Dampak dari pembangunan infrastruktur juga tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Buktinya industri besi dan baja justru tumbuh negatif di 2016 dan penyerapan tenaga kerja sektor konstruksi anjlok.

"Keempat, paket kebijakan ekonomi yang jumlahnya mencapai 15 terbukti tidak mampu menahan laju penurunan industri manufaktur. Pertumbuhan industri manufaktur turun tajam di triwulan ke II 2017 dari 4,24 persen ke 3,54 persen. Dampaknya PHK besar besaran gelombang III sudah mulai terjadi sejak awal tahun 2017," kata dia.

Kelima, utang pemerintah naik dari Rp1.000 triliun hanya dalam waktu 2,5 tahun. Total utang pemerintah per Juni 2017 sebesar Rp3.706 triliun. Sementara jerat utang membuat negara harus membayar bunga pertahunnya sebesar Rp219 triliun.

Iqbal mengatakan gambaran makro perekonomian diatas mengindikasikan bahwa pemerintah belum mampu memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dari 15 jilid paket kebijakan hingga tax amnesty sebagai taktik memperbesar penerimaan pajak.

"Tax Amnesty yang diklaim sebagai tersukses di dunia nampaknya belum juga mencukupi target pendapatan negara," ujar dia.

Belakangan ini, menteri keuangan berencana menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari 4,5 juta per bulan menjadi setara Upah Minimum Provinsi.

Persoalan ekonomi yang menimpa buruh juga berasal dari Jusuf Kalla. Posisinya sebagai Wakil Presiden dapat mengintervensi Gubernur Jawa Barat untuk memutuskan Upah Padat Karya yang nilainya lebih rendah dari UMK di Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bogor.

Hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah sungguh berat ke kalangan pengusaha.

Persoalan lain yang berdampak pada kesejahteraan buruh adalah buruh yang sedang proses PHK dan 6 bulan pasca PHK tidak mendapatkan manfaat BPJS Kesehatan.

Hal tersebut sangat memberatkan buruh dan atau anggota keluarganya ketika jatuh sakit ditengah situasi PHK yang notabenenya kehilangan pendapatan.

"Bukan hanya hal-hal ekonomi, demokrasi pun tercederai belakangan ini melalui disahkannya UU Pemilu. UU Pemilu sarat dengan hasrat partai politik tertentu yang ingin memantapkan kekuasaannya. UU pemilu adalah cermin dari menguatnya oligarki politik di level negara," kata dia.

Persoalan-persoalan diatas adalah segelintir contoh dari sekian yang dirasakan oleh buruh. Oleh karenanya, berdasarkan refleksi situasi dan kondisi ekonomi nasional dan perburuhan saat ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengadakaan aksi serentak di Jakarta dan beberapa kota besar, seperti: Batam, Medan, Bandung, Makassar, Serang, dan lain-lain.

"Di wilayah Jabodetabek, aksi akan dipusatkan di Istana Negara dengan titik kumpul di Patung Kuda Indosat, silang Monas Barat Daya jam 10.00 wib sampai dengan jam 18.00 wib dengan jumlah massa kurang lebih 5.000 orang buruh," pungkas dia.

Pewarta:

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017