Ratusan polibag berisi buah jengkol yang terbelah dan bertunas kecil berjejer rapi di depan pondok milik Miswadi (35). Bibit jengkol itu baru ditanamnya dua pekan lalu.

Kepingan jengkol yang kerap disambal atau digulai itu menjadi "makanan" awal bibit untuk bertumbuh hingga umur tiga bulan lalu ditanam ke lahan yang sudah disiapkan.

Sambil jari tangan kanannya menunjuk hutan di bukit tepi Desa Embong, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, akhir pekan lalu, ia mengungkapkan keinginan mengajak warga lainnya menanami punggung bukit

tersebut kalau hutan tersebut sah menjadi milik masyarakat adat setempat.

Hutan berbukit itu merupakan hutan negara Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kawasan itu berbatasan langsung dengan areal budi daya masyarakat tiga desa, yakni Embong, Embong I, dan Koto Baru.

Ketiga desa ini merupakan pecahan dari desa induk bernama Embong Uram yang saat ini dikenal dengan Desa Embong.

Sebelum ditetapkan sebagai hutan negara, kawasan itu dikenal sebagai hutan adat milik masyarakat adat Marga Suku IX Desa Embong Uram, salah satu marga dari Suku Rejang di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.

Jenang Adat Marga Suku IX, Alimudin (72), mengatakan sebelum hutan mereka ditetapkan menjadi hutan negara berupa taman nasional, masyarakat dengan leluasa mengakses kawasan itu untuk berbagai kepentingan, terutama memanen hasil hutan guna memenuhi kebutuhan hidup.

Sejak 1970, disebutnya, masyarakat kesulitan mengakses hutan yang selama itu menjadi tumpuan hidup mereka.

Tanpa sepengetahuan masyarakat kala itu, hutan telah diberi garis batas, sedangkan masyarakat dilarang memasuki hutan yang dalam bahasa lokal disebut "Imbo" itu.

Pak Alimudin, Jenang Adat Marga Suku IX

Keputusan sepihak atas penetapan kawasan hutan adat menjadi hutan negara membuat konflik tenurial antara masyarakat setempat dengan negara seperti tak berujung.

Berpuluh tahun, masyarakat "kucing-kucingan" dengan aparat polisi hutan. Masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari hutan.

Selama masih dikelola masyarakat adat kala itu, pengelolaan kawasan hutan dilakukan berbasis kearifan lokal. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah peraturan adat tentang pengelolaan hutan atau "imbo" yang masih ditaati masyarakat hingga kini.

Ia mencontohkan tentang peraturan adat menyangkut pengelolaan hutan tersebut, yakni syarat membuka areal baru di tebing bukit. Kalau ditebang satu pohon dan meluncur ke bawah, berarti kawasan itu tidak bisa dibuka karena terlalu curam.

Ada pula praktik lain, seperti menancapkan kapak pada satu pohon besar dan ditinggalkan semalaman. Bila esok hari kapak masih tertancap, maka areal itu "diizinkan" untuk dibuka, dan sebaliknya, bila kapak jatuh ke tanah berarti kawasan itu tidak layak dibuka untuk berkebun.

Praktik tenurial masyarakat adat yang terdokumentasi dengan baik, yaitu membagi pengelolaan wilayah sesuai status dan fungsinya.

Masyarakat adat Rejang pada umumnya menyebut kawasan hutan dengan "Imbo". Mereka membagi pengelolaan hutan dalam beberapa istilah seperti, Imbo Lem yang berarti hutan belantara atau hutan larangan.

Ada pula Imbo Cadang atau hutan cadangan, Imbo Bujang yakni hutan yang sudah pernah dikelola namun ditinggalkan atau ditelantarkan lebih dari 15 tahun.

Berikutnya Tebo, yaitu hutan dengan kemiringan 40 derajat dan berada di bawah bukit. Ada Jamai atau ladang yang telah menghasilkan serta Jamai Imbo ladang yang sudah berubah menjadi hutan.

Kini, kearifan masyarakat menjaga keseimbangan alam juga masih dipraktikkan, seperti menjaga kawasan yang disebut "putkling" atau semacam sumur alami.

Alimudin pun menunjukkan salah satu lokasi "putkling" yang berada di wilayah kebun yang dikenal dengan nama "Tik Lumut", berjarak 1,5 kilometer dari desa.

Sekilas, bentuknya seperti sumur. Memiliki kedalaman dua meter dengan diameter lima meter. Ada genangan air yang dangkal tapi sangat jernih hingga dasarnya berupa tanah berpasir dapat dilihat dengan mata telanjang.

Menurut warga, "sumur" itu tidak pernah tergenang atau meluap saat intensitas hujan tinggi dan tidak pernah mengering saat kemarau.

"Masih ada beberapa `putkling` yang dijaga dengan baik. Airnya terus ada sepanjang tahun, hanya bisa diambil untuk air minum," kata Ibnu Rusdi, jenang adat lainnya yang juga pemilik kebun durian di sekitar "putkling" itu.

Selain masih menjaga wilayah yang dikeramatkan, masyarakat adat Marga Suku IX juga memiliki pola berkebun dengan mencampur tanaman tahunan dalam satu areal kebun (agroforestry).

Pertama membuka kebun ditanami dengan kopi lalu diikuti tanaman lain, seperti karet, durian, duku, pinang, petai, dan jengkol.

Praktik ini dapat disaksikan di kebun sekitar Desa Embong yang didominasi tanaman durian sebab tanaman tahunan berbuah ini menjadi favorit warga setempat.



Mengembalikan
Embong dalam bahasa Suku Rejang bermakna daratan yang dikeliling air, sedangkan Uram adalah daerah yang curam yang dimaknai dengan bukit yang menjulang di tepi desa.

Hampir 90 persen dari 1.000 kepala keluarga di tiga desa di Kecamatan Uram Jaya ini merupakan petani padi sawah irigasi yang airnya berasal dari hutan Bukit Sigurap yang masuk dalam areal hutan adat.

Selain bersawah yang hanya ditanami sekali setahun lalu diselingi budi daya ikan nila, sebagian kecil masyarakat berkebun kopi dan durian serta tanaman tahunan lainnya di tepi TNKS.

Alimudin mengatakan sejak 1992, masyarakat adat Marga Suku IX mulai mengupayakan pengembalian hutan adat yang "dicaplok" menjadi taman nasional.

Berbagai cara ditempuh, hingga titik terang muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) lewat keputusan Nomor 35 Tahun 2013 menetapkan bahwa hutan adat adalah hutan hak, bukan hutan negara. Dalam putusan MK disebutkan bahwa "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat".

Untuk "merebut" hutan adat yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat itu, anggota legislatif Kabupaten Lebong menginisiasi pembentukan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang.

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 itu telah disahkan dan masuk lembaran daerah serta resmi diundangkan pada 15 September 2017.

Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang ini merupakan perda masyarakat adat pertama di Bengkulu.

Adalah Akar Foundation, lembaga yang fokus pada persoalan tenurial di Bengkulu yang turut menginisiasi penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang.

Direktur Akar Foundation, Erwin Basrin, menyebut keluarnya perda tersebut sebagai langkah awal untuk pekerjaan yang lebih besar, yaitu mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat.

Langkah kedua, yaitu membentuk tim inventarisasi dan verifikasi wilayah adat, sesuai Pasal 37 dalam perda tersebut. Setelah itu, pelepasan kawasan hutan adat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui surat keputusan.

Erwin yang terlibat di tim ahli penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong mengatakan praktik tenurial masyarakat adat Rejang dikenal dengan istilah Kutei setingkat dengan desa.

Akar Foundation telah memetakan praktik tenurial di 11 kutei di Kabupaten Lebong dan tiga kutei, yakni Kutei Embong, Kutei Embong I, dan Kutei Koto Baru didorong menjadi pilot atau percontohan dalam pengelolaan hutan adat melalui lembaga yang dibentuk.

Lembaga adat yang dibentuk oleh tiga kutei tersebut, yakni Hutan Adat Marga Suku IX Demung Samin yang mulai dipetakan sejak 2014 dengan luas wilayah adat Kutei Embong seluas 1.517 hektare, Embong I seluas 1.072 hektare, dan Kota Baru seluas 698 hektare.

Nama Demung Samin disematkan sebagai penghargaan kepada tokoh masyarakat adat lokal yang diyakini sebagai pembuka kutei dan penjaga hutan adat tiga kutei itu.

Demung Samin, kata Erwin, adalah tokoh masyarakat adat pembuka Kutei Embong Uram yang berangkat ke hutan dan hingga kini tidak pernah kembali.

Lembaga adat yang dibentuk untuk mengelola hutan adat terdiri atas lima orang jenang adat dan tiga orang pembarap atau semacam polisi hutan.

Miswadi, yang salah seorang pembarap itu, mengatakan bila hutan adat kembali ke masyarakat maka pengelolaan sumber daya alam tersebut akan dilakukan dengan arif, seperti praktik pengelolaan hutan sebelum menjadi taman nasional.

"Kami pasti menjaga hutan adat ini karena hidup kami bergantung dari hutan, termasuk sumber air untuk mengairi sawah juga berasal dari hutan," kata Miswadi. ***3***

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2017