Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Perwakilan masyarakat adat Semende Nasal dari Dusun Banding Agung Desa Merpas, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Senin mendatangai Kantor DPRD Provinsi Bengkulu meminta dukungan dari lembaga itu untuk memperjuangkan tanah adat mereka.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Def Tri Hamdi yang mendampingi perwakilan masyarakat adat itu mengatakan, sekitar 378 kepala keluarga masyarakat adat Semende Nasal diusir dari tanah ulayat mereka yang diklaim pemerintah memasuki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
"Masyarakat Banding Agung sudah bermukim lama sebelum taman nasional itu ditetapkan, mereka memiliki sejumlah bukti, termasuk dokumen," kata Def.
Namun, pada penertiban yang digelar tim gabungan dari Balai TNBBS, Dinas Kehutanan dan polisi pada Juli 2012, masyarakat Banding Agung pun diusir dengan tuduhan merambah hutan konservasi itu.
Sebanyak 75 pondok warga dibakar dan tanam tumbuh yang sebagian besar merupakan tanaman kopi juga dirusak.
"Masyarakat melarikan diri ke desa tetangga, tapi sebagian sama sekali tidak memiliki rumah dan tempat mereka mencari nafkah," paparnya.
Sebagian masyakat adat yang bertahan berusaha kembali ke pondok dan lahan yang mereka kelola selama ini, namun mendapat ancaman dari aparat polisi dan polisi kehutanan akan ditangkap.
Kepala Dusun Banding Agung Aldan mengatakan sejumlah dokumen membuktikan bahwa masyarakat adat Semende Nasal sudah menduduki kawasan itu sejak masa pendudukan kolonial Belanda.
"Bahkan masih ada dokumen asli tentang surat menyurat tertanggal 22 Agustus 1891 saat daerah kami masih diperintah depati," ucapnya.
Ia mengatakan saat sosialisasi penertiban perambah di Kantor Polres Kaur pada Juni 2012 penertiban hanya dilakukan terhadap perambah di TNBBS yang mencapai 900 kepala keluarga (KK).
"Kami tidak diundang saat sosialisasi karena disebut tidak masuk dalam target operasi penertiban, tapi ternyata sudah puluhan pondok dibakar" ujarnya.
Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu mengecam tindakan aparat polisi hutan TNBBS yang didukung pemerintah Kabupaten Kaur itu.
"Tindakan itu sangat tidak manusiawi. Jangankan manusia, orang hutan, gajah dan harimau saja dilindungi," kata Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Edi Ismawan.
Enam Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu yang menerima perwakilan masyarakat adat itu meminta warga yang didampingi AMAN Bengkulu untuk melengkapi bukti dan dokumen tentang keberadaan dusun Banding Agung di dalam kawasan TNBBS.
Setelah itu, kata dia DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait, dan turun langsung ke lokasi untuk melihat pemukiman tua seperti yang disebutkan masyarakat adat itu.
"Kalau memang ada bukti-bukti di lapangan seperti makam tua dan lainnya yang menunjukkan keberadan masyarakat adat disana itu pantas diperjuangkan," kata Edi. (ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Def Tri Hamdi yang mendampingi perwakilan masyarakat adat itu mengatakan, sekitar 378 kepala keluarga masyarakat adat Semende Nasal diusir dari tanah ulayat mereka yang diklaim pemerintah memasuki Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
"Masyarakat Banding Agung sudah bermukim lama sebelum taman nasional itu ditetapkan, mereka memiliki sejumlah bukti, termasuk dokumen," kata Def.
Namun, pada penertiban yang digelar tim gabungan dari Balai TNBBS, Dinas Kehutanan dan polisi pada Juli 2012, masyarakat Banding Agung pun diusir dengan tuduhan merambah hutan konservasi itu.
Sebanyak 75 pondok warga dibakar dan tanam tumbuh yang sebagian besar merupakan tanaman kopi juga dirusak.
"Masyarakat melarikan diri ke desa tetangga, tapi sebagian sama sekali tidak memiliki rumah dan tempat mereka mencari nafkah," paparnya.
Sebagian masyakat adat yang bertahan berusaha kembali ke pondok dan lahan yang mereka kelola selama ini, namun mendapat ancaman dari aparat polisi dan polisi kehutanan akan ditangkap.
Kepala Dusun Banding Agung Aldan mengatakan sejumlah dokumen membuktikan bahwa masyarakat adat Semende Nasal sudah menduduki kawasan itu sejak masa pendudukan kolonial Belanda.
"Bahkan masih ada dokumen asli tentang surat menyurat tertanggal 22 Agustus 1891 saat daerah kami masih diperintah depati," ucapnya.
Ia mengatakan saat sosialisasi penertiban perambah di Kantor Polres Kaur pada Juni 2012 penertiban hanya dilakukan terhadap perambah di TNBBS yang mencapai 900 kepala keluarga (KK).
"Kami tidak diundang saat sosialisasi karena disebut tidak masuk dalam target operasi penertiban, tapi ternyata sudah puluhan pondok dibakar" ujarnya.
Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu mengecam tindakan aparat polisi hutan TNBBS yang didukung pemerintah Kabupaten Kaur itu.
"Tindakan itu sangat tidak manusiawi. Jangankan manusia, orang hutan, gajah dan harimau saja dilindungi," kata Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Edi Ismawan.
Enam Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu yang menerima perwakilan masyarakat adat itu meminta warga yang didampingi AMAN Bengkulu untuk melengkapi bukti dan dokumen tentang keberadaan dusun Banding Agung di dalam kawasan TNBBS.
Setelah itu, kata dia DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait, dan turun langsung ke lokasi untuk melihat pemukiman tua seperti yang disebutkan masyarakat adat itu.
"Kalau memang ada bukti-bukti di lapangan seperti makam tua dan lainnya yang menunjukkan keberadan masyarakat adat disana itu pantas diperjuangkan," kata Edi. (ANT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012