Pekanbaru (ANTARA Bengkulu) - Pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri mengatakan, cuaca ekstrim yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air khususnya Riau adalah dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.
"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan akhirnya menyebabkan kondisi ekstrim di berbagai wilayah Tanah Air," kata Ariful di Pekanbaru, Jumat.
Kondisi demikian menurut dia yang juga terjadi di sebagian besar wilayah Riau, sehingga musim hujan dan kemarau datang secara tiba-tiba tanpa dapat diramalkan secara pasti.Intinya, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya,"Hal ni bisa jadi karena alam
di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Iklim mikro tersebut menurut dia pula, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah membentuk suatu tatanan lingkungan yang 'amburadul' atau serba tidak menentu, akibat ekosistem ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi.
Bisa jadi pula, kondisi ini disebabkan berbagai hal antara lain hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis, kemudian kondisi iklim terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan lingkungan dan penghuninya.
Ia mencontohkan, Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan kebun sawit "membabi buta" kesumuanya "merampok" daerah tangkapan air seperti aliran sungai dan anak sungai pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Konsekwensi logisnya, katanya, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis."Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau
beralih fungsi menjadi lahan perkebunan," tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan air, baik itu skala kecil maupun skala besar."Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi perubahan iklim yang sangat drastis tersebut," ujarnya.(KR-FZR/E001)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan akhirnya menyebabkan kondisi ekstrim di berbagai wilayah Tanah Air," kata Ariful di Pekanbaru, Jumat.
Kondisi demikian menurut dia yang juga terjadi di sebagian besar wilayah Riau, sehingga musim hujan dan kemarau datang secara tiba-tiba tanpa dapat diramalkan secara pasti.Intinya, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya,"Hal ni bisa jadi karena alam
di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Iklim mikro tersebut menurut dia pula, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah membentuk suatu tatanan lingkungan yang 'amburadul' atau serba tidak menentu, akibat ekosistem ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi.
Bisa jadi pula, kondisi ini disebabkan berbagai hal antara lain hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis, kemudian kondisi iklim terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan lingkungan dan penghuninya.
Ia mencontohkan, Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan kebun sawit "membabi buta" kesumuanya "merampok" daerah tangkapan air seperti aliran sungai dan anak sungai pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Konsekwensi logisnya, katanya, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis."Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau
beralih fungsi menjadi lahan perkebunan," tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan air, baik itu skala kecil maupun skala besar."Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi perubahan iklim yang sangat drastis tersebut," ujarnya.(KR-FZR/E001)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012