"Saya sih maunya libur kak. Enggak kerja dulu sementara, cuma cicilan saya gimana?," kata Agus (35), seorang pengemudi ojek online saat ditanya alasannya tetap bekerja di tengah pandemi virus corona jenis baru atau COVID-19 di Tanah Air.
Ayah satu orang anak itu mengatakan ia tidak khawatir untuk biaya makan selama dua minggu ke depan, dia dan keluarganya bisa menggunakan tabungannya. Akan tetapi tabungan itu tidak cukup jika digunakan untuk membayar kontrakan rumah dan cicilan sepeda motornya.
Setiap bulan, ia harus menyisihkan sedikitnya Rp2.000.000 yang digunakan untuk membayar cicilan dan uang sewa rumah.
"Apa pemerintah mau menanggung cicilan saya?," tanyanya sembari berkelakar.
Setiap pagi, ia berangkat dari kontrakannya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tujuannya mangkal di Stasiun Palmerah. Penumpang ramai yang turun di Stasiun Palmerah dan menggunakan jasanya ke tempat kerja.
Agus mengaku sempat khawatir karena dirinya masih mengojek seperti biasa di tengah penyebaran virus COVID-19 yang merata di Jakarta. Ia juga khawatir penumpang yang diantarkannya mentransmisikan virus pada dirinya.
"Cuma mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan meski sekarang ngojek juga sepi," keluhnya.
Agus tak sendiri, masih banyak warga lainnya yang masih beraktivitas seperti biasa meskipun Presiden Jokowi sudah memberikan arahan agar belajar, bekerja dan beribadah dari rumah.
Kondisi dilema seperti itu juga dialami Pupun (30), karyawan swasta yang mengaku tetap harus bekerja meski pemerintah menganjurkan untuk bekerja dari rumah.
"Banyak cicilan, lebih seram dari corona," katanya sembari bercanda.
Lebih seram dimaksud yakni menyeramkan jika didatangi debt collector. Mengingat cicilan yang harus dibayarnya setiap bulan itu, mau tak mau membuatnya harus tetap bekerja. Pupun mengaku tak tenang jika harus berdiam diri di rumah.
Ada dua cicilan yang harus dibayarnya setiap bulan yakni kartu kredit dan mobil. Setidaknya, ia harus menyisihkan Rp4.000.000 setiap bulannya.
"Lagi pula, kantor belum ada ketentuan bekerja dari rumah," ujar Pupun yang membekali dirinya dengan masker dan cairan pencuci tangan antiseptik setiap keluar rumah itu.
Persoalan cicilan menjadi bahan olok-olok di media sosial pada musim COVID-19 seperti saat ini. Sejumlah foto maupun meme yang beredar di internet, menyinggung realitas sosial yang terjadi saat ini.
Misalnya saja foto yang berisikan kalimat, "Corona berhasil menunda semua acara, jadwal seminar, meeting, kebaktian, bahkan semua liga bola. Tetapi corona tidak berhasil menunda tagihan cicilan KPR, mobil, kartu kredit. Semua tetap ngejar pak bu" yang kemudian ditutup dengan emoticon tertawa.
Warga Jakarta lainnya, Epi (30), meminta agar semua kewajiban cicilan ditunda dulu. Pemerintah harus memberikan pengertian pada pihak perbankan maupun lembaga keuangan untuk menunda sementara penagihan cicilan.
Dengan setengah kesal, Epi mengaku baru saja ditelpon provider seluler padahal ia rutin membayar tepat waktu setiap bulannya.
"Takut gue enggak bayar kali. Padahal kondisi lagi kaya gini (prihatin)," keluh Epi.
Belajar dari Mongolia
Indonesia mungkin bisa mencontoh Mongolia yang mengumumkan bahwa masyarakat bisa melakukan penundaan pembayaran pinjaman atau cicilan selama tiga bulan.
Langkah itu diambil, setelah pemerintah negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok tersebut melakukan karantina ketat pada warganya sejak akhir Januari.
"Penundaan pinjaman tersebut baru diputuskan pada hari ini," kata seorang warga Ulaanbaatar, Flora, melalui pesan singkatnya.
Sejak akhir Januari, tepatnya 27 Januari Pemerintah Mongolia menutup perbatasan dengan China. Pada hari yang sama pula, sekolah-sekolah diliburkan. Seluruh festival maupun seminar dibatalkan.
Pada 19 Februari dilakukan pemblokiran kendaraan, kecuali bus, di jalan raya dengan tujuan agar masyarakat melakukan isolasi. Untuk bus pun ada pembatasan.
Flora juga mengatakan masyarakat setempat tetap menggunakan masker meskipun tidak dalam kondisi sakit.
"Awalnya saya berpikir mengapa pemerintah sangat serius (karantina ketat). Tapi sekarang saya merasakan manfaatnya," kata Flora lagi.
Kasus COVID-19 di negaranya hanya empat, itupun kasus impor. Dibawa dari negara lain. Belum ada informasi mengenai transmisi lokal. Menurut Flora, pencegahan merupakan kunci utama sedikitnya kasus COVID-19 di negara tersebut.
"Pencegahan sangat penting, terutama bagi negara yang masih kurang baik pelayanan kesehatannya," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar dan beribadah di rumah karena masifnya penyebaran penyakit saluran pernafasan yang disebabkan virus corona jenis baru (COVID-19).
Langkah itu diambil agar masalah COVID-19 dapat tertangani dengan maksimal. Pemerintah juga meminta masyarakat melakukan pembatasan sosial.
Penyebaran kasus COVID-19 tidak hanya terpusat di ibu kota DKI Jakarta saja. Namun ke sejumlah daerah. Kasusnya pun bukan hanya kasus impor, namun juga transmisi lokal.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona, Achmad Yurianto, pada Rabu (18/3) mengatakan terdapat 55 tambahan kasus baru COVID-19 sehingga total pasien yang terinfeksi virus corona tipe baru tersebut menjadi 227, sedangkan yang meninggal dunia berjumlah 19 orang.
Yurianto juga mengatakan Pemerintah Indonesia telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan daerah untuk penanganan COVID-19.
Angka tersebut menempatkan Indonesia menjadi peringkat ketiga setelah Iran dan Spanyol untuk kasus kematian baru (berdasarkan data Worldometers). Sejumlah ahli memperkirakan kasus COVID-19 semakin bertambah, dikarenakan masih banyaknya kasus infeksi di Tanah Air.
Yurianto mengatakan hasil dari penanganan virus corona penyebab COVID-19 akan mulai bisa terlihat hasilnya pada April 2020. Yurianto mengakui dalam beberapa hari terakhir memang terjadi akselerasi jumlah positif virus.
Pemerintah juga memperkirakan jumlah positif COVID-19 akan semakin bertambah, namun disinyalir tidak akan terjadi dalam waktu yang relatif lama.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
Ayah satu orang anak itu mengatakan ia tidak khawatir untuk biaya makan selama dua minggu ke depan, dia dan keluarganya bisa menggunakan tabungannya. Akan tetapi tabungan itu tidak cukup jika digunakan untuk membayar kontrakan rumah dan cicilan sepeda motornya.
Setiap bulan, ia harus menyisihkan sedikitnya Rp2.000.000 yang digunakan untuk membayar cicilan dan uang sewa rumah.
"Apa pemerintah mau menanggung cicilan saya?," tanyanya sembari berkelakar.
Setiap pagi, ia berangkat dari kontrakannya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tujuannya mangkal di Stasiun Palmerah. Penumpang ramai yang turun di Stasiun Palmerah dan menggunakan jasanya ke tempat kerja.
Agus mengaku sempat khawatir karena dirinya masih mengojek seperti biasa di tengah penyebaran virus COVID-19 yang merata di Jakarta. Ia juga khawatir penumpang yang diantarkannya mentransmisikan virus pada dirinya.
"Cuma mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan meski sekarang ngojek juga sepi," keluhnya.
Agus tak sendiri, masih banyak warga lainnya yang masih beraktivitas seperti biasa meskipun Presiden Jokowi sudah memberikan arahan agar belajar, bekerja dan beribadah dari rumah.
Kondisi dilema seperti itu juga dialami Pupun (30), karyawan swasta yang mengaku tetap harus bekerja meski pemerintah menganjurkan untuk bekerja dari rumah.
"Banyak cicilan, lebih seram dari corona," katanya sembari bercanda.
Lebih seram dimaksud yakni menyeramkan jika didatangi debt collector. Mengingat cicilan yang harus dibayarnya setiap bulan itu, mau tak mau membuatnya harus tetap bekerja. Pupun mengaku tak tenang jika harus berdiam diri di rumah.
Ada dua cicilan yang harus dibayarnya setiap bulan yakni kartu kredit dan mobil. Setidaknya, ia harus menyisihkan Rp4.000.000 setiap bulannya.
"Lagi pula, kantor belum ada ketentuan bekerja dari rumah," ujar Pupun yang membekali dirinya dengan masker dan cairan pencuci tangan antiseptik setiap keluar rumah itu.
Persoalan cicilan menjadi bahan olok-olok di media sosial pada musim COVID-19 seperti saat ini. Sejumlah foto maupun meme yang beredar di internet, menyinggung realitas sosial yang terjadi saat ini.
Misalnya saja foto yang berisikan kalimat, "Corona berhasil menunda semua acara, jadwal seminar, meeting, kebaktian, bahkan semua liga bola. Tetapi corona tidak berhasil menunda tagihan cicilan KPR, mobil, kartu kredit. Semua tetap ngejar pak bu" yang kemudian ditutup dengan emoticon tertawa.
Warga Jakarta lainnya, Epi (30), meminta agar semua kewajiban cicilan ditunda dulu. Pemerintah harus memberikan pengertian pada pihak perbankan maupun lembaga keuangan untuk menunda sementara penagihan cicilan.
Dengan setengah kesal, Epi mengaku baru saja ditelpon provider seluler padahal ia rutin membayar tepat waktu setiap bulannya.
"Takut gue enggak bayar kali. Padahal kondisi lagi kaya gini (prihatin)," keluh Epi.
Belajar dari Mongolia
Indonesia mungkin bisa mencontoh Mongolia yang mengumumkan bahwa masyarakat bisa melakukan penundaan pembayaran pinjaman atau cicilan selama tiga bulan.
Langkah itu diambil, setelah pemerintah negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok tersebut melakukan karantina ketat pada warganya sejak akhir Januari.
"Penundaan pinjaman tersebut baru diputuskan pada hari ini," kata seorang warga Ulaanbaatar, Flora, melalui pesan singkatnya.
Sejak akhir Januari, tepatnya 27 Januari Pemerintah Mongolia menutup perbatasan dengan China. Pada hari yang sama pula, sekolah-sekolah diliburkan. Seluruh festival maupun seminar dibatalkan.
Pada 19 Februari dilakukan pemblokiran kendaraan, kecuali bus, di jalan raya dengan tujuan agar masyarakat melakukan isolasi. Untuk bus pun ada pembatasan.
Flora juga mengatakan masyarakat setempat tetap menggunakan masker meskipun tidak dalam kondisi sakit.
"Awalnya saya berpikir mengapa pemerintah sangat serius (karantina ketat). Tapi sekarang saya merasakan manfaatnya," kata Flora lagi.
Kasus COVID-19 di negaranya hanya empat, itupun kasus impor. Dibawa dari negara lain. Belum ada informasi mengenai transmisi lokal. Menurut Flora, pencegahan merupakan kunci utama sedikitnya kasus COVID-19 di negara tersebut.
"Pencegahan sangat penting, terutama bagi negara yang masih kurang baik pelayanan kesehatannya," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar dan beribadah di rumah karena masifnya penyebaran penyakit saluran pernafasan yang disebabkan virus corona jenis baru (COVID-19).
Langkah itu diambil agar masalah COVID-19 dapat tertangani dengan maksimal. Pemerintah juga meminta masyarakat melakukan pembatasan sosial.
Penyebaran kasus COVID-19 tidak hanya terpusat di ibu kota DKI Jakarta saja. Namun ke sejumlah daerah. Kasusnya pun bukan hanya kasus impor, namun juga transmisi lokal.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona, Achmad Yurianto, pada Rabu (18/3) mengatakan terdapat 55 tambahan kasus baru COVID-19 sehingga total pasien yang terinfeksi virus corona tipe baru tersebut menjadi 227, sedangkan yang meninggal dunia berjumlah 19 orang.
Yurianto juga mengatakan Pemerintah Indonesia telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan daerah untuk penanganan COVID-19.
Angka tersebut menempatkan Indonesia menjadi peringkat ketiga setelah Iran dan Spanyol untuk kasus kematian baru (berdasarkan data Worldometers). Sejumlah ahli memperkirakan kasus COVID-19 semakin bertambah, dikarenakan masih banyaknya kasus infeksi di Tanah Air.
Yurianto mengatakan hasil dari penanganan virus corona penyebab COVID-19 akan mulai bisa terlihat hasilnya pada April 2020. Yurianto mengakui dalam beberapa hari terakhir memang terjadi akselerasi jumlah positif virus.
Pemerintah juga memperkirakan jumlah positif COVID-19 akan semakin bertambah, namun disinyalir tidak akan terjadi dalam waktu yang relatif lama.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020